Mengejar Biennale Jogja

0
1275

Para ”veteran” berikut pendatang baru perhelatan seni rupa Biennale Jogja bersama menyuguhkan karya dalam pameran pendahuluan Biennale Jogja 2015. Sebuah awalan dari narasi besar Biennale Ekuator yang bakal menyabung puluhan seniman Indonesia dengan 11 seniman Nigeria.

Biennale Jogja 2015—yang pameran utamanya baru akan berlangsung pada 1 November-10 Desember—memilih para perupa Nigeria sebagai ”lawan” untuk menggelar seri ketiga biennale khatulistiwa. Ditaut tema kurasi ”hacking conflict”, puluhan perupa Indonesia dan belasan perupa Nigeria bakal beradu gagasan dan berkolaborasi meretas konflik.

Lalu retasan seperti apa yang bisa diintip dari pameran pendahuluan Biennale Jogja 2015 yang mengumpulkan para ”alumnus” Biennale Jogja 2011 dan 2013. Apalagi, ketika pameran ”Pursuing The Future” yang sedang digelar di RUCI Art Space, Jakarta, pada 30 Juni-5 Juli itu juga menyuguhkan karya tiga calon debutan Biennale Jogja?

”Luxury Crime” karya Agus Suwage menjadi salah satu karya menarik dalam ”Pursuing The Future”. Namun, bukan dalam wujud tiga dimensi
sebuah patung tengkorak berwarna emas yang berendam dalam ember seng itu. ”Luxury Crime” dalam pameran ini adalah grafis cetak saring yang mirip, tengkorak berendam di dalam ember berisi air seputih susu (2013).

Mella Jaarsma, perupa senior lain yang juga berpameran, menghadirkan dua lukisan serial, ”The Order of Things I” dan ”The Order of Things II” (masing-masing tahun 2012). Tema karyanya pun khas Jaarsma, pakaian sebagai medan politik identitas
paling dasar, yang hadir bukan sebagai instalasi atau patung lunak, tetapi lukisan.

Sejumlah 13 ”veteran” lain dari dua seri pertama biennale khatulistiwa yang digelar 2011 dan 2013—seperti Akiq AW, Pius Sigit Kuncoro, Setulegi, Melati Suryodarmo, Agung Kurniawan—juga menghadirkan karya menarik. Kelompok seniman video Tromarama, misalnya, tiba-tiba memunculkan cetak digital di atas kertas, ”Nostalgic Truth #1” (2015).

Di antara karya para calon debutan, Agan Harahap kembali mengeksplorasi olah digital manipulasi fotografi, lewat ”Percobaan Memotret Tuhan” (2014). Maryanto kembali menghadirkan kepiawaiannya melukis satu warna, hitam, lewat karya ”Kedaulatan Pangan” (2014).

Memburu kolaborasi

Seperti karya-karya menarik itukah retasan konflik dari Biennale Jogja 2015 nanti? ”Tidak. Karya-karya yang dipamerkan dalam ’Pursuing The Future’ bukan representasi pameran utama Biennale Jogja 2015. Saya bahkan belum tahu, seperti apa persisnya wujud dan rupa dari karya dalam pameran utama itu,” kata kurator Biennale Jogja 2015, Woto ”Wok The Rock” Wibowo terkekeh.

Pameran ”Pursuing The Future” yang sedang berlangsung di RUCI Art Space digeber Direktur Biennale Jogja 2015, Alia Swastika, sebagai pre-event sekaligus ajang penggalangan dana bagi penyelenggaraan pameran besar nanti. ”Pameran ini juga tidak merepresentasi pencapaian Biennale Jogja 2011 dan 2013. Karya yang dipamerkan murni bantuan para seniman untuk ikut menyokong penyelenggaraan pameran besar dan program pendamping Biennale Jogja 2015,” kata Alia.

Seperti kata Wok The Rock, wujud dan rupa Biennale Jogja 2015 justru sedang dan sedang akan dibangun para perupa Indonesia dan Nigeria. Di sela-sela pembukaan pameran, sutradara film Anggun Priyambodo bercerita soal rencananya dan Maryanto menjalani residensi Biennale Jogja di Nigeria pada Juli ini.

”Saya akan membuat film gosip, dibantu sutradara dan seniman Nigeria, Aderemi Adegbite. Film gosip, karena saya suka bergosip,” kata Anggun tertawa.

Bermitra dengan kurator asal Nigeria, Jude Anogwih, Wok The Rock meramu program residensi bagi Aderemi dan lima seniman Nigeria di Indonesia. Lima seniman lain itu adalah Segun Adefila (perupa, koreografer, teater), Olanrewaju Tejuoso (perupa), Ndiki Dike (perupa), Amarachi Okafor (pelukis dan pematung), serta aktivis, perupa, fotografer, dan kolumnis kenamaan Nigeria, Victor Ehikamenor.

Biennale Jogja 2015 bakal menjadi perhelatan ke-13 Biennale Jogja, sekaligus biennale ketiga yang mengusung tema besar Ekuator. Tema besar Ekuator sejak 2011 ”membatasi” sekaligus menajamkan wilayah kerja Yayasan Biennale Jogja, sekaligus menjadi pembeda dari berbagai biennale lain di dunia.

Direktur Eksekutif Yayasan Biennale Yogyakarta, Yustina Neni, menyebut gagasan tema besar Ekuator dipilih sebagai upaya memperkuat pengaruh Biennale Jogja terhadap perkembangan seni rupa global. Tema besar Ekuator sekaligus menjadi upaya keluar kecenderungan pola relasi dunia yang didominasi wacana ”barat” dan ”utara”.

Pada 2011, Biennale Jogja dibangun kolaborasi para seniman Indonesia dengan seniman India, mengusung tema ”Religiusitas”. Pada 2013, Biennale Jogja menjadi wadah bagi kolaborasi seniman Indonesia dengan puluhan seniman dari lima negara jazirah Arab—Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Yaman, dan Oman—dengan mengusung tema ”Mobilitas”.

Akankah upaya menyabung para seniman Indonesia dan seniman Nigeria mampu mencuatkan konflik kreatif berharga dan berhasil diretas menjadi harmoni baru?

OLEH: ARYO WISANGGENI G


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Juli 2015, di halaman 26 dengan judul “Mengejar Biennale Jogja”.