Dampak Perang Tarif Promo oleh “Startup” Indonesia

0
1729

Belum lama ini, publik dikejutkan dengan pernyataan pimpinan tertinggi Lippo Group, Mochtar Riady yang akan melepas saham OVO karena tidak kuat lagi membiayai promosi besar-besaran yang dilakukan oleh OVO. Sebelumnya, OVO memang sedang gencar melakukan promosi dengan memberikan cashback kepada penggunanya. Pada merchant tertentu, cashback yang diberikan bahkan bisa mencapai 30 persen dari nilai transaksi.

OVO bukan satu-satunya perusahaan rintisan (startup) yang melakukan “bakar duit” demi memenangkan persaingan. GoPay, dompet digital besutan Gojek juga melakukan hal yang sama. Gojek secara masif mempromosikan Gopay ke merchant-merchant yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. GoPay juga memberikan cashback bagi penggunanya bahkan hingga mencapai 50 persen.

Memang, banyak perusahaan rintisan yang sedang melakukan promosi gila-gilaan dengan memberikan diskon, baik berupa potongan langsung ataupun cashback atau poin, untuk menarik pengguna baru. Persaingan yang ketat memaksa perusahaan startup untuk terus melakukan promo demi memikat para penggunanya.

Adu promo yang dilakukan oleh para perusahaan startup di indonesia makin hari makin memanas. Masing-masing startup seakan belum menyerah untuk adu promo dengan menggunakan uang investor. Tentu beberapa kalangan mempertanyakan praktik yang dilakukan oleh startup ini. Jika terus menerus “bakar uang” investor, lalu kapan perusahaan startup ini akan mendapatkan profit?

Predatory pricing?

Predatory Pricing merupakan penetapan harga yang rendah pada barang atau jasa dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk mencegah masuknya kompetitor baru dan mendorong kompetitor yang sudah ada untuk keluar dari pasar. Pengguna cara predatory pricing akan menetapkan harga di bawah harga wajar untuk menarik pelanggan dari kompetitor lain. Ketika kompetitor lain keluar dari pasar, maka perusahaan akan menutup kerugian dengan menaikkan harga, bahkan lebih tinggi dari semula.

Dalam ilmu ekonomi mikro, praktik predatory pricing merupakan praktik yang terjadi dalam pasar oligopoli. Dalam praktik itu hanya ada beberapa perusahaan saja yang yang menyediakan barang atau jasa tersebut.

Perusahaan startup seringkali memberikan promo berupa cashback kepada pelanggannya, yang menyebabkan harga yang diterima pelanggan tidak masuk akal. Disinyalir, perusahaan startup menggunakan uang dari investor untuk membiayai berbagai macam promo tersebut untuk tetap mempertahankan pangsa pasar masing- masing.

Meski merugi, para perusahaan startup ini tetap melakukan predatory pricing untuk saling memikat pelanggan. Tujuannya satu, agar tetap bisa bertahan ditengah persaingan yang sengit.

Predatory pricing akan menjurus pada persaingan tidak sehat sebab  masing-masing pihak berusaha untuk saling “mematikan” satu sama lain. Dengan matinya para pesaing, maka perusahaan yang bertahan akan menjadi pemain tunggal dalam bidang tersebut dan rentan terjadi praktik monopoli.

Hal ini sudah terjadi di negara tetangga, yaitu Singapura. Setelah Uber diakuisisi oleh Grab, tiba-tiba Grab menaikkan harga layanannya sebesar 10 sampai 15 persen. Kenaikan tarif ini dikeluhkan oleh pengguna layanan dan mitra pengendara karena Grab menaikkan tarif tanpa sebab.

Akibatnya, otoritas pengawas persaingan usaha Singapura atau Competition and Consumer Comission of Singapore (CCCS) menjatuhkan denda sebesar S$ 13 juta atau sekitar Rp 142 miliar kepada Grab dan Uber karena merusak persaingan layanan ride-hailing di negara tersebut.

Tergantung konsumen

Kita ambil contoh dua perusahaan besar di pasar ride hailing Indonesia, Gojek dan Grab. Dalam jangka pendek, predatory pricing memang dapat memengaruhi pilihan konsumen. Adanya insentif mendorong konsumen dalam menggunakan layanan tersebut karena tarif yang lebih murah. Namun ada saatnya perang tarif ini akan berakhir.

Ketika kedua perusahaan, baik Gojek maupun Grab, menghentikan perang tarif, dan mulai menggunakan tarif normal, maka konsumen akan kembali memilih layanan mana yang paling baik. Banyak faktor yang jadi petimbangan konsumen dalam memilih, seperti kemudahan dalam pengoperasian, pelayanan yang diberikan driver dan kenyamanan dalam berkendara. Konsumen akan bisa menilai sendiri dan memutuskan mana yang terbaik.

Menurut konsumen yang menanggapi perang tarif promo yang dilakukan Gojek dan Grab, sebagian besar menyatakan bahwa tidak ada loyalitas khusus terhadap kedua perusahaan ini. Konsumen tentu tergiur akan promo yang diberikan, namun apabila promo sudah habis, maka konsumen akan kembali kepada pilihan masing-masing tanpa melihat mana yang memberikan promo paling banyak.

Upaya membongkar

Banyak negara di dunia yang menganggap bahwa praktik predatory pricing termasuk tindakan ilegal karena dinilai anti-kompetitif yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentang persaingan usaha. Namun kenyataannya cukup sulit untuk membuktikan praktik predatory pricing, karena para perusahaan yang menerapkan praktik ini berdalih bahwa penurunan harga merupakan hal wajar dalam persaingan bisnis.

Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan “Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.

Praktik predatory pricing sangat merugikan baik perusahaan lain maupun konsumen itu sendiri. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terus berupaya untuk membongkar praktik predatory pricing yang dilakukan oleh pelaku usaha di seluruh Indonesia, terutama pelaku usaha yang bergerak di bidang usaha yang strategis dan menyangkut kesejahteraan masyarakat umum.

Sesuai   dengan   Pasal   47   UU   No.   5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,   KPPU   berwenang   menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 20. Sanksi bisa berupa penghentian kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan, atau merugikan masyarakat.

Pelaku yang terbukti melanggar UU itu bisa dikenakan untuk membayar ganti rugi hingga pengenaan denda dalam jumlah antara Rp1.000.000.000  (satu miliar rupiah) dan  setinggi-tingginya   Rp 25.000.000.000   (dua  puluh  lima  miliar rupiah).

I Gede Angga Ari Wardana, Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN