Strategi Pajak Menarik Investor Lewat RUU Omnibus Law

0
457

Awal September 2019, Indonesia dibuat kecewa oleh investor-investor dari China yang lebih memilih negara lain di Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja untuk berinvestasi. Iklim investasi di Indonesia yang dinilai tidak kunjung kondusif dan tidak dilakukan perbaikan membuat para investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

Hal ini tentunya merugikan Indonesia. Potensi pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak hilang begitu saja. Upaya harus dilakukan oleh pemerintah untuk menarik para investor agar kembali mau berinvestasi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menerbitkan Rancangan Undang–Undang (RUU) Omnibus Law terkait perpajakan.

Begitu banyak ragam Undang-Undang (UU) perpajakan di Indonesia. Sebut saja UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN & PPnBM), dan sebagainya. Ragam jenis pajak yang diatur di masing UU ini dianggap terlalu rumit, sehingga dirancang suatu UU Omnibus Law yang menggabungkan beberapa aturan dengan substansi pengaturan yang berbeda menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum.

Sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, RUU itu akan mengumpulkan seluruh fasilitas perpajakan dalam satu bagian. Termasuk didalamnya adalah pengurangan dan pembebasan pajak penghasilan, tax holiday, super deduction untuk vokasi dan research and development, dan untuk perusahaan yang melakukan penanaman modal untuk kegiatan padat karya. Terdapat beberapa poin penting mengenai strategi pajak yang diatur di dalam RUU Omnibus Law ini.

Pertama, tarif PPh Badan akan diturunkan dari 25 persen menjadi 20 persen. Penurunan akan dilakukan secara bertahap dimana akan diturunkan tiga puluh persen menjadi 22 persen untuk tahun 2021-2022, kemudian diturunkan lagi menjadi 20 persen di tahun 2023.

Selain itu, insentif diberikan bagi perusahaan yang baru go public, yang tarif PPh badan akan diturunkan lagi tiga persen dari tarif normal. Dengan demikian, perusahaan yang baru go public akan dikenakan tarif 19 persen di tahun 2021-2022. Sedangkan untuk perusahaan yang go public di tahun 2023 dan selanjutnya, akan dikenakan tarif PPh Badan sebesar 17 persen. Penurunan tarif ini berlaku selama lima tahun setelah perusahaan tersebut go public.

Kedua, pengenaan PPh atas dividen di dalam negeri dibebaskan dari pengenaan pajak. Ketiga, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan dari bunga dari dalam negeri yang diterima oleh subyek pajak luar negeri (SPLN) yang dapat diturunkan dari tarif normal 20 persen.

Sistem teritori

Keempat, pengaturan sistem teritori dalam rangka penentuan penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Wajib pajak yang penghasilannya berasal dari luar negeri, baik berupa dividen ataupun penghasilan setelah pajak dari BUT di luar negeri, tidak dikenakan pajak di Indonesia apabila penghasilan tersebut diinvestasikan di indonesia dan berasal dari perusahaan listed atau non listed.

Selanjutnya, tentang sistem teritori mengatur pengenaan pajak atas penghasilan tertentu dari luar negeri, yaitu dari warga negara asing yang merupakan subjek pajak dalam negeri (SPDN) setelah melewati time test, atau wajib pajak yang berstatus dual residence. Obyek pajak hanya PPh yang berasal dari penghasilan dari Indonesia, sehingga, atas penghasilan dari luar Indonesia tidak dikenakan mekanisme pengenaan pajak PPh Pasal 26.

Kelima, penentuan subjek pajak orang pribadi akan disesuaikan. Warga negara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun, sebelumnya masih dianggap SPDN karena merupakan WNI, sehingga time test tidak berlaku dan masih dikenakan PPh atas penghasilan mereka dari Indonesia.

Omnibus law akan mengatur mengenai penentuan SPDN ini. SPDN yang memenuhi persyaratan tersebut akan dikecualikan dan diperlakukan sama dengan SPLN. Sehingga PPh atas penghasilan yang diterima dari Indonesia akan dikenakan mekanisme pemotongan PPh Pasal 26. Sedangkan penghasilan yang diterima dari luar Indonesia menjadi objek pajak luar negeri dan tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Keenam, hak atas pengkreditan pajak masukan. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memperoleh bahan baku atau yang melakukan pembelian terkait usaha dari pihak bukan PKP dapat mengkreditkan pajak masukannya maksimal 80 persen. Termasuk pajak masukan dari SPT yang ditemukan dari hasil pemeriksaan yang tidak dapat diidentifikasi perusahaan asal pajak masukan tersebut/ pembelian tersebut dari perusahaan mana.

Ketujuh, pengubahan tarif sanksi administrasi dari yang semula flat rate dua persen tiap bulan menjadi tarif bunga saat bulan berjalan. Sanksi ini dianggap adil karena disesuaikan dengan tingkat bunga yang berlaku.

Kedelapan, pengaturan ulang terkait imbalan bunga yang dibayarkan pemerintah. Tarif imbalan bunga tidak lagi flat rate dua persen tiap bulan, tetapi juga mengikuti tingkat bunga yang berlaku untuk bulan berlangsung.

Peningkatan dividen itu akan diiringi oleh kebijakan untuk membebaskan pengenaan pajak atas dividen, selama dividen tersebut direpatriasi kembali ke Indonesia.

Jelas kebijakan tersebut merupakan upaya yang diambil untuk mewujudkan iklim yang kondusif bagi investor. Penurunan tarif PPh badan menjadi insentif bagi investor, karena tentunya penghasilan yang didapat oleh perusahaan akan meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan lebih banyak lagi dana yang dimiliki perusahaan untuk dapat diinvestasi kembali, ataupun untuk dbagikan kepada investor dalam bentuk dividen.

Peningkatan dividen itu akan diiringi oleh kebijakan untuk membebaskan pengenaan pajak atas dividen, selama dividen tersebut direpatriasi kembali ke Indonesia. Dengan aturan itu, uang yang kembali masuk dan berputar di Indonesia diharapkan akan membantu pergerakan roda perekonomian Indonesia.

Selain itu, wajib pajak badan didorong untuk segera go public atau IPO. Insentif berupa penurunan tarif PPh Badan sebesar tig apersen selama lima tahun menjadi strategi pemerintah. Dengan merubah status perusahaan menjadi perusahaan terbuka, maka diharapkan banyak investor tertarik dengan perusahaan tersebut.

Perusahaan pun diharapkan menjadi lebih profesional, mampu bersaing dengan perusahaan asing, dan mampu memberikan kontribusi lebih kepada Indonesia.

Adil bagi semua

Salah satu isu yang diutamakan dalam perancangan UU ini adalah mengenai fairness. Penerapan sistem teritori dianggap mampu untuk mengatasi masalah keadilan yang dialami wajib pajak. Hal utama dalam mengatasi isu ini adalah perubahan penentuan subyek pajak.

Isu fairness yang juga berusaha diatasi oleh pemerintah adalah mengenai sanksi bunga. Misalnya, selama ini pengenaan sanksi bunga atas keterlambatan pembayaran STP adalah sebesar dua persen setiap bulan. Hal itu dianggap tidak adil bagi wajib pajak.

Oleh karena itu, tarif sanksi bunga disesuaikan dengan tingkat bunga yang berlaku pada saat sanksi tersebut dikenakan, sehingga sanksi akan relatif sesuai dengan kondisi dan dianggap lebih adil bagi wajib pajak. Hal ini sebagai upaya dalam meningkatkan tax compliance dari wajib pajak, karena tarif dapat lebih kecil dari dua persen.

Atas perubahan tarif sanksi bunga ini, pemerintah juga merasa perlu untuk menyesuaikan tarif atas imbalan bunga dari yang sebelumnya dua persen tiap bulan menjadi sesuai dengan tarif bunga yang berlaku saat imbalan tersebut seharusnya diberikan. Penyesuaian itu lebih adil bagi pemerintah dan bagi wajib pajak.

Beberapa poin diatas merupakan strategi pemerintah untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor dan calon investor, dengan memberikan beberapa kemudahan dan menawarkan tarif pajak yang bersaing dengan negara lain. Pemerintah berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat dan diikuti dengan pertumbuhan compliance wajib pajak, serta peningkatan penerimaan pajak dari Indonesia.

Idham Aulia Armeidi, Mahasiswa DIV Akuntansi Alih Program, Politeknik Keuangan Negara STAN