Mendiamkan adalah Cara Menghukum yang Paling Menyakitkan

55
16982

Setiap dari kita pasti pernah melakukan kesalahan. Bahkan, tak jarang kita juga mengulangi kesalahan yang sama sampai berulang-ulang. Selayaknya manusia, kesalahan merupakan tanda bahwa kita masih hidup dan bernama sebagai “Manusia”.

Setiap kesalahan punya kesan masing-masing bagi korban dan pelaku kesalahan itu sendiri. Kita mungkin selalu punya ruang “maaf” bagi setiap kesalahan yang dilakukan, tetapi setiap dari kita punya cara menghukum kesalahan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menghakimi kesalahan dengan marah, menanggapi dengan tangis, memaafkan dengan lapang dada, atau bahkan mendiamkan kesalahan tersebut. Kita bebas memilih hukuman apapun untuk memberi jera pelaku kesalahan. Dan mungkin yang paling menyakitkan adalah mendiamkan.

Diam dapat berarti banyak, kita tidak pernah tahu apa yang sedang dipikirkan seseorang saat dalam keadaan diam. Bisa saja, ia sedang memilih untuk tidak memperkeruh permasalahan dengan cara diam, dengan mendiamkan ia mengharapkan masalah yang sedang terjadi tidak berlarut-larut.

Namun, mendiamkan dapat juga berarti sudah tidak peduli, ini bagian yang paling menakutkan. Ketika seseorang sudah tidak peduli, itu berarti bisa saja pelaku kesalahan dianggap angin lalu seperti “dihapus” dari muka bumi. Begitu menyakitkan rasanya ketika seseorang sudah memilih diam atas sebuah kesalahan yang terjadi, ia memilih untuk tidak tahu menau setelah kesalahan dilakukan. Mungkin saja ia mau memaafkan, tapi mendiamkan menjadi hukuman yang paling menakutkan bagi setiap pelaku kesalahan karena seakan tidak punya ruang lagi untuk menebus kesalahan.

Mendiamkan dapat menimbulkan suatu masalah lebih susah dimengerti.

Dalam kasus percintaan contohnya. Pertengkaran antara sepasang kekasih yang berakhir dengan saling menyalahkan satu sama lain hanya untuk merasa menang sendiri dan berlomba untuk merasa tidak tersakiti, tak jarang berakhir dengan mendiamkan satu sama lain. Alih-alih menyelesaikan masalah, mendiamkan dapat menimbulkan suatu masalah lebih susah dimengerti. Tanpa adanya suatu penjelasan, hal itu seperti menanam rasa bersalah kepada pasangan.

Tindakan mendiamkan dapat dikatakan kejam karena memiliki potensi menular. Secara tidak sadar, mendiamkan dapat mengubah korban mejadi pelaku kesalahan itu sendiri. Perlu diingat, mendiamkan merupakan konsep yang berbeda dengan konsep “butuh waktu”.

Seseorang yang sudah diliputi rasa bersalah yang kemudian dihukum dengan cara diam, secara tidak langsung akan berdampak psikis tersakiti sekaligus menyakiti. Hal ini memungkinkan terjadinya gejala depresi, kesepian, bahkan putus asa.

Kesabaran mungkin tidak akan pernah ada batasnya, tetapi kesabaran setiap manusia sendiri selalu punya batasnya masing-masing. Diam adalah salah satu bukti kesabaran itu masih ada, walaupun di sisi lain mendiamkan merupakan hukuman bagi pelaku kesalahan. Ketika seseorang itu memilih mendiamkan sebuah kesalahan berarti ada emosi yang diledakkan dengan cara yang elegan. Terkesan sarkastik memang, emosi yang seharusnya meluap-luap dialihkan dengan tindakan diam dan tidak peduli.

Seperti menyimpan bara di dalam dada, panas dan membakar, yang berakhir dengan sikap mengabaikan. Sebagaimana mendiamkan menjadi hukuman yang paling menyakitkan, mendiamkan bagi penghukum juga membawa suasana yang sama menyakitkan dengan yang dihukum karena dibebani dengan rasa egois dan cenderung selalu merasa benar.

Disayangkan tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan cara mendiamkan

Ternyata bukan cuma jadi merasa yang paling benar, kadang-kadang mendiamkan dapat menjadi bumerang pada diri sendiri. Contoh lain, ketika seseorang pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan lebih memilih untuk mendiamkan kesalahan tersebut. Ibarat menghukum masa lalu dengan mendiamkan kesalahan akan memberikan penyesalan pada masa kini dan masa yang akan datang karena telah menyia-nyiakan kesempatan untuk memilih tidak mendiamkan masalah tersebut. Mendiamkan kesalahan bukan hanya milik tentang korban dan pelaku mendiamkan, siapapun dapat menjadi korban sekaligus pelaku yang berakhir dengan penyesalan kepada diri sendiri.

Selain itu, masih banyak yang beranggapan bahwa dengan mendiamkan maka masalah akan selesai. Seringkali menghukum dengan mendiamkan dianggap merupakan langkah yang bijak, disayangkan tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan cara mendiamkan. Hilangnya komunikasi akibat tindakan mendiamkan dan menolak adanya kepedulian dapat menyebabkan kurangnya rasa kepercayaan.

Menghukum dengan cara mendiamkan boleh saja dilakukan untuk mengurangi dan menurunkan tensi ketegangan masalah yang sedang terjadi, karena bagaimanapun sesuatu yang dilakukan secara berlebihan akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Oleh sebab itu letakkanlah semua hal sesuai dengan porsinya, termasuk dalam hal mendiamkan suatu masalah dan kesalahan. Kita juga patut bersyukur jika masih ada diantara kita yang masih ingin memarahi, menegur, menyindir, dan mengingatkan atas kesalahan yang pernah kita lakukan.

Sebagai manusia mungkin tidak bisa menghindari untuk tidak melakukan kesalahan, karena dengan kesalahan itulah kita dapat belajar memahami bahwa hidup cuma tentang berbuat salah dan belajar dari kesalahan itu sendiri. Setiap kesalahan pasti akan selalu mendapatkan tempat untuk maaf, sekalipun meninggalkan bekas luka yang mungkin tidak akan pernah hilang.

Rakha Arlyanto Darmawan, mahasiswa Universitas Padjadjaran, Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Comments are closed.