Di tengah hutan beton yang menjulang tinggi di Jakarta tentunya masih ada semangat spiritual yang kuat. Bahkan, untuk sebuah kota metropolis, semangat spiritual merupakan kebutuhan mendasar bagi siapa saja, termasuk masyarakat perkotaan.
Ketika berbicara tentang tempat-tempat spiritual khususnya tentang sejarah penginjilan di Jakarta, tentu erat kaitannya dengan keberadaan gereja-gereja Katolik maupun Kristen. Saya bisa sebut nama besar Katedral Jakarta dan GPIB Immanuel yang sudah sering didengar. Tentu, nama-nama tersebut sudah sangat berjasa dalam menghidupkan semangat spiritual Jakarta.
Selain dua gereja itu, ada beberapa gereja di Jakarta yang bisa dikunjungi untuk perjalanan spiritual. Saya mendapat kesempatan mengunjungi Gereja St Thomas dan All Saint Anglican Church di Jakarta.
St. Thomas, Orthodox Rusia
Pagi itu saya diberi kesempatan untuk menghadiri misa rutin Orthodox Rusia di St. Thomas, di Jakarta. Awalnya, saya canggung sekali dan duduk menunggu persis di depan gerbang St. Thomas yang sudah mulai didatangi jemaat.
Misa akan diadakan pukul 08.00 pagi hari namun hingga lima menit menuju pukul 08.00, saya belum juga melihat Romo Boris Setiawan, ya! Orang yang memberi saya kesempatan untuk menghadiri misa di St. Thomas pagi ini. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk masuk sebagai pelancong yang haus akan wisata spiritual dan benar saja, ternyata Romo Boris sudah ada di dalam dan siap memulai misa.
Romo Boris (47) merupakan seorang pemimpin Gereja St. Thomas yang beraliran Orthodox Rusia yang saya temui ketika saya menjelajahi salib-salib tersembunyi di Jakarta. Gereja yang terletak di samping Gandaria City ini sudah berdiri hampir dua dekade terakhir. Romo Boris menceritakan, gereja ini dibangun dan aktif sejak tahun 2004, bertepatan dengan awal masuknya Orthodox Rusia ke Indonesia.
“Gereja Orthodox Rusia sendiri masuk ke Indonesia tahun 2004. Begitupun dengan bangunan St. Thomas, sama dibangunnya tahun 2004,” jelas Romo Boris.
Suasana misa di St. Thomas pagi itu berjalan sangat khidmat. Sebagai pelancong yang gemar mengunjungi tempat spiritual, saya masih tetap masih asing dengan suasana misa pagi itu. Tidak ada lagu, orgel atau suasana megah sebagaimana misa di Gereja Katolik. Justru, saya mendapati kesan sederhana, khidmat, mendalam diiringi paduan suara yang menyanyikan kidung dengan nada gereja timur.
Seusai misa selesai, Romo Boris mengajak saya untuk makan bersama. Kali itu, hidangan yang disediakan adalah bubur manado. Jelas, ini menambah keintiman dalam permulaan diskusi saya bersama Romo Boris pagi itu. Romo Boris juga memperkenalkan saya kepada jemaat yang ada saat itu dan mereka menyambutnya dengan hangat.
Diskusi saya dengan Romo Boris dimulai dengan rasa penasaran saya tentang apa itu Kristen Orthodox dan bagaimana keberadaannya di Indonesia. Romo Boris pun menjelaskan dengan detail tentang beberapa aliran Orthodox yang ada di Indonesia.
“Kalau untuk Orthodox di Indonesia sendiri ada beberapa, pertama ada Orthodox Rusia, Orthodox Yunani, Orthodox Koptik, Orthodox Syria dan Orthodox Yunani Sejati. Namun, untuk Orthodox Rusia adanya di sini dan di Kampung Sawah (Bekasi)”, jelas Romo Boris.
Saya juga penasaran tentang siapa saja jemaat Orthodox Rusia di Jakarta. Secara, keberadaan jemaat Orthodox Rusia di Jakarta sendiri cukup sedikit dibanding aliran kekristenan lainnya. Ketika saya berada di dalam saat misa sendiri, saya juga melihat beberapa orang yang terlihat bukan seperti warga lokal. Menurut Romo Boris, jemaat disini memang banyak berasal dari Indonesia namun tak jarang pula yang berasal dari luar negeri.
“Jemaat di sini lebih banyak dari Indonesia, namun tak jarang juga jemaat dari Ethiopia, Rumania, Ukraina dan Rusia. Bahkan, kita juga ada jemaat dari Lebanon. Ibadah di sini kita pakai bahasa Indonesia, kalau yang di Kampung Sawah baru pakai bahasa Rusia. Makannya banyak orang Rusia juga yang datang ke Kampung Sawah”, ungkap Romo Boris.
Romo Boris juga menambahkan bahwa rata-rata alasan jemaat asing yang datang ke St. Thomas merupakan kerinduan. “Ya mereka kangen lah sama bahasanya. Kita kan kalo pergi ke mana juga pasti kangen sama bahasa sendiri” tambah Romo Boris.
All Saints Anglican Church
Pelancongan saya tidak berhenti di St. Thomas. Sebagai penutup perjalanan maka kali ini saya bergegas menuju sebuah gereja yang memiliki sejarah panjang, yaitu Gereja Anglikan All Saints. Gereja yang terletak di kawasan Tugu Tani ini memang cukup tersembunyi. Letaknya berada di balik tembok tinggi yang sulit dilihat dari jalan raya, namun ketika masuk ke dalamnya, terdapat sebuah gereja dengan nuansa Tropical Georgian yang tercermin dari keberadaannya di tengah pepohonan rindang.
Sesampainya di sana, saya disambut oleh Revenge John Sihombing yang langsung mengajak saya berkeliling All Saints saat itu. Saya sangat takjub melihat bangunan All Saints yang menurut saya sangat “adem” apalagi dengan konsep Tropical Georgian yang diusung ketika All Saints di bangun.
Sembari berkeliling, Revenge John menjelaskan, All Saints merupakan titik awal Anglikanisme di Indonesia. Jauh sebelum Anglikanisme menyebar luas di Indonesia dengan persatuan Gereja Anglikan Indonesia. Bahkan untuk All Saints sendiri, bangunannya sudah ditetapkan menjadi cagar budaya.
“Gereja Anglikan tertua dan pertama di Indonesia memang gereja ini, namun sejak 1996 sudah ada Gereja Anglikan Indonesia sebagai perkembangannya. Jadi di Jakarta sekarang sudah ada lima, tapi All Saints sudah mandiri,” jelas Revenge John.
Revenge John juga menjelaskan, All Saints sendiri sudah melewati 200 tahun usianya dan menunjukan plakat peringatannya. “Gereja ini sendiri sudah berusia 204 tahun, ini terdapat plakat peringatan 200 tahun kemarin,” tambah Revenge John sembari menunjuk plakat peringatan 200 tahun All Saints.
Sebelum saya bergegas pergi dari All Saints, Revenge John menceritakan sedikit tentang perbedaan Anglikanisme di Inggris dan di Indonesia. Pada awalnya, saya mengira bahwa dalam Gereja Anglikan, terdapat sistem hierarkis seperti halnya pada Gereja Katolik dan Orthodox yang memusat pada seorang pemimpin. Namun, beda halnya dengan Gereja Anglikan.
“Anglikanisme di sini sendiri sudah mandiri, kita tidak terikat secara hierarkis dengan Anglikanisme di Inggris. Kita berpedoman pada Common Prayer 1662 sebagai pedoman Anglikanisme” jelas Revenge John.
Begitulah kisah pelancongan saya dalam sebuah ekspedisi dalam kota yang saya namakan sendiri dengan “Ekspedisi Salib-Salib Tersembunyi di Jakarta”. Pada akhirnya saya menemukan kesimpulan bahwa di tengah kemajuan dan kecepatan kota berkembang, semangat spiritual tetaplah menjadi landasan utama.
Argya D. Maheswara, Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta