Halo kawan semua! Pasti kalian suka berwisata ke suatu daerah. Memang, liburan merupakan kebutuhan tambahan bagi diri kita dan juga penghilang rasa stres di dalam diri. Kadang-kadang kita mencari waktu yang kosong untuk liburan, entah tengah tahun atau akhir tahun.
Akan tetapi, jika saya pergi ke suatu daerah, saya tak akan melupakan pasar tradisional di sana. Bagi saya, ada kepuasan tersendiri apabila berwisata ke suatu daerah, lalu mengunjungi pasar tradisional di sana. Saya menganggap, pasar tradisional merupakan cerminan budaya masyarakat di daerah itu. Hasil bumi juga dijajakan di sana. Melihat wajah-wajah asli penduduk daerah sana juga menjadi daya tarik tersendiri. Oh iya, harga barang dan makanannya itu loh yang nggak bisa dilawan. Hehehe
Pada suatu kesempatan, tanggal 7 September 2020, saya mengunjungi Kota Yogyakarta. Rasa bahagia sungguh tak terbendung. Kurang lebih empat hari saya habiskan di sana. Ya, sekedar istirahat dari hiruk pikuk ibu kota. Tak pernah bosan rasanya mengunjungi kota Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono ini. Berat juga meninggalkan kota penuh kenangan.
Sebelum mengunjungi tempat-tempat wisata di sana, saya menyempatkan sarapan di Pasar Condongcatur. Jarak pasar ini dari penginapan tak jauh. Ya, kurang lebih 800 meter dari penginapan. Pasar ini tak terlalu besar, tetapi cukup ramai pengunjung. Mungkin, kerena letaknya tak jauh dari perumahan penduduk. Pukul 06.30 saya sudah tancap gas ke pasar tersebut.
Saya mencoba mengisi perut yang lapar di pagi itu. Cukup merogoh Rp10.000,- saya bisa membawa pulang sebungkus bubur gudeg lengkap dengan telur bulat. Terasa aneh bagi saya, gudeg tetapi menggunakan bubur sebagai pengganti nasi. Tak menampik, lidah saya belum bersahabat dengan bubur gudeg ini.
Tak cukup bagi saya hanya membawa pulang bubur gudeg, saya mencoba mencari panganan lain untuk mengisi perut di pagi hari. Saya pun membeli lupis, duh lupa namanya apabila di Jogja. Hanya Rp 6.000,- saya bisa membawa dua bungkus lupis gula merah. Saat hendak pulang, di parkiran motor, duduk ibu-ibu paruh baya dengan jajaran jamu botol di atas meja. Sontak, saya bertanya harga satu botol jamu. Langsung saya bungkus sebotol kunyit asam yang segar itu.
Hari berganti, saya mencoba mencari pasar lain yang menarik untuk dijamah. Saya menjatuhkan hati ke pasar tradisional Kotagede. Daerah Kotagede termasuk salah satu daerah cagar budaya di Yogyakarta. Pada hari itu, saya mencoba sarapan dengan tidak makan makanan berat. Seorang mbak-mbak menjajakan kue-kue kecil yang ada di meja. Satu kue dibanderol dengan harga Rp1.000,-. Total delapan jenis kue saya coba. Rasanya beragam, ada yang pas di lidah saya, ada yang kurang bersahabat.
Ada yang tak luput dari perhatian. Dua orang ibu-ibu yang menjajakan jamu. Ya, jamu menjadi minuman favorit saya saat ini, hehehe. Saya minum jamu langsung di sana. Yang sangat unik, jamu ini dibuat dari bahan-bahan yang diperas secara langsung oleh tangan si ibu. Hal ini tak pernah saya temukan sebelumnya karena biasanya jamu sudah disajikan di barisan botol-botol. Yang menarik lainnya, jamu ini disajikan bukan memakai gelas, melainkan memakai batok kelapa.
Tak terasa, empat hari saya sudah berada di kota tempat Universitas Gadjah Mada berada. Akan tetapi, saya belum mengunjungi salah satu pasar yang sangat terkenal di penjuru Kota Yogyakarta, ya pasar Beringharjo.
Bagi saya, tak lengkap ke Yogya tanpa menginjakkan kaki di pasar besar itu. Menuju ke pasar ini pasti melewati jalanan yang legendaris, Malioboro. Di pasar tersebut saya mencari salah satu kuliner terkenal, sego empal Bu Warno.
Nasi empal ini cukup terkenal di kalangan pecinta kuliner di kota Yogyakarta. Menyusuri lorong demi lorong pasar Beringharjo membuat saya bingung, apalagi saya baru pertama kali dan seorang diri.
Saya berusaha bertanya kepada bapak dan ibu penjual di sana. Mereka menunjukkan arah menggunakan: utara, selatan, timur, barat, bukan menggunakan kiri atau kanan yang biasa saya gunakan di Jakarta. Hehehe, cukup bingung bukan?
Akhirnya saya sampai di warung sego empal ‘nasi empal’ ini. Si ibu baru bersiap-siap membuka warungnya, wah saya datang terlalu pagi. Nasi pulen, empuknya empal, dan pedasnya sambal becampur ciamik di lidah. Memang cukup mahal bagi saya, Rp24.000,- saya keluarkan untuk mengganjal perut pagi ini. Ya mungkin karena panganan ini sudah terkenal di Kota Yogyakarta.
Selesai mengisi perut, saya belum puas menjelajahi pasar ini. Saya menyusuri lagi lantai bawah. Ada sebuah toko yang menjual ragam jamu. Karena hari itu jadwal saya pulang, lekas saya membeli dua bungkus: wedang uwuh dan bir jawa. Tak lupa jamu pahitan (karena rasanya pahit) juga saya bungkus untuk oleh-oleh ke Jakarta.
Ternyata, hobi mengunjungi pasar tradisional juga tak saya rasakan seorang diri. Teman saya, Mario Nathaniel Liandar juga memiliki hobi yang sama berkunjung ke pasar tradisional. Selagi berkunjung ke pasar tradisional, ia tak lupa untuk memotret keadaan-keadaan di sekitar pasar. Marli, sapaan akrabnya, sering menemani orang tua untuk belanja di pasar tradisional. “Ya, biasa ke pasar tuh hari Minggu pagi, bareng orang tua,” katanya saat saya hubungi.
Ya, itu lah sekelumit kisah saya dan Marli tentang perjalanan kami menyusuri pasar-pasar tradisional. Saya tak akan bosan apabila mengunjungi pasar-pasar tradisional di berbagai daerah. Bagi saya, mengunjungi pasar tradisional kita bisa dekat dan lekat dengan masyarakat sekitar dan tahu budaya-budaya yang ada. Kalau bagi Marli sih, tentu, banyak jenis makanan yang bisa dicicipi. hehehe. Yuk jangan lupakan pasar tradisional.
Rafi Ramadhan, mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya dan Mario Nathaniel Liandar, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Keduanya magangers Kompas MuDa, Harian Kompas