Gunung Lawu yang berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur sering disebut sebagai gunung mistis. Dahulu, gunung ini kerap dijadikan sebagai tempat ibadah. Singolangu merupakan jalur pendakian tertua menuju puncak Lawu yang telah ada sejak 1980-an. Melakukan pendakian gunung Lawu biasanya dapat dilalui dengan tiga jalur, yaitu Candi Cetho di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu di Magetan, Jawa Timur.
Kini, telah dibuka jalur klasik Singolangu yang berada di Dusun Sarangan, Jawa Tengah. Jalur yang telah ada sejak tahun 1980-an dan digunakan untuk ritual warga setempat itu pernah ditutup pada 1987. Setelah 30-an tahun tepatnya pada 5 Mei 2019, jalur tersebut dibuka lagi untuk umum.
Lawu via Singolangu memiliki daya tarik bagi penyuka sejarah, kenapa ? Alasannya karena sepanjang jalur ini dapat di temukan prasasti peninggalan Prabu Brawijaya juga tempat berkumpul Prabu Brawijaya dengan prajurit-prajuritnya. Seperti prasasti batu sebagai tempat sembayang dan tapak kaki kuda Prabu Brawijaya
Membuat takjub
Walau merupakan jalur ritual pada 1980-an, jalur itu tidak selalu berkaitan dengan hal mistis. Keadaan alam sepanjang jalur dirasa masih sangat terjaga kealamiannya. Diawali dengan melewati perkebunan warga di lereng gunung Lawu hingga memasuki beragam hutan mulai dari hutan lumut, hutan gambut dan lainnya.
Tidak ditemukannya sampah selama dilakukannya pendakian merupakan hal yang membuat takjub para pendaki. Kicauan burung dan hembusan angin bagai upacara penyambutan bagi para pendaki dalam mengiringi langkah menuju puncak lawu.
Jalur untuk melakukan pendakian ini punya petunjuk cukup jelas beserta beberapa papan penunjuk arah. Trek yang berupa jalan tanah cukup landai dengan guguran bunga beraroma sedap serta dedaunan yang memenuhi tanah membuat giroh bertualang semakin terasa.
Hutan yang dipenuhi pohon besar nan teduh mejadikan pendakian via Singolangu terasa benar benar klasik dan otentik. Dalam melakukan pendakian biasanya banyak bertemu dengan pendaki lain yang hendak naik maupun turun. Namun via jalur ini, cenderung ramai saat akhir pekan saja, hingga saat melakukan pendakian pada weekday’ seakan menjelajah hutan belantara seorang diri.
Berlimpahnya sumber mata air membuat pendaki tidak perlu khawatir untuk kehabisan persediaan air minum, hanya saja membutuhkan usaha lebih sulit mendapatkannya karena untuk sampai ke mata air, jalannya menurun curam. Duh..
Nah, untuk mencapai puncak Gunung Lawu melalui jalur klasik Singolangu menempuh jarak 8,2 kilometer. Pendaki membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan kecepatan langkahnya, namun biasanya dapat ditempuh dalam kurun waktu 7-9 jam.
Sebelum sampai puncak, kita akan melewati Penggik Cahyo yang merupakan tanjakan paling memorable dari jalur ini. Tanjakan sepanjang 450-500 meter dengan derajat kemiringan sebesar 45° yang menantang mental dan kekuatan pendaki dalam menopang diri beserta carrier yang tidak ringan.
Setiap Pos pada jalur ini memiliki ciri khas masing masing, Cemoro Lawu dengan deretan pohon cemara yang menurut cerita menjadi salah satu tempat peristirahatan salah satu raja kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya dengan para perajuritnya.
Tak kalah menarik. Ada semacam tempat bak taman Edelweis yang mampu memanjakan mata setelah lelahnya pendakian hingga bukit ilalang yang menyajikan hamparan ilalang indah sebagai tanpa semakin dekatnya Puncak Gunung Lawu. Tertarik untuk mencobanya?
Comments are closed.