“Resign”

0
439

Anita membuka lembaran demi lembaran kertas itu sambil memijit-mijit kepalanya pelan. Sudah dua hari ini ia lembur dan berkutat dengan seluruh jadwal meeting yang begitu padat di minggu ini. Peluncuran produk terbaru dari ‘Hulo Jeans’ membuat jadwal direkturnya itu seketika padat, dan sebagai sekretaris—Anita adalah orang yang bertanggung jawab untuk membereskan semua jadwal tersebut sesuai dengan permintaan bos-nya tersebut.

Tiba-tiba saja, ponselnya berdering cukup kencang, telepon masuk dari ibunya. Anita segera mengambil ponsel yang ia letakkan di pojok meja kerjanya tersebut dan tidak lama kemudian Anita langsung menggeser tombol berwarna hijau yang ada di layar ponselnya untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, bu?”

“Halo, nak…” Jawab ibunya dengan suara lembut. “Kamu ke sini jam berapa jadinya?”

Anita langsung melihat ke arah arlojinya, jarum panjang jam tangannya sudah menunjukkan pukul delapan malam. “Hmm… kayaknya Anita bakal pulang kerumah telat, bu. Hari ini masih banyak pekerjaan Anita yang belum selesai.”

“Oh, begitu ya…” Walaupun tetap terdengar tenang, namun Anita bisa mendengar dengan jelas nada kecewa dari suara ibunya barusan.

“Iya, bu… maaf ya…” Balas Anita lesu. “Ibu, bapak, sama Rio rayain ulang tahun bapak duluan aja, Anita sudah titip hadiah buat bapak ke Rio.”

“Ya sudah, gak apa-apa kok, Nak. Nanti kalau sudah selesai ngantor, langsung pulang ya. Kamu hati-hati nyetirnya, sudah malam.”

“Iya, bu. Salam buat bapak ya, bilang selamat ulang tahun dari Anita.” Ucap Anita sambil tersenyum pilu.

Anita segera meletakkan kembali ponselnya di atas meja kantor, ia lalu mengusap wajahnya pelan dengan kedua telapak tangannya. Anita lantas melirik ke arah figura yang berisi foto keluarganya itu dengan pandangan lesu. Bahkan di hari ulang tahun ayahnya saja, Anita tidak bisa pulang cepat untuk merayakan hari yang hanya terjadi setiap satu tahun sekali tersebut.

Tangan kanan Anita sontak membuka laci meja kantornya yang berisi beberapa dokumen dan peralatan tulisnya. Dibagian laci paling dalam, Anita tahu ada sebuah surat dalam amplop putih yang belum pernah ia sentuh lagi setelah 2,5 tahun lamanya. Namun, untuk hari ini saja, entah kenapa tangan Anita rasanya ingin merogoh surat itu dan membawanya keluar dari dalam laci meja kantornya tersebut.

Anita lantas menarik surat dalam amplop putih itu secara perlahan. Ketika amplop tersebut sudah benar-benar terpampang wujudnya di depan mata Anita, wanita itu lalu menghembuskan nafas berat sambil melihat kalimat besar yang ditulis dengan spidol hitam diatas amplop tersebut.

‘Hah…. Apakah ini sudah saatnya Anita untuk resign?’

***

“Assalamualaikum.” Ucap Anita sambil menutup kembali pintu rumah kedua orang tuanya tersebut. Anita lantas menyalakan lampu ruang tamu yang semula sudah dimatikan itu, kedua matanya langsung melirik ke arah jam dinding rumahnya yang sudah menunjukkan pukul 10:30 malam.

Suasana rumahnya sudah terasa sepi, Anita tahu bahwa kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya itu sudah kembali ke kamar mereka masing-masing untuk pergi tidur. Anita lantas melepas high-heels yang dikenakannya itu, lalu segera berjalan dengan langkah pelan menuju ke kamar tidurnya.

Anita kembali menutup pintu kamar tidurnya dengan sangat hati-hati agar tidak sampai menimbulkan suara. Dengan langkah cepat, ia segera melemparkan tubuhnya keatas tempat tidur yang sudah sekitar satu bulan lebih tidak ia tempati tersebut.

Sejak tinggal sendiri di apartemen, Anita memang hanya kembali ke rumah orang tuanya ini setiap dua minggu atau satu bulan sekali. Anita memutuskan untuk tinggal di apartemen yang lokasinya lebih dekat dengan kantornya, sejak tahun kedua bekerja di perusahaan brand pakaian lokal tersebut. Dan sekarang, tidak terasa sudah hampir tiga tahun ia menetap diapartemen-nya itu, dan kurang lebih lima tahun Anita sudah bekerja di perusahaan sekarang

“Ah… capek banget.” Keluh Anita sambil memejamkan kedua matanya.

Anita bisa merasakan seluruh otot-otot tubuhnya yang terasa pegal. Memang, ketika perusahaan sedang meluncurkan koleksi terbaru, maka saat itulah Anita akan bekerja super extra.

Sebagai sekretaris dari direktur perusahaan, Anita harus menyusun semua jadwal direkturnya tersebut hingga mengikuti kemanapun direkturnya itu pergi. Entah meeting, entah business lunch, dinner, golf, dan lain sebagainya.

Bukannya Anita tidak menyukai pekerjaan, ia justru sangat mencintai pekerjaannya. Ia memiliki bos yang sangat baik—ibu Anne, dan lingkungan pekerjaan yang suportif. Namun, entah kenapa, akhir-akhir ini Anita merasa jenuh. Bukan jenuh pada pekerjaanya, tapi lebih jenuh dengan hidupnya yang sangat monoton. Bahkan, Anita bisa merasakan bahwa passion kerja-nya semakin terkikis setiap harinya.

Anita sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa jenuhnya tersebut, mulai dari ambil cuti liburan, hingga bos-nya sendiri yang menawarkan Anita untuk melakukan perjalan bisnis keluar negeri, agar sekaligus Anita bisa berlibur sambil refreshing. Namun, ternyata berbagai hal yang sudah dilakukannya itu tetap tidak bisa membawa passion Anita kembali.

Anita kemudian segera beranjak dari posisi tidurnya, wanita itu kemudian melangkah ke arah rak bukunya yang ada di pojok kamar tidurnya. Anita menyentuh buku-buku itu dengan jari-jari tangannya. Seketika Anita kembali teringat akan mimpi masa lalunya, yaitu menjadi seorang penulis.

Mimpi itu tidak pernah pergi dari hati dan pikiran Anita, masih tersimpan dengan sangat rapih dibenaknya. Namun, manusia memang tidak pernah tahu kemana hidup akan membawa diri mereka. Contohnya, seperti Anita sekarang, saat kuliah ia sengaja masuk jurusan sastra untuk mengejar mimpinya menjadi seorang penulis, namun ia justru berakhir menjadi seorang sekretaris di ‘Hulo Jeans’.

Anita kemudian menarik sebuah novel dengan judul ‘Twilight’. Ia lalu tersenyum tipis sambil memandangi novel tersebut, Anita ingat sekali novel ini adalah sebuah mahakarya yang berhasil membuat Anita memiliki mimpi untuk menjadi penulis seperti Stephanie Meyer.

Saat tengah membuka lembar demi lembar dari novel tersebut, Anita tiba-tiba menemukan sepucuk kertas yang warnanya sudah mulai kecoklatan tersebut. Anita lalu menarik kertas itu keluar, kedua matanya langsung membesar saat membaca kata demi kata yang ada di dalam kertas tersebut.

‘Anita, kalau mungkin suatu saat nanti kamu lupa tentang mimpimu yang berawal dari novel ini, ingat; mimpi tidak punya tanggal kadaluarsa. Jadi, jangan berhenti untuk mencoba, ya!’

Anita lantas menggigit bibir bagian bawahnya pelan. Ia tidak pernah tahu bahwa hanya dengan sepucuk surat yang ditulis oleh dirinya di masa lalu itu, dapat mempengaruhi sebuah keputusan terbesar yang akan segera ia ambil dihidupnya saat ini.

***

“Apa kamu sudah yakin sama keputusan ini, Anita?” Tanya Ibu Anne sambil memegang kertas putih tersebut dengan kedua tangannya. “Apa yang membuat kamu ingin sekali resign?”

Anita menganggukan kepalanya pelan, ia lalu menautkan kedua telapak tangannya sambil tersenyum. “Saya rasa diri saya ini butuh untuk istirahat sejenak, bu.”

“Kamu bisa ambil cuti libur loh, saya yang berikan. Kamu mau berapa hari? Satu minggu? Dua minggu? Satu bulan?”

Anita lalu terkekeh pelan setelah mendengar ucapan ibu Anne barusan. “Terimakasih banyak, ibu memang sangat baik.”

“Tapi, saya merasa benar-benar butuh rehat dari semua kegiatan, bu… Entah kenapa, saya seperti kehilangan passion saya dalam bekerja. Awalnya, saya kira ini hanya perasaan sementara saja, namun sampai saat ini saya masih merasa seperti itu. Saya tidak mau bekerja dengan hati setengah-setengah, apalagi untuk perusahaan sebesar ini dan bos sebaik ibu.” Sambung Anita sambil menundukkan kepalanya.

Ibu Anne hanya bisa terdiam setelah mendengar ucapan Anita barusan, entah kenapa jantung Anita terasa berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut jika kata-katanya barusan menyinggung bosnya tersebut. Sebab, Ibu Anne benar-benar orang yang sangat baik. Ia adalah tipe pemimpin yang sangat mengayomi dan sangat peduli dengan para staff-nya.

Saat ini, Anita pasti kedengaran seperti karyawan yang tidak tahu rasa bersyukur, ya? Tapi, untuk saat ini saja, Anita merasa perlu mengatakan itu semua untuk kebaikan dirinya sendiri—sebelum ia memikirikan tentang kebaikan untuk orang lain.

“Saya mengerti.” Jawab Ibu Anne sambil meletakkan kacamatanya di atas meja. “Baiklah Anita, saya terima permintaan kamu ini. Saya yakin, Cuma kamu yang tahu segala yang terbaik untuk diri kamu sendiri.”

Anita lantas mengalihkan pandangannya kembali menuju ibu Anne, wanita itu sudah tersenyum lembut ke arahnya. Tidak lama kemudian, ibu Anne segera beranjak dari kursi kerjanya dan langsung melangkah ke arah Anita berdiri saat ini.

Tiba-tiba saja, wanita itu memeluk tubuh Anita sambil mengusap-usap punggungnya dengan lembut. “Terimakasih ya, Anita. Kamu sudah berkontribusi banyak untuk Hulo Jeans selama lima tahun belakangan ini, saya harap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari.”

Anita lalu menundukkan kepalanya hingga menyentuh bahu ibu Anne, tanpa ia sadari air matanya mulai menetes deras dari kedua kelopak matanya. Anita lalu membalas pelukan ibu Anne, ia benar-benar tidak bisa mendeskripsikan perasananya saat ini. Yang pasti, Anita merasa sangat bersyukur bisa bekerja dibawah wanita hebat dan bijaksana seperti ibu Anne.

Walaupun berat untuk melepaskan ini semua, tapi Anita tahu hidup memang dasarnya adalah sebuah pilihan dan tidak semua hal harus kau miliki didunia ini. Semua orang pasti memiliki bagiannya masing-masing.

“Terimakasih ibu Anne, saya pasti akan selalu ingat jasa-jasa ibu. Bahagia terus, ya bu….” Ucap Anita dengan suaranya yang masih terdengar bergetar.

***

Anita berjalan dengan langkah mantap dan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, ia menyapa seluruh karyawan kantor Hulo Jeans yang juga ikut melemparkan senyum kepadanya itu.

Good morning.” Sapa Anita kepada Tia—resepsionis yang bertugas didepan area Director’s & staff office.

Tia lantas membalas senyum Anita dengan wajah sumringah. “Baru pertama kali, saya lihat orang yang kelihatan bahagia banget d ihari terakhirnya kerja, mba.”

Anita lantas terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya cepat, “Jangan sampai kangen saya, ya!”

“Kalo itumah sudah pasti mbak, main-main terus ya kesini!”

Anita lantas mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum kearah Tia sebelum kembali meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruangan kantor dari staff inti yang bekerja untuk direktur Hulo Jeans.

Saat baru melangkah masuk, tiba-tiba saja terdengar suara letupan yang cukup keras, membuat Anita refleks menutup kedua matanya rapat-rapat. Ketika ia kembali membuka pandangannya, tiba-tiba saja banyak kertas confetti yang sudah berhamburan diatas kepala Anita.

Surprise!!!” Seru seluruh staff yang sudah berkumpul tepat didepan meja kantor Anita sambil memakai atribut perayaan ulang tahun yang terlihat sangat meriah.

“Loh, siapa yang ulang tahun nih??” Tanya Anita sambil membersihkan beberapa kertas confetti yang menempel diatas kepalanya.

“Gak ada, kok!” Sahut Linda—salah satu staf yang bekerja dibagian marketing. “Kita cuma mau ngadain pesta perpisahan kecil-kecilan buat mbak Anita!”

Seketika suasana kembali berubah meriah, Linda kemudian membawakan sebuah mahkota mainan yang segera ia letakkan diatas kepala Anita. Kemudian, Denada—staf yang bekerja dibagian web design, ikut melingkarkan sebuah selempang bertuliskan ‘BEST SECRETARY OF HULO JEANS’ yang kini sudah bertengger melingkari tubuh Anita.

“Ya ampun ini masih pagi loh, aku terharu—tapi kan kalian masih harus kerja habis ini…”

“Hari ini, seluruh staff Director’s office akan diliburkan dulu. Kita akan pergi makan keluar untuk merayakan hari terakhir Anita di Hulo Jeans.” Ucap ibu Anne yang tiba-tiba muncul di tengah kerumunan karyawan.

Tentu saja, ucapan ibu Anne barusan langsung disambut meriah oleh seluruh karyawan yang saat ini berkumpul disana. Anita hanya bisa tersenyum lebar sambil melihat kearah ibu Anne yang langsung membalas senyumannya dengan ekspresi sumringah.

“Terimakasih semuanya, terimakasih atas surprise dan kerja-samanya selama ini… aku pasti bakal inget jasa kalian semua! Sekali lagi, makasih ya!” Seru Anita yang langsung megangkat kedua telapak tangannya yang sudah dikepalkan itu keatas.

“Aaaaah, mbak Anita jangan bikin nangis sekarang dooong!” Balas Linda yang langsung berlari-lari kecil untuk memeluk Anita, disusul dengan beberapa karyawan wanita lain yang ikut merangkulnya dengan erat.

“Mbak Anita sukses terus ya… mbak!”

“Mbak Anita semoga bahagia selalu ya, mbak!”

“Mbak Anita kalo nikah jangan lupa undang aku ya, mbak!”

“Mbak Anita jangan lupa cari suami yang kece badai ya mbak, kalo bisa yang mirip Rio Dewanto!!!”

Anita hanya bisa terkekeh pelan setelah mendengar ucapan-ucapan yang diutarakan oleh teman-teman kantornya barusan itu. Anita lalu menghembuskan nafasnya pelan sambil tersenyum lebar. Tentu saja, Anita akan merindukan suasana hangan ini seumur hidupnya.

            ***

“Assalamualaikum, ibu, bapak, Anita pulaaang!” Seru Anita sambil melepaskan sepatu sneakers-nya itu terlebih dahulu, sebelum menginjak lantai rumahnya.

“Loh, Anita? Tumben banget kamu dateng gak ngasi tahu ibu dulu?” Jawab Ibu Anita yang langsung berjalan tergesa kearah Anita. Bahkan, ibunya belum sempat untuk melepaskan apron masak yang masih dikenakannya itu, demi melihat sosok Anita yang tiba-tiba datang ke rumah tanpa pemberitahuan apapun.

“Iya, Anita emang lagi pengen pulang aja.” Jawab Anita sambil mencium punggung telapak tangan ibunya tersebut. “Oh iya, bapak sama Rio ada kan, bu?”

“Ada, bapak baru pulang dari toko, terus Rio ada di kamarnya. Tadi dia juga baru pulang, abis eskul futsal di sekolah.”

“Tolong suruh bapak sama Rio ke meja makan sekarang ya, bu!” Jawab Anita sambil mengangkat sebuah bungkusan berisi sebuah kotak besar yang ada tangan kirinya tersebut. “Anita bawa sesuatu, nih!”

“Itu apa, nak? Kok besar banget?”

“Ada, deh! Pokoknya suruh mereka ke meja makan sekarang ya, bu! Anita duluaan!” Sahut Anita sambil berjalan tergesa menuju kearah meja makan meninggalkan ibunya yang masih berdiri di posisinya sambil memasang ekspresi keheranan.

Happy birthday, bapak! Happy birthday, bapak! Happy birthday, Happy birthday, Happy birthday, bapak!” Anita kemudian menepuk tangannya beberapa kali, sebelum bapaknya mulai meniup lilin yang melingkari kue tar pemberian Anita tersebut.

“Makasih ya, Nit…” Ujar bapak sambil menarik bahu Anita lalu mencium kening putrinya tersebut.

“Kok kita rayain ultah bapak lagi sih, bu? Kan minggu kemarin udah?” Ujar Rio—adik laki-laki Anita, sambil melirik ke arah kakaknya itu dengan tatapan bingung.

“Ya, minggu kemarin kan aku nggak ikut!” Protes Anita sambil memayunkan bibirnya. “Udah deh, kamu tugasnya cuma tinggal makan kuenya aja nih! Sengaja aku beliin rasa coklat moka favoritmu, padahal ini ultah bapak!”

“Iya, aku kan cuma nanya…” Jawab Rio sambil mencolek krim kue tersebut dengan jari tangannya.

“Rio, ih! Pake sendok nih, jorok banget sih!” Tegur Anita sambil menyodorkan sendok logam yang kini ada digenggaman tangannya itu kearah Rio.

“Sudah-sudah jangan berantem, ini ibu potongin kuenya.” Ucap ibu mereka sambil mengambil pisau plastik dari dalam kotak kue yang dibeli oleh Anita tersebut.

“Ngomong-ngomong, Anita udah resign dari kantor, bu, pak.”

Semua orang yang ada di meja makan seketika menghentikkan aktivitas mereka dan langsung melihat ke arah Anita secara bersamaan.

“Kenapa kalian ngeliatin aku barengan gitu, sih?”

“Mbak Anita resign dari kantor? Kenapa?” Tanya Rio yang sempat melirik kearah ibunya sebentar, lalu kembali melihat kearah Anita.

“Pengen resign aja, aku lagi butuh refreshing.”

“Berarti sekarang mbak Anita jadi pengangguran dong—”

Tiba-tiba saja, ibunya mengetuk piring Rio sehingga membuat adik laki-laki Anita itu tidak jadi meneruskan ucapannya barusan. Anita lantas melihat ke arah ibunya, yang kini sudah kembali meneruskan aktivitasnya, yakni memotong kue ulang tahun milik bapak tersebut.

“Iya, memang kerja terus gak bagus juga, Nit. Bapak lihat kamu makin kurus saja akhir-akhir ini, sudah kayak tulang.” Bapak lantas mendorokan piringnya yang sudah berisi sepotong kue tar tersebut ke arah Anita. “Sekarang, kamu makan yang banyak saja. Ini semua kue ulang tahun bapak, kamu habiskan juga gak apa-apa.”

“Lah? Terus bagianku mana?” Protes Rio yang langsung memasang wajah jengkel.

“Kalo kamu sudah kebanyakan gizi, ibu kan sudah masakin kamu setiap hari.” Gurau bapak sambil mengacak-acak rambut Rio perlahan.

“Nih, kamu makannya sayur aja yang banyak! Biar cepat tinggi!” Sahut Ibu sambil menyodorkan semangkuk sayur bayam yang sudah dibuatnya untuk makan malam itu kearah Rio.

“Bukannya tambah tinggi, nanti aku malah berubah jadi buto ijo ini gara-gara makan sayur setiap hari!” Balas Rio sambil memasang ekspresi cemeberut, namun tetap menyuap sayur bayam itu kedalam mulutnya.

Anita hanya bisa terkekeh sambil melihat ke arah anggota keluarganya itu secara bergantian. Anita tidak menyangka akan mendapatkan respon yang begitu ‘normal’ dari bapak, ibu, dan Rio.

Entah kenapa, dari dulu, Anita selalu merasa bersyukur tumbuh di keluarga yang selalu memberikan Anita kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Menurut kedua orang tuanya, yang tahu benar mengenai pilihan hidupnya hanyalah Anita sendiri—sama seperti ucapan ibu Anne saat dikantor minggu lalu sebelum dirinya resmi resign dari kantornya.

Dan ternyata, ucapan itu memang benar. Jika kamu hidup berdasarkan keinginan orang lain, maka kamu tidak akan bisa hidup dengan ‘sepenuhnya’. Tapi, jika kamu mengikuti kata hati dan pilihanmu sendiri, maka apapun yang kamu jalani akan terasa menyenangkan dan tidak penuh dengan tekanan.

Anita lalu menyuap sepotong kue yang dipotongkan oleh ibunya barusan itu kedalam mulutnya, sambil menikmati rasa manis dari kue tersebut, Anita kembali memandangi keluarganya secara bergantian.

“Anita mau mulai belajar untuk nulis lagi, pak, bu.”

Kedua orang tua Anita lantas menoleh kearah anak perempuannya itu, ekspresi mereka terlihat cukup terkejut setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Anita barusan.

“Bukannya ibu sama bapak pernah bilang, kalau mau kejar mimpi itu gak pernah ada tanggal kadaluarsanya?” Sambung Anita.

Ibu lantas menganggukkan kepalanya satu kali. “Bener, kok. Memang gak pernah ada kata terlambat buat mengejar mimpi, nak… Apapun yang ingin kamu lakukan kedepannya, Ibu sama bapak pasti dukung.”

“Iya, nak. Selagi kamu masih mau dan bisa, lakukan saja. jangan sampai menyesalinya nanti dihari tua karena kamu gak pernah coba untuk mulai dari sekarang.” Sambung bapak sambil mengusap bahu Anita pelan.

“Betul mbak.” Ucap Rio yang ikut-ikutan. “Aku gak bisa kasih nasihat apa-apa sih kayak bapak sama ibu… tapi karena mbak Anita pengangguran sekarang, aku bakal gantian kasih sedikit uang jajanku deh buat mbak Anita!”

Setelah mendengar ucapan Rio barusan, Anita beserta kedua orang tuanya lantas tertawa terbahak-bahak secara bersamaan.

Disepanjang jalan menuju ke rumah orang tuanya barusan, Anita masih bertanya-tanya kepada dirinya sendir: Apakah Anita benar-benar tidak akan menyesali keputusannya untuk berhenti?

Namun, saat dirinya berada di sini—dikelilingi oleh keluarga kecilnya yang bahagia, Anita bisa memastikan bahwa keputusan untuk resign adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah Anita ambil dalam hidupnya. Sebab, tidak ada harta yang lebih berarti dibandingkan momen yang ia rasakan bersama keluarganya saat ini.

TAMAT