Surat dari Turki Selama Karantina

0
289

Saat artikel ini ditulis sudah ada sekitar 52.000 orang di Turki positif COVID 19. Turki termasuk 10 negara dengan korban positif COVID 19 terbanyak di dunia. Istanbul adalah wilayah yang memakan banyak korban, meskipun begitu di beberapa wilayah lainnya juga sudah diberlakukan zona merah.

Pemerintah Turki sudah mengeluarkan peraturan yang melarang orang untuk berpergian keluar kota. Para lansia dilarang keluar rumah. Dan remaja yang berumur kurang dari 20 tahun dilarang berkeliaran.

Sejak diberitahukan pertama kali COVID 19 muncul, pemerintah Turki memang cepat tanggap dalam menghadapi wabah ini. Contoh pemerintah setempat bertindak cepat, salah satunya adalah mahasiswa Turki yang berada di Eropa Barat dipulangkan.

Turki merasa bahwa protokol kesehatan di beberapa negara seperti Italia dan Spanyol telah gagal melindungi warganya sendiri. Berdasarkan informasi pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) sudah ada dua mahasiswa dari Indonesia yang terpapar wabah ini.

Kondisi masyarakat Indonesia di Turki secara keseluruhan baik. Mahasiswa Indonesia yang tinggal di asrama mendapatkan pelayanan yang layak. Sedangkan mereka yang tinggal di apartemen mendapatkan banyak bantuan dari yayasan-yayasan maupun orang Turki sendiri.

Kali ini saya harus mengucapkan terima kasih kepada KBRI Ankara khususnya kepada Lalu Muhammad Iqbal, Dubes Republik Indonesia untuk Turki. Dubes sudah berkenan berkomunikasi dengan sangat baik kepada pihak-pihak terkait tentang kondisi masyarakat Indonesia di Turki.

Suasana Kota Sakarya setelah dua hari diumumkannya Lockdown di seluruh Turki. Foto: Cut Meurah Rahman

Beberapa hari lalu saya mengikuti kampanye menulis surat selama karantina kepada orang yang belum saya kenal. Bagi saya pribadi, menulis surat ini menarik sekali bisa bertukar pikiran dengan orang lain ketika kita mengalami kondisi yang kurang baik. Saat ini kita merasa jenuh dan bosan karena tidak bisa beraktivitas di luar rumah. Bercerita selalu menjadi solusi untuk menghangatkan situasi.

Saya mulai berpikir, dalam hal ini saya meniru perkataan filsuf Stoisisme Marcus Aurelius,  You have power over your mind, not outside events. Realize this, and you will find strength. Di saat kebanyakan orang mengeluh tentang kondisi yang mereka alami. Menurut saya pribadi, selama masa karantina ini banyak hal positif yang bisa kita lakukan. Selama karantina selain menghabiskan waktu untuk belajar secara daring, kita juga bisa membaca buku serta ikut seminar daring yang diadakan oleh beberapa institusi.

Saya menghabiskan waktu kosong dengan mulai berpikir dari hal-hal sederhana, bagaimana alam semesta ini hadir dan berakhir. Akankah eksistensi agama dibutuhkan di masa depan hingga pertanyaan lainnya yang butuh jawaban untuk memenuhi hasrat pribadi.

Meskipun begitu bagi saya merasa ada yang salah dari pola kehidupan di sosial media. Beberapa teman saya seperti menghakimi beberapa orang lainnya yang tidak melakukan sesuatu seperti yang mereka harapkan. Orang-orang yang  tidak melakukan seperti dirinya dianggap gagal selama masa karantina.

Suasana tempat makan asrama setelah diberlakukannya social distancing. Foto: Cut Meurah Rahman

 Saya mengutip kata Rachael Cook seorang productivity expert yang ditulis dalam artikel di The Washington Post berjudul “Don’t feel like ‘getting things done’? It’s okay not to be productive during a pandemic.

Cook berkata, There’s a huge push of people thinking that because we are home right now. We can be productive and that we’re all going to be able to stay as focused as we were a month or so ago.

Saya bahkan berpikir bahwa masa karantina ini sudah seperti ajang produktivitas, It’s not a pandemic but it’s a productivity contest. Menjadi tidak begitu produktif selama masa karantina tidaklah masalah, semua orang tidak mengalami kondisi yang sama dengan orang lainnya. Lakukan apapun yang kita bisa tetapi tidak memaksakan diri untuk sempurna.

Cut Meurah Rahman, mahasiswa S1 Program Sejarah, Fakultas Sains dan Literatur di Universitas Sakarya, Turki