Dilema Mahasiswa Rantau Melewati Lebaran dengan Suasana Berbeda

0
396

Tidak ada yang menyangka bahwa ramadhan dan hari raya Idul Fitri tahun ini akan dilalui dengan cara yang berbeda. Apalagi, kalau bukan karena virus korona yang mewabah di seluruh penjuru dunia.

Siapa yang tak takut, tamu tak diundang ini dapat berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya dengan begitu mudah, tanpa pandang bulu. Berkelana dari negeri Tirai Bambu hingga memutuskan untuk singgah di Tanah Air sejak 2 Maret 2020 hingga waktu yang tak dapat ditentukan.

Ramadhan, yang seharusnya menjadi bulan penuh kehangatan ini disayangkan tidak dapat dirasakan oleh Nisfi Laila. Ia adalah mahasiswa Jurusan Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Sejak diberlakukan penetapan kebijakan kuliah dari rumah, dara yang akrab disapa Nisfi ini memutuskan untuk tetap tinggal di tempat kosnya. Apalagi, kalau bukan karena takut akan terinfeksi virus mematikan yang menyerang sistem pernapasan manusia itu.

Sebenarnya, yang menjadi alasan utama dari Nisfi untuk tetap tinggal di tempat kos, karena daerah asalnya, Ciomas, Bogor termasuk ke dalam kawasan zona merah penyebaran virus korona.

“Bukannya enggak ingin pulang, namun daerah asal-ku itu udah masuk kawasan zona merah,” tuturnya . Semula ia mempunya rencana untuk buat pulang ke kampungnya, saat mendekati lebaran kemarin. Bagaimanapun Nisfi ingin bisa kumpul bareng keluarga. ”Tapi ternyata enggak bisa, keburu diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jatinangor,” lanjut Nisfi.

Ketika ditanyai mengenai bagaimana perasaannya saat ini, Nisfi mengakui bahwa ia merasa kesulitan dan sedih, “Jujur sedih banget sih. Baru kali ini lebaran sendirian kayak gini,” katanya mengungkapkan perasaannya.

Biasanya, seperti keluarga lain, lebaran menjadi momen kumpul bersama keluarga, makan-makan ketupat, maaf-maafan. “‘Kali ini terpaksa tidak bisa pulang ke rumah,” ujar Nisfi dengan suara bergetar seperti hampir menangis ketika bercakap via telepon pada Senin (25/5/2020).

“Minta maaf sama ibu pun cuma bisa lewat video call, rasanya beda banget. Sedih ya tapi mau gimana lagi ini semua terjadi karena kondisi yang enggak memungkinkan untuk pulang,” lanjutnya.

Tak hanya itu, selama berpuasa kemarin, cewek yang menjalani kuliah di semester dua tersebut mengaku kesulitan  menyiapkan santapan untuk sahur dan berbuka. Selain karena merasa waswas untuk bepergian, perasaan tersebut juga timbul karena tahun ini merupakan tahun pertama menjalani puasa di Jatinangor sebagai seorang perantau sehingga ia belum terbiasa untuk itu.

Dihantui tugas

Hal yang sama juga dirasakan oleh seorang mahasiswa Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor. Ia harus merelakan kebersamaannya untuk berkumpul dengan keluarga pada lebaran tahun ini akibat merebaknya virus korona.

“Sengaja enggak pulang karena terlalu riskan. Aku kan berada di kawasan zona merah, kalau pulang takut jadi carrier (penular) kepada orang-orang disekitarku nantinya. Terutama keluarga,” ujarnya. Meskipun belum tentu dipastikan apakah dia positif atau negatif dari virus korona, namun dia memilih mengantisipasi dengan tidak pulang demi keselamatan keluarganya.

Lalu, mahasiswa yang berusia 19 tahun itu mengungkapkan bahwa ia benar-benar tidak bisa menikmati momen lebaran tahun ini karena tugas-tugas akhir yang hari demi hari kian bertambah tak mengenal waktu.

“Tadinya, meskipun sendirian aku ingin coba menikmati suasana lebaran yang begitu baru untukku ini. Tapi kenyataannya lain. Bahkan di hari lebaran pun aku masih mengerjakan tugas akhir yang diberikan dosen,” katanya lagi.

Dia merasa bahwa dosen bersikap keterlaluan lantaran tetap memberikan tugas di hari besar umat Islam ini. “Seharusnya sih meskipun kuliah online ya waktunya libur mah tetep libur. Sedangkan ini tugas-tugas terus berdatangan enggak kenal waktu, deadline mepet pula,” urainya mengenai kegiatan yang harus ia lakukan.

Ia berterus terang apa yang ia harus lakukan membuat kondisi mentalnya tidak sehat, tetapi ia mau mengeluh sebab takut membuat  keluarganya justru khawatir karena kondisi yang harus ia alami. Apalagi ia sedang berada dan jauh dari orangtua dan kerabatnya.

Berpikir positif

Rasa ketar-ketir memang tak dapat dihindari dalam keadaan cabuh seperti ini. Namun, terselip dalam ungkapan setiap narasumber yang berkisah bahwa mereka harus tetap berusaha untuk berpikiran positif.

Coronavirus Disease 2019 itu mudah menyerang manusia yang memiliki imunitas tubuh yang lemah. Berpikiran negatif hanya akan menumbuhkan rasa tertekan sehingga imunitas pun akan menurun,”‘ ujar mahasiswa tersebut.

Ia kemudian memilih tetap menjalani hidup sehat, membiasakan diri untuk selalu higienis, ikuti anjuran pemerintah, dan terus berpikiran positif. ”Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk memerangi virus di negeri ini,” katanya.

Bagi mereka (mahasiswa rantau yang tak bisa mudik), lebaran tahun ini merupakan momen lebaran yang tidak bisa dilupakan. Banyak hal yang ‘hilang’, entah itu buka bersama kerabat dan keluarga, shalat tarawih berjamaah, atau bahkan menyantap hidangan khas hari raya, ketupat dan opor ayam.

Akan tetapi, dibalik setiap peristiwa yang terjadi, pasti selalu ada hikmah dan pelajaran yang menyertainya.

“Sekarang jadi lebih menghargai setiap momen kebersamaan bareng teman dan keluarga karena dikasih jauh sama mereka ternyata cukup bikin menderita ya,” ujar Nisfi Laila. Selain itu juga jadi lebih peduli sama kebersihan dan kesehatan.

Keadaan pandemi yang memaksa ia dan kawan mahasiswa lain tetap bertahan di rumah kos juga membuat dirinya lebih bersyukur. ”Walaupun enggak mudik, aku masih bisa menjalani kehidupan dengan sehat wal afiat,” kata Nisfi lagi.

 

Tazkana Maitsa Tsabitah, mahasiswa Program Studi Hubungan Masyarakat, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran