Kepedulian di Tengah Pandemi

0
281

Fenomena social distancing dan work from home atau menjaga jarak antara kerumunan sosial dan social distancing saat ini banyak dilakukan oleh negara-negara yang terjangkit Corona Virus Disease atau biasa disebut Covid-19. Penyebaran masif virus korona sebagai pandemi global membuat beberapa orang khawatir, namun sebagian kalangan masih menganggap wabah itu sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Hal itu dibuktikan dengan banyaknya video dan foto-foto pada saat seseorang berada keramaian yang mengusik hati. Menandakan, masih banyak yang belum peduli. Beberapa orang masih belum sadar akan pentingnya pembatasan sosial sebagai pemutus rantai penularan, namun juga dapat membantu istirahatnya lingkungan.

Ketika jumlah pasien positif korona meningkat signifikan, pemerintah dan beberapa pejabat publik segera mengultimatum agar masyarakat berhenti melakukan kegiatan yang mengumpulkan massa, menghindari keramaian, dan meminta untuk bekerja di rumah.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan protokol untuk pengurangan transportasi publik sebesar 50 persen akibat kebijakan bekerja dari rumah (WFH). Sekolah-sekolah, universitas, tempat wisata, dan sebagian perusahaan terpaksa ditutup agar penyebaran virus ini cepat berakhir. Beberapa konser musik dan pertandingan olahraga sementara ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.

Setelah itu lebih dari 974 perusahaan memberlakukan Work From Home. Imbasnya, pengguna transportasi publik berkurang sebanyak 40-70 persen jika mengutip dari keterangan juru bicara Kementerian Perhubungan RI, Adita Irawati. Sebuah angka yang cukup besar untuk daerah metropolitan. Usaha tersebut juga diikuti oleh pengurangan armada transportasi publik maupun pribadi yang beroperasi. Melihat bagaimana pandemi ini menyebabkan fasilitas umum dan ruang publik dibatasi sebegitu rupa, tentu ini adalah masalah yang serius.

Tanpa disadari, penurunan penggunaan transportasi publik dan pribadi, serta terhentinya aktivitas manusia juga dapat membantu Bumi ini seolah-olah ikut bernafas lega dari emisi karbon untuk beberapa saat. Belum lagi polusi nitrogen dioksida (NO2) dari sektor industri.

Dikutip dari perkataan Kimberly Nicholas, peneliti dari Lund University Center untuk Studi Berkelanjutan (Sustainability Studies) di Swedia kepada harian The New York Times, ada tiga penyebab umum menurunnya emisi karbon. Apa saja itu ? menghindari penerbangan, bepergian dengan mobil, dan makan produk hewani.

“Kapan saja Anda dapat menghindari naik pesawat, naik mobil atau makan produk hewani, itu adalah rangka penghematan iklim yang substansial,” ujar Kimberly kepada The New York Times pada 13 Maret 2020 lalu.

“Jadi, sebenarnya yang diambil dari pembatasan sosial itu belajar untuk solidaritas,” ujar Ica

Tentu saja, fenomena social distancing dapat membantu lingkungan dengan berkurangnya aktivitas manusia yang tak ada hentinya. Hal itu disampaikan Ica Wulansari, seorang sosio-ekolog yang juga peneliti lingkungan untuk Pojok Sosial Ekologi. Ica berfokus di bidang kemanusiaan dan lingkungan yang berkelanjutan. Saat ini, Ica sedang melanjutkan studi S3 Sosiologi di Universitas Padjadjaran.

Ketika ditanya bagaimana aktivitas manusia yang berkurang karena Covid-19 mempengaruhi lingkungan, Ica berpendapat bahwa hal ini dapat memiliki dampak baik. “Nah, ketika ada virus ini, kita diminta untuk melakukan pembatasan sosial. Diminta untuk mengurangi kegiatan untuk memutus rantai penularan. Akhirnya menjadi berdampak baik, salah satunya adalah tingkat emisi karbon di kota-kota besar mengalami penurunan dari aktivitas manusia memakai kendaraan pribadi atau umum,”

Lewat sambungan telepon, Ica juga memberi ilustrasi tentang angsa dan ikan di Italia kembali muncul di tengah sungai-sungai yang bening membentang di kota Venice. Sesuatu yang mengejutkan karena peristiwa itu baru terjadi dalam 50 tahun terakhir. Jantung kota Italia itu mulai melakukan lockdown selama dua pekan sebab pasien Covid-19 melonjak tajam.

Ketika kita diminta untuk melakukan pembatasan sosial, kesendirian kita di rumah sama dengan membangun solidaritas bersama melawan virus ini. “Jadi, sebenarnya yang diambil dari pembatasan sosial itu belajar untuk solidaritas, ujar Ica. Ia menyatakan kita harus sadar bahwa dari pemberitaan yang ada, tenaga medis dan infrastruktur kita kurang. Artinya, kita semua mencegah agar angkanya tidak tinggi. Ketika angkanya tinggi berarti bisa menimbulkan masalah baru yang belum tentu bisa diatasi.

Social distancing membuat kita untuk bersama-sama mengurangi problematika baik itu untuk sisi kemanusiaan mau pun lingkungan. Namun, hal ini juga dapat memiliki dampak negatif kepada satwa-satwa yang ada di perkotaan. Seperti yang terjadi di Bangkok, saat daerah pariwisata ditutup, monyet-monyet sampai harus turun ke jalan berkeliaran untuk mencari makanan karena tidak ada wisatawan yang datang dan penduduk pun diam di rumah.

“Mengapa hewan-hewan itu sampai keluar ? artinya habitat mereka sebenarnya bukan di kota, tapi kita merampas habitat mereka. Coba habitat mereka bukan di kota, mereka tidak harus turun ke jalan untuk mencari makanan,” lanjut Ica dengan nada prihatin.

Mungkin selama ini kita tidak sadar bahwa lingkungan dan makhluk-makhluk lain di sekitar kita juga butuh hidup ketika selama ini digunakan untuk kebutuhan manusia yang tiada batasnya. Dengan kejadian wabah pandemi ini, kita diminta refleksi oleh alam kalau manusia ini sudah banyak merebut hak-hak hidup makhluk lain.

“Sebenarnya hikmah dari virus ini untuk hubungan kita dengan lingkungan ada bagusnya. Aktivitas manusia yang terus-menerus, baik itu individu mau pun industri menjadi terhenti yang kemudian penggunaan (transportasi) juga terhenti,” katanya lagi.

Bisa jadi dengan adanya pembatasan sosial, akan dapat memulihkan lingkungan untuk sementara waktu dari aktivitas yang selama ini merugikannya, meski perubahan iklim tetap akan menghantui dan harus dihadapi. Mari bantu lingkungan kita beristirahat dan bantu memutus rantai penularan dengan berdiam diri di rumah.

Ni Luh Lovenila Sari Dewi, mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.