WS Rendra: Doa untuk Kita Semua

0
3768

”… Dengan puisi ini aku bersaksi

bahwa hati nurani itu

meski dibakar

tidak bisa menjadi abu.

Hati nurani senantiasa bisa bersemi

meski sudah ditebang putus di batang.

Begitulah fitrah manusia

ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.”

(WS Rendra, ”Kesaksian Akhir Abad”, hal 39)

Puisi-puisi WS Rendra selalu menjadi bara yang siap menyulut telinga siapa saja yang selintas mendengar atau bahkan sengaja membaca sajak-sajaknya. Kewibawaan yang amat khas membuat decak kagum di atas panggung. Suaranya menjelma gumpalan kata-kata yang siap meledak kapan dan di mana saja.

Sumpah serapah menjadi obsesi terpenting terhadap gejolak politik dan ketidakadilan yang ia rasakan. Tak hanya itu, gayanya yang ”urakan” menjadi cermin bahwa ia tak pernah gentar terhadap penguasa. Itulah yang membuat sosoknya selalu dikenang dari zaman ke zaman.

Si Burung Merak dari Parangtritis ini selalu memercikkan pencerahan lewat karya-karyanya yang memukau. Melalui pembacaan sajak-sajaknya, ia tampak melakukan demonstrasi secara tunggal. Metafora-metafora sederhana, terang- menderang, serta gamblang menyampaikan pesan, membuat seruannya lebih menggelegar dari kerumunan mahasiswa yang sering kita temukan di jalan-jalan menyuarakan tuntutan.

Kisah perjalanan seni dan kehidupan WS Rendra selama berkiprah di dunia kepenyairan terurai secara jelas dalam hampir separuh buku ini. Berbagai tantangan dan ancaman bertubi-tubi datang menerornya. Rendra tetap bergeming.

Tidak jauh beda dari buku-buku sebelumnya, penulis dengan nama lengkap Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo ini masih memilih amunisi yang sama dalam buku kumpulan puisi terbarunya yang berjudul Doa untuk Anak Cucu.

Amunisi Kata

Di dalam buku setebal seratus halaman ini, selain tulisan tentang proses hidupnya di bagian akhir, tidak kurang dari 22 puisi yang ditulis kisaran tahun 1973-2009 yang memiliki beragam tema dan wacana berbeda tersaji dalam keutuhan yang tak dapat dipisahkan. Bahkan dua puisi di antaranya disertai tulisan tangan Rendra. Tema-tema kritik masih mendominasi, harapan, kekecewaan, serta kecintaannya kepada Sang Pencipta akan kita temukan dalam lembar per lembar buku kumpulan puisi terbaru yang belum pernah dipublikasikan ini.

Berikut kutipan puisi WS Rendra yang masih menelurkan kritik terhadap gejolak zaman serta kekuasaan dengan amunisi kata-katanya yang tajam. ”O, zaman edan!/ O, malam kelam pikiran insan!/ Koyak moyak sudah keteduhan tanda kepercayaan./ Kitab undang-undang tergeletak di selokan./ Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan” (”Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia”, hal 20).

Dengan bahasa yang gamblang, puisi di atas begitu kuat dalam menyampaikan pesan kehidupan, zaman yang kacau, masalah undang-undang, kemelaratan, membuat siapa pun paham maksud dan maknanya bahwa puisi ini adalah protes keras. WS Rendra sendiri mengatakan, ”Puisi bukan terletak pada rumit dan tidaknya sebuah kalimat itu ditulis, melainkan kemampuan dalam mengolah bahasa, dalam hal ini kemampuan berekspresi”. Begitulah ia memberi nyawa serta energi dalam tulisannya.

Lain halnya dengan puisi ”Maskumambang”. WS Redra tampaknya menyesali dirinya yang tak dapat memberikan apa-apa terhadap generasi untuk meneruskan perjuangan bangsa. Kekecewaannya memuncak terhadap peradaban zaman yang makin edan. ”... Cucu-cucuku!/ Zaman macam apa, peradaban macam apa,/ yang akan kami wariskan kepada kalian!/ Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang./ Kami adalah angkatan pongah./ Besar pasak dari tiang./ Kami tidak mampu membuat rencana/ menghadapi masa depan…/.(”Maskumambang”, hal 58).

Dan untuk puisi ”Tuhan, Aku Cinta pada-Mu” ia menampakkan kecintaan dan kepasrahan tulus hatinya kepada Sang Pencipta. …Aku pengin membersihkan tubuhku/ dari racun kimiawi./ Aku ingin kembali ke jalan alam/ Aku ingin meningkatkan pengabdian ke kepada Allah…”(”Tuhan, Aku Cinta pada-Mu”, hal 61).

Puisi di atas mencerminkan bagaimana WS Rendra ingin menghapus segala dosa-dosanya sebelum maut datang menjemputnya. Ingin mengabdikan dirinya terhadap segala perintah-Nya. Secara utuh, tidak setengah-setengah. Ia tampak merasa sudah bosan di dunia yang katanya penuh sandiwara sehingga ia berseru ingin kembali ke alam, alam yang kekal dan abadi (Tuhan). Puisi ini ditulis 31 Juli 2009 sebelum ia wafat 6 Agustus 2009.

Buku kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu yang dilengkapi dengan foto-foto dirinya ketika membaca sajak di atas panggung ini sangat tepat dipublikasikan di era demokrasi yang penuh kesemrawutan seperti sekarang. Gejolak politik yang diam-diam makin mengerikan, para politisi yang bangga dengan uang korupsi, serta keputusan-keputusan hukum yang tak berakal. Puisi-puisi terbaru WS Rendra benar-benar menjadi amunisi yang pantas diledakkan.

Rendra tak hanya melayangkan kritik pemberontakan, tetapi juga pencerahan, tuntunan, harapan masa depan, serta doa untuk kita semua agar terhindar dari dunia fana.

Homaedi | Pencinta Sastra Tinggal di Sumenep