Tak ada yang lebih mencengangkan
daripada kesunyian dini hari
yang membuatku tersadar
ketika mendengar namamu
adalah bunyi detak jantungku.
Nama kamu. Nama kamu. Nama kamu.
Aku menyalakan kipas angin untuk sejenak menyanggah.
Kupencet angka tiga
dengan membiarkannya otomatis berputar:
kiri dan kanan.
Namun, tiba-tiba wanita tanpa kepala menghampiriku
dan memberi tahu bahwa meskipun ksatria berkuda
keluar dari lukisan tua untuk memenggal kepalaku
bahkan memotong-motong badanku
menjadi delapan atau dua belas bagian;
itu akan sia-sia.
Dini hari yang dingin ketika aku tertidur mendengkur.
Panah jam dindingku
yang seruncing bambu pejuang kemerdekaan
pernah menyuduk-yuduk kepalaku
agar aku hilang ingatan:
kasar dan berkali-kali
”Kenangan itu bukan berada dalam ingatan,”
pekik wanita tanpa kepala.
Muhammad Ridwan Tri Wibowo, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia