Oscar Lolang, Sejumput Folks dari Jatinangor

50
2717

Jam menunjukkan pukul 12.30 siang kala Oscar Lolang datang memenuhi permintaan wawancara Kompas Muda untuk berbincang di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (2/9/2019). Tampilannya kasual, pembawaannya sederhana. Tak ada geliat star syndrome yang membuatnya ingin tampil mentereng atau jadi pusat perhatian di keramaian, sekalipun namanya sudah akrab di telinga penikmat musik indie lokal.

Nama Oscar Lolang mulai dikenal di industri musik Indonesia sekitar dua tahun lalu. Lagu ciptaannya bertajuk “Eastern Man” berhasil mencuri perhatian dengan menawarkan lirik emosional dan melodi yang membuatnya seolah sedang bercerita. Lagu yang mengangkat keresahan masyarakat Papua ini merupakan karya pertama yang ia teluhkan sebagai musisi profesional.

Oscar sudah akrab dengan dunia musik sejak belia. Sedari kecil, ia mengaku kerap diputarkan lagu dari band besar dunia seperti Queen oleh sang ayah. Kebiasaan itu berkembang menjadi sebuah kegemaran hingga memotivasinya membuat sebuah band genre metal semasa SMA bernama Amethyst.

Kebiasaan bermusik terus berlanjut pada masa perkuliahannya. Pada masa kuliah, Oscar juga aktif membuat lagu dan merilisnya ke sebuah platform musik daring. Tanpa sadar, ia semakin terbiasa bergumul dengan musik.

Oscar menuturkan masa perkuliahannya di Jatinangor, tepatnya Universitas Padjadjaran, turut menjadi dorongannya berkarier secara serius di dunia musik. Diakui atau tidak, Jatinangor memang cukup aktif melahirkan musisi-musisi indie lokal lintas genre. Sebut saja Bottlesmokers, The Panturas, Alvin and I, dan Sky Sucahyo yang bukan nama asing di kancah musik indie lokal Indonesia.

Sejatinya, keberhasilan tersebut tak lepas dari peran berbagai komunitas musik di Jatinangor, termasuk di Unpad sendiri, yang aktif dan rutin mengadakan kegiatan sebagai wadah asah, asih, dan asuh para musisi pemula.

Oscar merasa dirinya masuk ke Universitas Padjajaran di waktu yang tepat. Sekitar tahun 2012, komunitas musik kampusnya memang sedang berkembang menjadi wadah sempurna bagi para mahasiswanya mengasah talenta di bidang musik. Tak hanya membesarkan nama para musisi di skena musik kampus, komunitas-komunitas ini memiliki ambisi untuk membawa musik Jatinangor ke skena antar kota atau bahkan nasional.

“Dulu itu band Jatinangor agak susah mendobrak wilayah di luar Jatinangor, bahkan ke Bandung sekalipun. Lalu ada satu pionirnya, Alvin and I yang berhasil manggung di Bandung. Akhirnya, anak-anak komunitas punya ide untuk membuat sebuah acara yang bisa memberikan dukungan bagi band pemula untuk manggung di Bandung waktu itu. Ya begitulah, dukungannya justru dari komunitas-komunitas,” ucap Oscar.

Hidup di lingkungan padat komunitas musik membuat semangat bermusiknya terus bergeliat. Berbagai dukungan dari kawan-kawan membuatnya berani mengambil langkah menjadi seorang musisi penuh waktu.

“Dukungan dari teman-teman sih yang membuat saya berani. Dulu aku pernah nge-tweet soal keinginan saya total jadi musisi, eh ternyata tweet itu disambut positif sama teman-temanku bahkan sama orang-orang yang tadinya hanya sapa-sapaan saja. Sebesar itu dukungannya,” tutur Oscar.

Oscar Lolang kala ditemui Kompas Muda untuk berbincang terkait musik dan kehidupannya, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (2/9/2019)

Musik yang Bersuara

Jika sebagian musisi menolak untuk dimasukkan ke dalam satu genre, Oscar dengan gamblang menyatakan musiknya memang mengerucut ke ranah Folks. Lagu-lagu pelantun lagu “Little Sunny Girl” ini rata-rata memang memiliki komposisi minimalis dengan petikan akustik yang sangat kental nuansa genre Folks. Deretan musisi favoritnya yang memiliki genre serupa jadi sebuah referensi musikalitas seorang Oscar Lolang.

“Musikku bisa dikecilkan ke genrenya Folks, karena aku mengambil referensi sama musisi-musisi Folks. Akupun saat bikin lagu juga sangat menitikberatkan pada lirik. Musisi kayak Bob Dylan, Nick Drake, ya musisi Folks lah, mereka fokusnya juga di lirik,” tutur Oscar.

Bagi Oscar, musik adalah sebuah lagu tema yang mengiringi setiap emosi dan peristiwa kehidupan. Ia senantiasa melahap peristiwa atau isu apapun sebagai referensi yang menggerakkannya untuk bersuara.

“Aku biasanya recap buku apa saja yang aku baca, film apa yang aku tonton, apa yang aku alami dan sebagainya. Dulu saat buat “Eastern Man”, standar pemilihannya apa yang paling membuatku marah atau resah, tapi kalau sekarang apa yang paling membuatku terpanggil,” ucapnya.

Bicara idealisme musik, pria lulusan Antropologi Unpad ini berkeinginan untuk menjadikan karyanya sebagai karya yang mampu bersuara. Suara memang sebuah elemen penting dalam kehidupan seorang musisi. Suara merupakan modal utamanya untuk mengungkapkan gagasan dalam diri. Gagasan yang bersuara inilah yang ia harapkan mampu meneluhkan gagasan, karya, dan perjuangan baru lainnya.

“Aktivis punya cara sendiri untuk menunjukkan suara mereka. Pelukis juga punya lukisan untuk menyuarakan pikiran mereka. Ya kami musisi punya suara untuk mengungkapkan pikiran kami. Saya harap suara saya ini bisa meneluhkan gagasan dan perjuangan baru lagi,” tegas Oscar.

Oscar baru saja merilis lagu bertajuk “I Breathe Fire” sebagai bagian dari album kompilasi Greenpeace Indonesia berjudul Senandung Energi Bumi. Di waktu dekat, ia akan merilis sebuah single yang banyak berkisah tentang dirinya dan latar kisah pembuatan lagu-lagunya di album sebelumnya.

Biodata:

Nama: Oscar Majid Lolang

Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 2 Juli 1993

Karya: Mini Album “Epilogue” dan album “Drawning in a Shallow Water”

Diana Valencia, Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara.

Comments are closed.