Pandemi Covid-19 membuat seluruh aspek kehidupan berubah, termasuk juga tren fashion dunia. Selama masa pandemi ini masker wajah disebut sebagai tren fashion di seluruh dunia.
Di berbagai negara, masker menjadi salah satu keperluan utama pada masa pandemi Covid-19, tetapi, oleh kalangan pecinta fashion, masker tak hanya menjadi pelindung diri dari Covid-19. Trik padu padan masker dengan busana yang dipakai menjadi tren fashion terkini. Tren itu dipengaruhi oleh perilaku konsumtif sehingga menciptakan tren fashion di dunia.
Merek-merek ternama kelas dunia sudah lebih dulu membuat masker lalu menjualnya dengan harga mahal. Tren tersebut dengan segera diikuti oleh perancang busana di dalam negeri, tetapi jangan khawatir. Harga masker buatan perancang busana lokal yang dipadukan dengan setelan outfit tak membuat kita merogoh kantung dalam-dalam kok. Desainer yang memproduksi masker wajah lalu memadupadankan dengan busana itu antara lain, Alfirida, desainer muda asal Surabaya dan desainer senior dari kota Solo, Jawa Tengah, Rr. Siti Retnowati.
Siti Retnowati banjir pesanan karena dia menciptakan outfit yang menarik dan memikat perhatian banyak orang. Dengan merek “Titik Wilis”, ia memadupadankan batik dengan banyak pilihan warna dan model. Walaupun memakai batik, pemakainya tetap terlihat stylish karena mode outfit yang mengikuti tren masa kini.
Ia mulai berjualan baju sejak Agustus 2016, namun berjualan outfit yang dilengkapi dengan masker baru ia lakukan pada Maret tahun 2020 lalu saat pandemi virus covid-19 melanda. Lewat pembuatan inovasi itu ia juga bermaksud membantu perekonomian tukang jahit yang pendapatannya berkurang selama ada pandemi.
Siti juga menerima pesanan dari pelanggan. Mereka cukup mengirim foto sampel, memberi ukuran dan memilih kain, motif dan warna yang mereka mau. Selain menjual satu set baju ia juga menjual masker dengan berbagai motif cantik yang menarik.
Ia membandrol setelan yang dia jual pada kisaran harga yang tidak terlalu berat di kantong, yaitu mulai dari Rp.175.000 sampai Rp.210.000 saja. Untuk reseller harga dikurangi Rp 30.000 dari harga toko. Masker buatannya juga bisa dicuci sehingga menghemat kantong pembeli, karena bisa dipakai berulang kali. Selain menjual produknya secara offline di butik, Siti juga menjualnya secara daring melalui platform sosial media Instagram dan FaceBook.
Banyak pesanan
Setelah manajemen yang ia pimpin mengunggah foto baju produk baru, ia kebanjiran pesanan. Padahal awalnya ia hanya membuat untuk dipakai sendiri, namun kemudian banyak orang yang tertarik dan cocok. Sebelumnya hanya orang-orang terdekat saja yang membeli, tetapi setelah ada pandemi dan kemudahan berjualan di sosial media, pendapatan butiknya melonjak drastis.
Sekarang pihaknya banyak mendapat pesanan untuk seragam keluarga dan seragam kantor. Kurang lebih sudah ada 10 perusahaan yang memesan masker buatan butiknya. Satu perusahaan minimal memesan 50-100 buah masker. Angka penjualan masker produk rumah mode Siti sampai saat ini kurang lebih 1.750 buah masker.
“Sambutan masker dan atasan yang kami ciptakan benar-benar bagus. Para pelanggan kami suka dengan tampilan yang cocok. Mengenakan masker yang sesuai dengan atasan membuat masker itu lebih menyenangkan untuk dipakai, dan penting dalam masa pandemi Covid-19 yang serius dan mengerikan ini,” kata Siti Retnowati yang juga pemilik Butik TitikWilis. Ia memperkirakan tren fashion ini akan terus berlanjut.
“Ke depan, orang-orang perlu beragam masker untuk dipakai bergantian, khususnya ketika semuanya mulai kembali dibuka. Punya masker yang cocok adalah mode yang menyenangkan, namun mencocokkan warna juga akan dimulai. Menimbang masker apa yang akan dipakai pun akan menjadi bagian dari perencanaan memakai busana,” lanjutnya.
Tak hanya perlu padu padan masker dengan busana yang menjadi tren.Sejumlah perancang tengah berlomba-lomba membuat masker seglamor mungkin dengan perhiasan.
Warna pastel
Tak mau kalah dengan apa yang terjadi di pasar, Alfirida juga langsung memamerkan desain-desain rancangan padu padan outfit dengan masker. Ia menamakan produknya dengan brand NAAIMA.ID. Selain berbisnis saat ini ia masih kuliah di Universitas Surabaya Jurusan Fashion Design.
Alfirida mulai menjual hasil karyanya pada bulan Juli 2019. Saat ini ia tidak hanya memproduksi baju dan masker tetapi juga membuat hijab dan scarft. Target pasar yang ia tuju adalah kalangan anak muda. Ia memilih bahan yang menyerap keringat dan nyaman untuk dipakai setiap hari.
Harga produk fashion yang ia jual pun sesuai dengan kantong mahasiswa. Hijab dari bahan ceruty dijual dengan harga Rp.45.000. Scarft dijual dengan harga Rp.20.000.Masker dengan harga Rp.25.000. Dan outfit mulai dari harga Rp.85.000 saja.
Satu hal yang memudahkan mengenali karya Alfirida adalah pilihan warna-warna produknya yang lebih ke warna pastel yang sedang tren dan diminati anak muda masa kini.
“Saya memang mendesain baju karya saya ini dengan model yang simple, bisa dipadupadankan dengan mudah karena saya memilih warna-warna pastel yang netral dan banyak disukai anakmuda,” ujar Alfirida, yang juga pemilik NAAIMA.ID. Dengan memiliki bisnis tersebut ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri, sekaligus membantu penjahit-penjahit agar tetap bisa bekerja dikala pandemi.
Ia berharap anak muda termotivasi untuk bisa menghasilkan uang sendiri dengan passion yang mereka punya. “Dengan menghasilkan uang sendiri sama saja kita sudah bisa setidaknya meringkankan beban orangtua,” tuturnya.
Rancangan NAAIMA.ID menarik hati Adima Aulia. Ia mengetahui brand itu dari sahabatnya yang sedang kuliah di Surabaya. Ia sudah sering membeli hijab,masker dan juga outfit. ”Saya ketagihan membeli produk NAAIMA.ID karena desainnya simple dan bisa dipakai ke berbagai acara. Selain itu warna yang netral dan modenya membuat mudah mempadupadankan dengan tas dan sepatu. Pemilihan bahannya yang premium membuat nyaman untuk dipakai sehari hari,” urainya.
Ketika keluar dengan masker bergaya atau dengan aksesoris seperti itu, ia merasa tidak seperti sedang melindungi diri di tengah pandemi. Itu karena ia tampak tampil modis dengan pilihan outfitnya.
Annisa Ramadhanty, mahasiswa Jurusan Public Relations, London School of Public Relation, Jakarta.
Comments are closed.