Mengenal Joko Avianto, Seniman Seni Instalasi dari Bambu

52
3118

Pernahkah Anda mendengar sebuah karya seni instalasi yang terbuat dari bambu? Ialah Joko Dwi Avianto, seorang seniman sekaligus pencetus seni instalasi yang terbuat dari bambu. Pria kelahiran Cimahi, 27 Juli 1976 ini menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung dari 1996-2001 dan 2003-2005.

Joko pertama kali berkenalan dengan seni patung yang ia pelajari di program studinya, seni murni. Karya pertamanya dipamerkan dalam pameran bersama pada 1999 dalam acara “Fetishism” di Scuplture Studio ITB dan “Ceative Experiment” di Galeri Soemardja Bandung.

Joko berkata, “Pada tahun 1999 saya memang berkarya di sekitaran kampus saja. Masih di Galeri Soemardja, pameran sama teman-teman. Itu semua untuk memulai pertama kali masuk ke dunia pameran.”

Pernah sekali, Joko turut berpartisipasi menyumbangkan karyanya di Bandung Art Event (BAE) pada 2001. Karya-karya yang dipamerkan meliputi karya seluruh seniman yang ada di Bandung. Tidak hanya berhenti sampai di situ, pada usia muda, karya-karya Joko sudah banyak dipamerkan di sejumlah galeri Bandung.

Ketertarikan Joko terhadap seni masih tergolong cukup baru. Ia mengaku masa pendidikannya di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB menjadi tokoh utama yang menyugestikan ia menjadi seniman. “Saya nyemplung (ke seniman) karena tahu infrastruktur seni seperti apa, bekerja di kuliah kesenian itu apa saja, dan membangun karier seperti apa,” kata Joko.

Terlahir dari ibu seorang bidan dan ayah, anggota TNI Angkatan Udara, tak menampik Joko untuk berbeda profesi. “Saya tidak tahu bentuk dukungan (dari keluarga) seperti apa, tetapi selama saya berkarya, tidak ada hambatan,” jelasnya. Seni benar-benar tidak mengakar sejak dini. Sejak kecil, ia tidak secara khusus tertarik pada seni. Ia justru baru percaya, ini semua merupakan bakat terpendamnya.

Baru-baru ini, Joko baru saja menyumbangkan beberapa karyanya di CASA 2019, sebuah event interior. Ia mengaku di-endorse oleh salah satu produk dan diminta menjadikan produk tersebut bagian dari karya. “Bagi saya ini material palsu karena ini rotan palsu. Akhirnya saya menantang balik untuk membuat modul yang mirip dengan bambu,” tambahnya.

Dari kecil

Pada awalnya, Joko yang memilih seni instalasi sebagai bidang karyanya membutuhkan proses cukup panjang. Ia mengaku pertama kali ia justru menjadi seniman patung. “Saya mengenal instalasi tahun 2000 mendekat ke sini, (dan merasa) bahwa instalasi sebagai medium ungkapan bagi saya. Materialnya pun dapat disusun dan direka, misal di dinding atau lantai,” katanya menjelaskan.

Jika Anda mengenal seni instalasi merupakan seni kontemporer dengan material teknologi, karya Joko Avianto tak seperti itu. Bambu, material utama dan material satu-satunya dalam karyanya. Ia tidak mutlak langsung memilih bambu sebagai bahan berkarya. Pada dasarnya Joko memilih bambu karena tidak ada seniman yang menggunakan bambu sebagai material karyanya.

Saat masih kuliah, Joko bekerja di studio milik dosennya, Rita Widatno. Karena ranah seni milik Rita Widatno merupakan proyek, Joko banyak berkenalan dengan medium.  “Isu-isu yang bersangkutan dengan bambu adalah isu lingkungan. Selain saya juga dari kecil sudah biasa dengan material bambu. Lingkungan saya ada bukit yang dekat rumah, jadi saya sering main di sana,” katanya lagi.

Secara garis besar, apa yang diungkapkan Joko lewat karyanya berasal dari sketsa dan imajinasinya saat menggambar. “Kalau kita menggambar, pasti terdiri dari garis-garis. Saya langsung berpikir, saya juga bisa berbuat itu di ruang yang kosong,” katanya dengan gestur berpikir.

Dari situlah ia menceritakan latar belakang karya pertamanya di Selasar Sunaryo pada tahun 2003. Karya bambunya tidak bertengger atau berdiri, melainkan mengambang. Itu pameran pertama Joko yang menggunakan bambu. “Saya ditantang pakai bambu, saya berpikir mau diapain lagi bambunya. Kalau bambu kan tradisinya sudah sangat biasa, sedangkan saya sudah berdiri mindset yang formalis,” ujar Joko.

Modul yang Joko temukan pada 2003 terbukti masih digunakan sampai sekarang. “Hampir tidak berubah. Memang saya mengangkat potensi bentuk bambunya, sih. Misalnya seniman patung pakai palu dan pahat, saya pakai palu dan golok. Bedanya itu saja,” lanjutnya sambil tertawa kecil.

Masuk lingkungan internasional

Rasanya hambar jika sukses di dalam negeri, tetapi tidak sukses di luar negeri. Namun, Joko dapat memberikan garam ke dalam kariernya. Keberhasilannya masuk ke radar internasional berawal dari ArtJog 10 tahun 2012. Acara tersebut mempertemukan para seniman dengan banyak komisioner.

Joko mengaku mendapatkan comission work karena karyanya cukup diulas positif oleh banyak orang. ArtJog benar-benar mengubah hidupnya. “Setahun kemudian, saya diajak (memamerkan karya) di Penang, Singapura, Jerman. Semua dari ArtJog,” jelasnya.

Berbeda dengan kancah internasional, justru di kacah nasional Joko sempat merasakan pahitnya kritikan publik. Setahun silam, karya Joko diperkenalkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Bundaran HI untuk bentuk menyambut Asian Games 2018.

Sayangnya, karya ini mendapat banyak komentar dan kritik langsung yang tertuju pada dirinya. Namun, Joko tetap tegar dan tak menghiraukan kritikan-kritikan tersebut. Joko tidak mau menyalahkan publik yang baru mengenal dirinya.

“Ketika kita sudah go international, publik tidak tahu karena memang bukan publik seni. Kalau publik umum harus diwajarkan karena memang pendidikan seni kurang, tapi kalau dikenal secara umum itu saya anggap bonus,” jelasnya.

Sebagian besar komentar dan kritik kepada Joko tertuju pada material bambu. Joko mencoba mengulik dasar-dasar apa saja yang menyebabkan banyak orang berkomentar seperti itu. Joko mengungkapkan material bambu memang merupakan hal yang sudah ada di tradisi dan orang sudah akrab melihatnya.

“Ketika mereka melihat hal baru, banyak pertanyaan yang terlintas dalam pikirannya. Kan orang melihat karya seni membutuhkan modal untuk paham. Maksud saya tidak menyalahkan publik karena mereka juga butuh belajar dan karya-karya seperti itu perlu dihadirkan di publik,” tuturnya.

Walau sudah mengenal Anies sejak empat tahun silam, hal ini justru sempat menyeret Joko ke perdebatan politik. Tapi semua kritikan tak pernah ia pedulikan. Joko akan tetap berkarya.

Jika harapan merupakan suatu hal yang belum pernah dicapai dan ingin digapai, namun itu semua tidak berlaku bagi Joko. Joko lebih memilih mengulangi pengalaman-pengalamannya di dunia seni.

Salah satunya ialah pameran. Ia mengakui pameran tunggalnya belum terlalu banyak tetapi ia banyak tawaran untuk pameran. Misalnya dari Galeri Nasional Jakarta, namun Joko masih mencari waktu yang tepat.

Ia berharap, pengalamannya bisa terulang kembali, seperti ekhsibisi di Yokohama Triennale 2017. “Di situ karya saya di sebelah seniman-seniman dunia. Untuk ikut di pameran itu dan di sebelahnya siapa itu susah banget,” katanya.

Pameran yang langsung dipilih oleh kurator di Jepang ini menambah pengalaman seorang Joko Avianto. Joko menambahkan, “Ada satu penerbit yang izin ke saya agar karya saya itu masuk kurikulum SMP dan SMA di Jepang pada 2021. Itu kebanggaan yang bagi saya tak ternilai. Melebihi uang,” kata Joko.

Valerian Pradovi

Comments are closed.