Penyair Sapardi Djoko Damono dan penulis muda Nadhifa Allya Tsana berkolaborasi dalam buku puisi terbarunya yang berjudul “Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang?”. Peluncuran buku tersebut dilakukan pada Sabtu (8/2/2020) di Toko buku Gramedia di mal Central Park Jakarta.
Dalam acara peluncuran buku kolaborasi penulis lintas generasi itu hadir Sapardi dan Tsana (pemilik nama pena Rintik Sedu). Keduanya bercerita tentang awal mula terjadinya kolaborasi sehingga melahirkan karya terbaik yang menjadi suguhan puisi diawal tahun 2020.
Lahirnya buku itu bermula saat mereka menjadi tamu di acara Klub Buku Narasi pada Agustus 2019. Pertemuan berlanjut dengan saling mem-follow akun instagram. Tsana yang sudah mengikuti akun instagram Sapardi sejak lama dan Sapardi yang mulai mencari tahu tentang isi tulisan dari akun Rintik Sedu.
Saat melihat tulisan atau puisi yang di unggah oleh akun Rintik Sedu, Sapardi mulai menyukai isi tulisannya. “Wah anak ini hebat. Tulisan-tulisannya bagus ini,”ujar penulis buku trilogi Hujan Bulan Juni. Mulai saat itu Sapardi mengajukan tawaran untuk berkolaborasi.
Singkat cerita, “Pokoknya tiba-tiba semesta bekerja kayak Pak Sapardi ngajak kolaborasi” tambah Tsana ketika menanggapi ajakan Sapardi untuk berkolaborasi. Masalahnya, tawaran itu tidak bisa diterima dengan mudah oleh penulis berusia 22 tahun tersebut.
“Ini bapak salah kirim chat enggak? takutnya bapak salah ngajakin orang untuk kolaborasi, karena kayaknya saya belum cukup pantas untuk berkolaborasi dengan seorang Sapardi Djoko Damono” lanjut Tsana menirukan pertanyaan kepada dirinya sendiri waktu itu. Pasalnya, ia merasa belum cukup pantas berkolaborasi dengan penyair senior itu.
Sapardi pun meyakinkan Tsana. “Pokoknya kita harus buat buku puisi itu,” kata budayawan kawakan tersebut. Ia percaya bahwa Tsana mampu menciptakan karya yang luar biasa.
Buku yang dibuat selama tujuh bulan tersebut diberi judul “Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang?”. Pemilihan judul tersebut karena sangat relevan dengan kehidupan pada bagian selalu ada episode pergi dan pulang.
Dalam cover bukunya, Tsana memilih untuk menggambar dua orang dengan warna payung yang berbeda. Tentunya memiliki filosofi yang ingin disampaikan oleh penulis, “…jadi gambarannya kayak, itu payungnya hitam tapi sebenernya enggak ada kelambunya diatasnya. Yang satunya lagi punya payung. Dia nari, dia bahagia, padahal diatasnya bebannya lebih banyak,” jelas Tsana dilanjutkan dengan pesan yang ingin disampaikan,
"Setiap manusia punya beban dan porsinya masing-masing, yang kelihatannya bahagia-bahagia aja sebenernya engga, dan sebaliknya."
Di lain pihak, Sapardi menyatakan, “Sepanjang proses penulisannya, saya mendengar dialog dalam kepala saya siang-malam antara dua orang, perempuan dan laki-laki, yang sepenuhnya diucapkan oleh Rintik Sedu. Tugas saya adalah menuliskan semua yang saya dengar dan dengarkan dari dialog itu. Sepenuhnya.”
Dialog yang Sapardi dengar adalah sesuatu yang baru, sehingga membuat dirinya berpikir ada semesta yang jauh lebih luas dari apa yang ada di sekitarnya.
“Dialog yang akan Anda baca ini dengan demikian bukanlah sepenuhnya karya saya tetapi hasil kolaborasi Rintik Sedu dan saya. Tidak akan pernah bisa saya bayangkan menulis buku semacam ini sendirian saja,” tambah Sapardi dalam bukunya.
Kedua penulis itu berharap bukunya dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, baik muda maupun tua. Sebab meskipun buku tersebut hasil dari kolaborasi lintas generasi, namun bahasa dan pembahasannya pun tetap sesuai dengan kehidupan manusia sehingga sangat pantas untuk menjadi suguhan puisi di berbagai generasi.
Fanny Aghnia, mahasiswa Jurusan Mass Communication, Binus University, Jakarta.
Comments are closed.