Pada liburan semester genap lalu, mayoritas perguruan tinggi mengadakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa dikirim ke berbagai desa untuk mengabdikan diri. Cerita-cerita unik dan menarik pun bermunculan.
Tulisan saya ini tidak bercerita tentang program yang saya dan kawan-kawan lakukan. Kali ini saya menceritakan pengalaman saya dan beberapa teman selama melaksanakan program KKN tersebut pada masa KKN pada 30 Juni hingga Juli 2023.
Momentum liburan semester genap tahun ini tak seperti biasa. Sejak bulan Februari, Universitas Brawijaya mengumumkan akan mengadakan program KKN yang bernama Mahasiswa Membangun Desa (MMD). Respons mahasiswa beragam. Ada yang senang, sedih, bahkan ketakutan.
Tak hanya Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur yang mengadakan program KKN di periode liburan semester ini, kampus lain juga banyak yang mengadakan. Seperti Universitas Gadjah Mada dengan nama KKN-PPM dan Universitas Airlangga yang masih menggunakan nama KKN. Universitas Brawijaya memilih menggunakan diksi Mahasiswa Membangun Desa (MMD) dengan tujuan menghilangkan stereotipe buruk terkait program KKN.
Barisan sekitar 200-an mobil elf memenuhi seluruh area di lingkungan Universitas Brawijaya Malang. Mobil berkapasitas 16 orang itu siap mengantar kelompok mahasiswa pergi ke desa tujuan. Kloter kepergian mahasiswa terbagi menjadi 5 hari, mulai hari Jumat (30/6) – Selasa (4/7).
Seluruh mahasiswa peserta MMD harus hadir di kampus pukul 05.00 pagi. Dinginnya Kota Malang yang menusuk harus diterjang demi tak terlambat sampai di titik kumpul lalu menyelusuri satu per satu barisan mobil elf untuk mencari nomor kendaraan yang sudah dibagi sebelumnya. Sembari menyusuri kampus, mahasiswa menyeret koper atau membawa ransel besar di punggung.
Program teranyar yang diusung oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UB ini mengupayakan sasaran 1000 desa di Jawa Timur. Mahasiswa yang terdiri atas angkatan 2020 dan 2021 ini tersebar ke 1000 kelompok. Program ini terpusat pada LPPM dan rektorat sehingga pembagian kelompok diambil dari seluruh fakultas di UB.
Ada sedikit rasa pesimis akan program ini. Ditambah program ini merupakan program pertama yang diadakan sehingga tahun ini anggapannya seperti tahun eksplorasi bagi Kampus UB. Pembagian desa pun dari ujung barat provinsi sampai ujung timur Provinsi Jawa Timur.
Saya mendapatkan kesempatan mengabdikan diri di Desa Lembah Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Nama lembah hadir karena desa diapit oleh dua gunung, Gunung Liman dan Gunung Lawu.
Desa kami berada di paling selatan, berbatasan langsung dengan Kabupaten Ponorogo. Dengan naik kendaraan sejauh 2 kilometer kami sudah sampai ke perbatasan Kabupaten Madiun dengan Ponorogo.
Waktu tempuh perjalanan dari Kota Malang ke Kabupaten Madiun sekitar 5 jam. Sesampainya di rumah tempat kami akan tinggal, kami disambut hangat dengan keluarga pemilik rumah. Kelompok kami terbagi atas dua rumah, yang masing-masing ditempati oleh laki-laki dan perempuan. Sepanjang jalan, mata mendapat suguhan hamparan persawahan yang luas.
Desa yang kami tempati tak begitu luas. Mayoritas pekerjaan warganya bertani. Mulai jam 05.00 pagi, masyarakat sudah bersiap ke sawah. Mesin traktor dengan suara yang bising terkadang lewat di depan rumah. Tak hanya itu, mesin penggiling padi pun mulai berbunyi karena beberapa sawah di desa itu telah memasuki musim panen.
Tak hanya bertani, masyarakat pun banyak yang memiliki usaha mandiri. Usaha lokal pun terbatas pada usaha kuliner kecil-kecilan dan toko kelontong. Kebutuhan rumah tangga banyak dijual. Mereka menyambut dan menerima kami dengan hangat. Kami sungguh bersyukur tak terhingga.
Cuaca bulan Juli di Kabupaten Madiun nyatanya kurang bersahabat dengan mahasiswa. Siang yang sangat terik membuat tubuh terus berkeringat. Sebaliknya, malam hari selalu terkena angin yang sangat kencang dan dingin. Akan tetapi, semua itu dilalui secara bersama-sama dengan bahagia.
Kegiatan di desa terbagi pada empat pekan. Pekan pertama kami memfokuskan pada pendekatan dan juga silaturahmi dengan masyarakat. Tak langsung membawa program, kami berusaha untuk menjalin ikatan emosional terlebih dahulu.
“Kenduren”
Dalam masa pendekatan, kami diminta mengikuti kegiatan mengaji bersama warga lingkungan sekitar. Masyarakat di sana menyebutnya dengan kenduren atau yasinan. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin satu kali setiap pekan.
Setelah membaca doa-doa, acara ditutup dengan makan bersama. Para hadirin mendapat suguhan nasi soto, nasi gulai, atau nasi rawon. Hal itu tergantung pada si tuan rumah. Saya dan dua teman merasa unik karena hal ini jarang kami lakukan jika berada di kota. Hal itu memunculkan gegar budaya saat pertama kami berkegiatan di desa.
Pulang dari acara yasinan kami tak boleh dengan tangan kosong. Tuan rumah mengeluarkan lagi “bawaan” bagi tamu yang hadir. Bawaan tersebut biasa mereka sebut berkat. Kami mendapat bawaan berupa nasi dengan lauk mi goreng, orek tempe, dan serundeng kelapa. Jika tuan rumah menghendaki bahan mentah, biasanya berupa sembako, mulai dari beras, minyak, mi, kecap, dan juga kopi.
Tak hanya itu, biasanya kami juga mendapat kue dan buah pisang. Kue yang biasa dibawakan, kue apem yang selalu ada di dalam acara kenduren. Khususnya kenduren untuk kirim doa bagi orang yang telah meninggal. Tak ketinggalan, kerupuk rengginang melengkapi bawaan pulang kami.
Hal yang membuat kami takjub ialah porsi nasi yang diberikan. Jika si tuan rumah memberikan makanan matang, kami mendapatkan nasi yang tak sedikit. Setiap orang mendapat nasi sebakul atau biasa dikenal satu ceting. Saya meyakini, warga desa memiliki beras yang banyak di setiap rumah sehingga tak sayang memberikan nasi yang banyak, hehehe.
Undangan untuk mengikuti kenduren diumumkan melalui mulut ke mulut. Saya heran, dengan mulut ke mulut saja dapat mengundang orang yang begitu banyak. Inilah salah satu khazanah keunikan yang ada di desa. Akan tetapi, terkadang pengumuman juga disiarkan melalui toa yang ada di setiap dusun atau lingkungan RT.
Setiap hendak kenduren di malam hari, sore harinya tempat tinggal kami didatangi oleh perwakilan keluarga. Mereka datang ke basecamp tempat kami tinggal untuk mengundang. Biasanya kenduren dilaksanakan setelah waktu shalat Maghrib atau Isya. Bersama-sama kami berjalan kaki ke rumah yang dituju. Jika jaraknya cukup jauh, kami mengendarai sepeda motor.
Kegiatan rutinan seperti selametan, kenduren, dan juga yasinan biasanya dilaksanakan malam hari. Hal itu karena pagi sampai siang hari rata-rata masyarakat pergi bekerja. Waktu luang yang dimiliki hanya pada malam hari.
Budaya kenduren di desa tersebut menjadi satu hal yang unik dan menarik. Kegiatan ini sebagai salah satu kegiatan ibadah, tetapi juga sebagai sarana bermasyarakat. Kami juga beruntung diajak hadir dan mengikuti kegiatan rutin lingkungan. Silaturahmi pun terjalin erat dengan masyarakat sekitar desa.
Hal lain yang menarik, kesulitan berkomunikasi antara kami dan masyarakat. Ada salah satu anggota kelompok kami yang berasal dari luar pulau Jawa. Kegiatan yang dihadiri masyarakat di sini biasanya menggunakan bahasa Jawa halus atau kromo.
Alhasil jika selesai kegiatan, teman kami yang berasal dari Jawa menceritakan ulang. Ibaratnya dia menjadi seorang penerjemah, hehehe.
Tak terlupakan
Pengalaman demi pengalaman KKN menarik untuk diikuti. Seorang teman yang berkegiatan di salah satu kabupaten di daerah timur atau biasa disebut “daerah tapal kuda” juga membagikan ceritanya. Tepatnya di Kabupaten Jember. Mitos daerah tapal kuda tak jarang berkaitan dengan hal-hal horor dan mistis.
Seperti pada umumnya, mereka beranggotakan 14 mahasiswa. Mahasiswa laki-laki tidur di balai desa, sedangkan mahasiswa perempuan ditempatkan di rumah kepala desa. Hari-hari berjalan seperti biasanya. Sampai suatu ketika seorang teman bernama Diah Melinda (22) yang berasal dari Fakultas Ilmu Administrasi UB membagikan cerita mistis di desanya.
Sebelum tinggal di rumah kepala desa, ia direkomendasikan untuk menempati rumah kosong nan besar. Rumah itu, menurut cerita teman, berada di paling ujung desa dan menghadap langsung pada kebun jeruk yang luas. Kebersihan pun kurang terjaga karena memang penghuninya yang tinggal jauh di luar kota.
Menurut penuturan salah satu warga, rumah tersebut merupakan rumah bekas tragedi pembunuhan. Sontak teman saya dan kelompoknya merasa kaget dan terkejut. Kelompok mereka merasa bersyukur karena tidak jadi menempati rumah tersebut.
Cerita menarik lain datang dari seorang teman yang melakukan KKN di pesisir Jalur Lintas Selatan (JLS) Provinsi Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Blitar. Hampir setiap minggu mereka bertamasya ke pantai. Hal ini karena jarak tempuh yang tidak terlalu jauh sehingga mudah untuk dijangkau.
Mereka yang melakukan KKN di pesisir pantai tak selamanya bahagia. Ada juga seorang teman yang harus menelan pil pahit karena air terasa asin sehingga tidak nyaman untuk sikat gigi. Udara panas dari laut juga mengharuskan mereka untuk bertahan. Rasa ketidaknyamanan tersebut harus ditahan dalam jangka waktu satu bulan saja. Mereka harus menyamankan dirilah di sepanjang waktu itu.
Udara dingin yang menusuk sampai 15 derajat juga harus dirasakan seorang teman yang melakukan KKN di sekitar gunung bromo, tepatnya Kabupaten Malang. Penempatan di daerah dataran tinggi dan kaki gunung mengharuskan mahasiswa beradaptasi dengan udara dingin. Apalagi bulan Juli sedang memasuki musim dingin di Jawa Timur. Angin yang berhembus juga sangat kencang sejak sore hari.
Pengalaman berkegiatan di desa menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Kegiatan KKN hanya kami lakukan sekali seumur hidup di masa kuliah. Mahasiswa diminta untuk berkomunikasi langsung kepada masyarakat. Di sisi lain, mereka juga harus menerapkan ilmu yang selama ini dipupuk di masa kuliah.
Ditambah lagi mahasiswa yang berasal dari perkotaan. Mereka harus mempelajari kearifan lokal dari setiap desa yang ditempati. Mereka harus melepas sejenak hiruk pikuk kota yang sangat sibuk. Hidup yang terbiasa individualis harus dilebur dengan hidup yang bermasyarakat.
Rafi Ramadhan, Magangers Kompas Muda Batch XI dan Mahasiswa Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya