Ada pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”, hal ini juga berlaku pada kebangsaan dan rasa nasionalisme. Sebagai bangsa Indonesia kita akan sulit menghargai negeri sendiri apabila belum mengenalnya. Untungnya, masih banyak anak muda yang meningkatkan perhatian terhadap Indonesia lewat beragam cara.
Budaya tradisional adalah salah satu unsur yang mulai punah di kalangan anak muda. Globalisasi yang kencang membuat anak muda, khususnya yang tinggal di kota terkena terpaan budaya negara lain. Saat ini, musik barat yang pop dan kekinian lebih dikenal dibandingkan mendengarkan keroncong.
Kepunahan pengetahuan budaya inilah yang menarik Oi untuk membuat sebuah pagelaran yang melestarikan budaya tradisional Indonesia. Ia mendirikan Swara Gembira, gerakan muda-mudi untuk mengembalikan kembali kejayaan budaya Indonesia. Berdiri sejak tahun 2017, hingga saat ini pagelaran tari, musik dan budaya Indonesia ini sudah berlangsung sembilan kali dengan tema yang berbeda-beda.
“Bagi saya, berkecimpung di dunia kreatif tanpa merangkul seni budaya Indonesia sama saja dengan mematikan industri kreatif tradisional itu sendiri,” tegas Oi pada Sabtu (5/10/2019) lalu di Ideafest 2019, Jakarta.
Uniknya, pagelaran ini dilakukan tidak di tempat pagelaran seni tradisional pada umumnya. Untuk meraih pasar yang lebih luas, Swara Gembira selalu memilih tempat yang sedang ramai di kalangan anak muda. Lewat unsur barat yang lebih dekat dengan anak muda, konten budaya khas Indonesia berusaha dikenalkan. Dengan apresiasi lebih terhadap budaya tradisional, diharapkan budaya tersebut tidak akan punah dan kesejahteraan seniman akan meningkat.
“Kami selalu mencari cara berbincang dengan anak muda sesuai cara yang mereka suka. Kalau acara tradisional dari posternya saja sudah identik dengan warna cokelat dan gambar wayang, pasti akan membentuk gambaran bahwa acara tersebut akan membosankan,” jelasnya pada sesi “Melakoni Kebudayaan untuk Indonesia”. Ia melanjutkan, hal seperti itu sebenarnya membuat anak muda jadi takut dan tidak paham tentang kebudayaan.
Masih berbicara tentang kesejahteraan, Alexander Tjitrowirjo, Product designer dan creative director AlvinT, memberikan masukkan agar kita semakin bangga dengan produk Indonesia. Dalam sesi “Menghargai Harga Made In Indonesia” pada hari ketiga IdeaFest 2019, Alvin bercerita tentang rendahnya nilai barang buatan Indonesia.
“Indonesia punya banyak nilai tambah yang tidak dimiliki negara lain, seperti traditional culture dan craftsmanship. Tapi yang jadi masalah adalah Indonesia belum paham bagaimana caranya meningkatkan nilai barang-barang ini,” terangnya.
Salah satu penyebab rendahnya nilai produk Indonesia di pasar global adalah budaya tawar-menawar yang masih menjadi kebiasaan. Dengan adanya negosiasi mulai dari bahan mentah hingga produk jadi otomatis membuat nilai barang akan semakin rendah. Penyebab lainnya adalah harga transaksional yang masih menjadi tujuan utama bagi pelaku bisnis di Indonesia. Hanya memikirkan nominal keuntungan yang didapatkan, tanpa memikirkan nilai barang itu sendiri.
“Kita harus belajar membuat barang khas Indonesia menjadi lebih mahal, dengan catatan desain, kualitas dan ruang pamernya harus bagus. Kita terbiasa untuk melakukan segala sesuatu dengan murah, kuantitas tinggi tapi kualitas rendah,” jelas Alexander yang banyak bermain di industri furnitur.
Cinta Tanah Air tidak hanya ditunjukkan lewat ucapan saja, perlu pola pikir dan gerakan yang menyuarakannya. Dampaknya tidak hanya untuk masa depan bangsa, namun juga melestarikan sumber daya yang Indonesia miliki.
Nashya Tamara, mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, saat ini sedang magang di Kompas Muda Harian Kompas.
Comments are closed.