Pantang Menyerah Demi Cinta Sastra

0
402

Yudisthira Swarabahana yang akrab dipanggil Yudis ini, tergolong anak yang pemalu dan pendiam. Ia sangat mengemari karya sastra dan juga mengkoleksi buku-buku filsafat. Namun, hal itu tidak menghambatnya untuk membuat komunitas atau Unit Kegiatan Mahasiswa di kampusnya, Universitas Multimedia Nusantara, yang diberi nama Pojok Sastra.

Pojok Sastra adalah komunitas bagi mahasiswa yang menyukai sastra dan literatur. Yudis ingin kecintaanya pada sastra menular ke teman-temanya, meski ia tahu itu bukan hal yang mudah.

“Buat yang cupu-cupu gitu lah, kutu buku,” katanya. Kegiatan ini biasanya diadakan seminggu sekali, tetapi tidak ada hari yang tetap. “Tergantung kapan pembicaranya bisa, baru diskusi digelar,” sambungnya.

 

Salah satu kegiatan Pojok Sastra, adalah berdiskusi dengan berbagai tema, mulai sosial, filsafat sampai budaya.Foto: Arsip Pojok Sastra.

Dalam kegiatan mingguan ini, mahasiswa anggota Pojok Sastra berkumpul untuk berdiskusi tentang hal umum, yang menjadi pembicara adalah mahasiswa, siapa saja boleh dari kampus atau luar kampus. Topik yang diangkat biasanya tentang hal umum.

“Awal-awal kami diskusi tentang toleransi beragama, Pancasila, ngomongin filsafat, budaya ya seputar itu,” ujarnya.

Yudis dan kawan-kawannya juga menargetkan proyek peluncuran buku setiap satu semester. “Buku yang sudah kami luncurkan berjudul ‘Mahasiswa Sebait Lagi’, yang berisikan puisi dan ilustrasi dari para mahasiswa,” kata Yudis.

Tetapi hal itu tidak berjalan dengan mulus karena anggota Pojok Sastra lainnya tidak memiliki semangat yang sama seperti Yudisthira dan BPH Pojok Sastra. “Generasi penerusnya punya visi misi yang kuat enggak? Ternyata dari situ terlihat, anggota Pojok Sastra setiap minggunya berkurang, sampai ahkirnya cuman sisa gue aja sama anak-anak BPH. Batal deh jadi UKM tetap,” ujarnya.

Tanggapan anggota Pojok Sastra lainnya, yang sudah beberapa kali mengikuti sesi berdiskusi membuat Yudis kecewa, “Kata orang-orang, sih, kegiatannya berat, partisipan diskusinya minder terhadap topik diskusinya. Padahal Pojok Sastra enggak pernah punya standar intelektual khusus atau gimana untuk diskusi,” kata Yudis.

Fifi Harahap, satu mantan anggota Pojok Sastra, menyayangkan pembubaran UKM itu. “Padahal seru banget. Diskusinya juga seru, topiknya bagus-bagus. Tapi ya selera orang, kan, beda-beda ya,” kata mahasiswi Jurusan Komunikasi, UMN ini.

Sebetulnya Fifi salah satu anggota yang bertahan lama dan mengikuti Pojok Sastra sejak awal didirikan. Ia juga ikut aktif membuat buku Mahasiswa Sebait Lagi. Namun pada ahkirnya ia juga harus meninggalkan Pojok Sastra karena sibuk dengan kegiatan lain yang diikutinya, Mapala. “Ya jadwal sering bentrok ahkirnya harus milih. Sedih juga tapi gak ada pilihan lain”.

Ketua Pojok Sastra ini akhirnya memutuskan untuk menyudahi kegiatan tersebut. “Udah enggak ada yang ngajuin topik diskusi lagi, jadi ya stop dulu deh. Gue udah tanya ke mereka ‘Ada enggak nih yang mau ngajuin topik diskusi?’ Tapi tetep aja gak ada yang mau,” katanya.

Walaupun komunitas di kampus sudah terhenti, Yudis tidak pantang menyerah. Ia tetap menyalurkan ide besar Pojok Sastra di luar kampus dengan nama baru, “Same Old Shit” yang diadakan di kedai kopi di daerah Tangerang, Banten.