Tidak hanya sendi-sendi perekonomian negara yang mengalami defisit, ruang pendidikan pun mengalami problematika tersendiri. Banyak mahasiswa mengeluh. Mereka menyayangkan keadaan belajar dari rumah yang menurut sebagian mahasiswa kurang efektif antara lain karena pembelian kouta internet yang mahal. Faktor itu menjadi kendala.
Paket internet harganya memang tak murah. Untuk kebutuhan mahasiswa selama sebulan, rata-rata mencapai sekitar Rp 100.000. Mahasiswa tak hanya butuh internet untuk telepon selulernya tetapi juga untuk penggunaan tethering dari ponsel ke laptop. Penggunaan tersebut membuat kebutuhan internet makin besar, apalagi bagi mahasiswa tingkat akhir yang harus melakukan sidang dan berbagai konsultasi daring. Kakak kelas saya salah satunya, mau tidak mau ia harus tetap mengikuti prosedur dan kebijakan yang sudah diterapkan pemerintah karena dampak pandemi virus korona tak kunjung menuai kabar baik.
Belum lagi, keponakan saya yang bersekolah di Dusun pinggiran Bandar Huta, Kecamatan Diparhataran, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Lokasi desa itu terpencil, jauh dari penyebaran virus. Namun, tetap saja keponakan saya merasakan dampak kebijakan akibat virus itu.
Keterbatasan pendidik di sana tidak memungkinkan siswa untuk melakukan pembelajaran daring. Para pengajar dan murid masih banyak yang kurang memahami teknologi. Masih ada murid yang berpikiran bahwa sekolah sedang libur dan tidak akan tahu sampai kapan akan masuk. Seserius itu memang masalah pendidikan di desa kami.
Terlepas dari berbagai dampak yang dirasakan secara langsung maupun tidak, sebagian masyarakat akan bertanya. Sebenarnya apa yang harus saya atau kita lakukan? Di rumah saja? Pemerintah tidak tahu bahwa di rumah tidak se-nyaman yang dibayangkan?
Sangat gampang pemerintah melakukan sosialiasi WFH (Work From Home) tanpa tahu kendala setiap individu masyarakat ? Mungkin saja rumahnya gubuk yang memang tidak bisa melakukan apa-apa, mungkin saja sebagian orang mendefiniskan rumah bukan sebagai tempat pulang, atau banyak alasan lainnya. Lalu pilihan terakhir yang harus diambil apa?
Membunuh! Jadilah pembunuh sejati!
Masih ingat panic buying yang diberitakan sejumlah media? Jika sirkulasi tersebut terus terjadi, maka bukan hanya korban jiwa akibat COVID-19 yang bertambah. Kelaparan dan kekurangan nutrisi menjadi alasan bagi sebagian orang yang merasakannya.
Hubungannya dengan membunuh apa ? Ada pepatah mengatakan tugas yang paling sulit adalah memanusiakan manusia. Baru- baru ini video viral masyarakat yang menggunakan APD (alat pelindung diri) ke supermarket. Sangat disayangkan bahwa para garda pejuang masih lebih membutuhkan alat-alat tersebut karena terbatas, ada pula yang menimbun masker dengan alasan untuk jaga-jaga. Lalu para pejuang akan bertarung di medan perang untuk menyelamatkan si pelaku jaga-jaga tanpa pelindung?
Bunuhlah rasa egomu yang tinggi, bunuhlah keserakahan, bunuhlah persepsi negatif soal strategi pemerintah yang sangat tak cakap.
Benar kata salah satu Komedian Indonesia, Aming Sugandhi, bahwa pada akhirnya jika ini terus berlanjut maka bukan virus lagi yang membunuh, tapi manusialah yang saling membunuh dengan enggan berbagi dan tidak peka akan rasa simpati dan empati.
Jangan bilang orang “sana” juga melakukan hal yang sama. Yang perlu kita lakukan adalah memulai dari diri sendiri. Membunuhlah! Bunuhlah rasa egomu yang tinggi, bunuhlah keserakahan, bunuhlah persepsi negatif soal strategi pemerintah yang sangat tak cakap.
#Dirumahsaja. Hastag ini sudah banyak dipakai untuk menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah saja demi keselamatan bersama. Pemerintah bukan tidak mempertimbangkan kebijakan ini, sebab di atas segalanya, keselamatanlah yang paling penting. Mau berapa nyawa lagi yang akan melayang? Mau berapa banyak lagi tangisan miris yang kita dengar?
Para aktor di garis terdepan sudah melakukan tugas dan bagiannya. Jika kita suka rebahan mari saling merefleksikan diri, hal-hal negatif apa yang perlu dibunuh dari diri kita? Sudah waktunya saling bersinergi dengan kegiatan positif selama di rumah saja.
Tak perlu keluar jika kegiatan tidak amat-amat penting. Mungkin anjuran WFH akan terasa menyulitkan dan sangat melelahkan karena ada batasan. Namun, tidak ada pilihan lain selain ini. Para tim medis sudah berusaha menggenjot agar jumlah pasien membaik dan mengalami peningkatan, setidaknya ada berita baik yang bisa dikabarkan bahwa ada yang selamat di medan perang melalui media.
Stop menambah tugas mereka, sama saja jika kita apatis dan egois rantai virus ini tidak akan putus. Tidak akan ada yang selamat. Bayangkan, awalnya hanya dua saja yang dinyatakan positif lalu meningkat menjadi lebih dari seribu orang.
Siap atau tidak, kuncinya adalah mari saling membunuh sifat yang menjerumus kepada perlawanan pemangku-pemangku yang sudah berdiskusi. Mungkin juga ada yang memang harus tetap bekerja karena tuntutan. Namun, di mana pun kalian berada, patuhilah prosedur keamanan dan semoga tetap sehat untuk memulangkan senyum kepada keluarga.
Untuk kamu yang mungkin merasakan rumah bukan tempat pulang, ada banyak hal yang bisa tetap menghidupi. Maka, rumah seperti apa pun harus tetap membuatmu sehat. Jangan banyak bekerja di luar dan bergabung dengan keramaian, serta tetaplah waspada.
Meski di kos-an, di apartmen, di kontrakan, jika bisa mulailah menjadi pembawa perubahan dengan membunuh. Tak ada salahnya. Semakin banyak hal-hal yang baik kita lakukan maka orang-orang yang merasakannya akan bahagia dan mungkin akan melakukan hal yang sama.
Untuk pemerintah, semoga tugas ini cepat selesai dan kami yang jadi pembunuh akan terus mengkritisi segala langkah dan kebijakan kalian.
Untuk teman-teman yang belajar dari rumah, khususnya untuk teman-teman angkatan saya. Yang sedang memasuki semester akhir dan dialihkan untuk menyusun skripsi terlebih dahulu, semangat selalu.
Bagaimana pun kita harus siap. Demi kehidupan nanti mari saling kuat. Mari saling peduli dan berbagi. Kalau bukan kita siapa lagi?
Esra Freswita Ambarita, mahasiswi Jurusan Jurnalitik President University, Cikarang