Apa yang kita lakukan hari ini pada bumi, kelak akan menjadi hal yang kita wariskan untuk anak cucu kita yang mendiami muka bumi. Oleh karenanya, penting untuk selalu dijaga. Sampah, tidak hanya berakibat pada terganggunya estetika, melainkan juga dapat berpengaruh pada lingkungan, seperti kerusakan tanah dan tercemarnya air, serta udara yang pada hakikatnya merupakan kebutuhan hidup dasar manusia.
Belakangan ini, khususnya di perkotaan, masalah sampah menjadi masalah yang sangat penting untuk diulas. Berdasar data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional pada tahun 2022, di Indonesia terdapat 35,9 juta ton timbulan sampah dengan timbulan sampah hariannya mencapai 98.503 ton.
Jenis sampah paling banyak adalah jenis sampah sisa makanan, yaitu sebesar 40%, disusul sampah plastik, sebesar 18 persen, yang mayoritasnya bersumber dari sampah rumah tangga sebesar 38,3 persen dan sampah pasar tradisional sebesar 27,6 persen. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu langkah yang dapat kita ambil dalam mengatasi masalah sampah di Indonesia adalah mengelola sampah tersebut dari sumber terbesar, yakni rumah tangga.
Kondisi perkotaan yang padat penduduk dan minim lahan mengakibatkan sampah rumah tangga menjadi permasalahan yang kompleks, perlu ditangani secara tepat. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan, di mana mayoritas memiliki lahan yang luas untuk membuat lubang, untuk menampung dan membakar sampah rumah tangga mereka sendiri.
Dengan adanya kondisi tersebut, hal yang dapat dilakukan masyarakat di perkotaan terhadap sampah rumah tangga mereka adalah dengan memilah dan menjadi nasabah bank sampah di wilayahnya. Namun demikian, memilah sampah bukan hal yang mudah jika tidak dibiasakan sejak dini. Butuh usaha dan ketelatenan untuk terus konsisten dalam melakukannya.
Pendidikan lingkungan
Konsistensi dapat dibangun dengan pembiasaan sejak kecil. Masa Sekolah Dasar hingga lanjutan merupakan momentum di mana penanaman nilai-nilai dasar kehidupan dimulai.
Mengapa harus menambahkan kurikulum? Apakah cukup dengan membuat peraturan yang terkait pengelolaan sampah di sekolah? Alasannya, karena peraturan dapat dengan mudah dilanggar atau dipatuhi hanya untuk sekedar menggugurkan kewajiban.
Dengan adanya kurikulum peduli lingkungan, tidak hanya menjadi metode paksaan untuk menerapkan aturan yang berlaku. Akan tetapi ada pengajaran nilai di dalamnya yang terus-menerus ditanamkan dengan mengintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Memasukkan materi yang menanamkan nilai-nilai peduli lingkungan, serta mengintegrasikan ke dalam praktek-praktek yang dapat memperkuat kreativitas dan kapasitas siswa, menjadikan siswa berdaya guna dalam menjaga lingkungannya.
Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, dapat dilakukan analisis dan diskusi terkait masalah sampah yang tengah marak di media. Upaya itu kemudian bisa dilanjutkan dengan mengorganisasi lokakarya penulisan esai atau pidato tentang pentingnya masalah sampah tersebut untuk dikelola.
Dalam mata pelajaran matematika, tak luput dari integrasi peduli lingkungan, khususnya sampah. Misalnya menghitung jumlah sampah yang dihasilkan siswa dalam sehari atau seminggu lalu, dengan membuat grafik perbandingannya. Untuk tingkat lanjutan, dapat dilakukan dengan membuat studi statistik tentang jumlah sampah yang dihasilkan di lingkungan rumahnya.
Dalam pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), siswa dapat mempelajari proses dekomposisi sampah dan dampaknya pada lingkungan yang kemudian diamati dan dianalisis sampah plastik di dalam ekosistem perairan dan dampaknya pada organisme laut. Selain melakukan kegiatan analisis, siswa juga dapat membuat karya dalam mata pelajaran kesenian, misalnya membuat proyek seni yang bahan bakunya berasal dari barang-barang bekas atau sampah, kemudian menampilkannya dalam drama atau tari yang mengangkat isu-isu lingkungan, khususnya sampah.
Salah satu mata pelajaran yang cukup mengikat konsistensi dan penanaman nilai-nilai dasar adalah pelajaran agama. Dalam pelajaran agama dapat diintegrasikan materi tentang peduli lingkungan, misalnya mendorong siswa mendiskusikan nilai-nilai agama yang terkait tanggung jawab menjaga lingkungan dan menciptakan bumi yang bersih dan sehat. Lalu diikuti dengan pelajaran Sejarah tentang bagaimana perubahan pola konsumsi manusia dan dampaknya pada jumlah sampah yang dihasilkannya.
Dengan semakin cepatnya kemajuan teknologi dan informasi, mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) menjadi salah satu sarana penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai peduli lingkungan kepada siswa. Seperti dengan membuat proyek multimedia atau situs web yang menyajikan informasi tentang pengelolaan sampah dan cara berkontribusi pada solusi lingkungan.
Materi yang diberikan di dalam kelas tentunya perlu diiringi dengan praktek-praktek peduli lingkungan, khususnya sampah, dalam kegiatan eksternal di luar kelas. Misalnya, dengan mewajibkan tiap tingkatan di seluruh sekolah untuk wajib berpartisipasi dalam bank sampah, di mana seluruh siswa wajib menjadi nasabah bank sampah di sekolahnya.
Tidak hanya siswa, para guru dan orangtua murid juga memiliki peranan dalam berkembangnya bank sampah di sekolah tersebut. Sehingga setiap lini dapat terlibat langsung dalam mengembangkan bank sampah di sekolah tersebut.
Demikian beberapa nilai peduli lingkungan yang dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar hingga lanjutan yang jika termuat dalam kurikulum dapat memberikan masukan baru terhadap nilai dasar kehidupan para siswa kelak. Materi yang terus ditanamkan, serta praktek yang tak henti-hentinya dilakukan oleh para siswa akan lahir menjadi kebiasaan yang akan mereka bawa dalam kehidupan sehari-hari mereka kelak.
Penulis:
Nurhayati Namira adalah mahasiswa Pasca Sarjana Kesehatan Lingkungan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Aktif dalam kegiatan pemberdayaan berbasis lingkungan dan berperan dalam pengkajian terkait permasalahan sampah plastik dan mikroplastik pada biota laut.