Makin Redup, Binar Profesi Petani di Kalangan Anak Muda

0
559

Sedari kecil, anak Indonesia kerap ditanyakan perihal cita-cita atau pekerjaan impian masing-masing. Profesi seperti polisi, aktris, dokter, pilot, astronot, pengusaha, atau bahkan influencer di zaman sekarang sudah jadi jawaban yang akrab di telinga. Namun, pernahkah Anda mendengar orang yang bercita-cita jadi seorang petani terutama dari mereka yang hidup di kota-kota besar?

Profesi petani memang jauh dari citra elegan dan glamor. Pekerjaan yang sudah dilakukan sejak manusia purba homo sapiens hadir di bumi ini identik dengan kerja kasar dan hanya dilakukan masyarakat desa. Intinya, pekerjaan ini bukan jadi pekerjaan favorit generasi millenials.

Minat yang minim turut memengaruhi jumlah petani di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan jumlah petani dalam jangka waktu dua tahun (2016-2018) di Indonesia cukup signifikan yakni sebanyak empat juta petani. Dari yang masih bertahan, 65 persen diantaranya kini berusia di atas 45 tahun.

Padahal, profesi petani, terutama petani pangan, dibutuhkan oleh siapa saja, baik itu yang tinggal di kota ataupun desa. Alasannya sederhana: semua orang butuh makan. Petani yang tidak teregenerasi mampu membuat lahan, angka produktivitas, dan kualitas hasil pertanian juga menurun.

Coba bayangkan dunia tanpa petani. Masakan-masakan lezat Indonesia seperti rendang, nasi goreng, bakso, gudeg, dan sebagainya yang notabene membutuhkan bahan-bahan yang dihasilkan petani juga terancam lenyap atau sekadar jadi resep kuno yang sudah tak bisa dibuat lagi karena tidak adanya bahan.

Tak lakunya profesi petani lapangan turut diakui oleh Yohanes Arvin Reza, mahasiswa Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian UPN Veteran Jawa Timur.  Arvin merasa minat menjadi petani masih cukup banyak di kalangan mahasiswa yang mengambil jurusan seputar pertanian. Namun, minat menjadi petani pangan yang sedang paceklik animo.

“Kalau dari aku dan teman-temanku sih sedikit yang ingin terjun ke lapangan langsung. Lebih banyak yang minat masuk ke perusahaan industri pertaniannya,” ujar Arvin pada Minggu (29/09/2019) di Jakarta.

Arvin mengatakan rendahnya minat menjadi petani lapangan khususnya pangan karena stigma yang lekat pada pekerjaan tersebut. Salah satunya terkait kesejahteraan finansial. Arvin sendiri berminat menjadi seorang petani, namun petani bunga hias. Menurutnya, pertanian bunga hias merupakan bidang yang sedang berkembang dan juga menghasilkan lebih banyak uang.

“Niat bekerja di dunia pertanian sih ada, tapi lebih ingin ke industri pertanian bunga hias, peluangnya cukup luas. Terlebih enggak main-main penghasilannya. Kalo ke pertanian pangan mungkin enggak,” tuturnya.

Tak hanya dari kalangan muda, stigma petani sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan juga datang dari kalangan petani sendiri. Mereka banyak mengharapkan anak-anak mereka punya kesempatan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

Seperti yang dikisahkan Dee Lestari dalam bukunya bertajuk Dari Tanah Tani ke Piring Saji. Buku ini mengisahkan perjalanan Dee bertemu dengan para petani kedelai hitam di Kulon Progo Yogyakarta. Dalam salah satu bagian bukunya, Dee bertandang ke rumah Pak Ijir. Pak Ijir dengan sepupu-sepupunya menekuni profesi petani, namun ia justru berharap anaknya tak memilih pekerjaan yang sama dengan dirinya.

“Kalau bisa ya jangan (petani). Kalau bisa lebih baik, tapi saya bebaskan dia mau menjadi apa,” ucap Pak Ijir seperti yang tercantum dalam buku Dari Tanah Tani ke Piring Saji.

Usaha Regenerasi

Persoalan regenerasi ini tak hanya mengancam masyarakat, tetapi juga sektor swasta terutama yang bergelut di bidang produksi makanan. Mereka mulai peka atas rendahnya angka regenerasi profesi petani yang dalam jangka panjang juga akan memengaruhi mutu produk mereka sendiri.

Salah satu yang hendak berkontribusi membantu usaha regenerasi petani ini adalah Bango melalui Yayasan Unilever Indonesia. Bango merilis Program Petani Muda untuk mendorong naiknya angka petani muda di Indonesia. Selama 100 hari, Bango bekerja sama dengan The Learning Farm (TLF) akan membina 30-40 petani muda potensial perihal pengetahuan pengelolaan dan keterampilan bidang pertanian.

“Kita menyadari pentingnya petani untuk terus ada. Mereka yang menghasilkan bahan baku dari berbagai produk yang kita gunakan. Kalau mereka enggak ada, lalu siapa yang bisa menghasilkan bahan baku dengan kualitas baik?” ucap Senior Brand Manager Bango, Nando Kusmanto pada Rabu (25/09/2019).

Para peserta yang mengikuti program ini tak dipilih secara asal. Pihak Bango yang memiliki desa binaan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur akan memilih para petani muda potensial dari daerah tersebut.

“Untuk batch pertama kami akan ambil dari desa binaan kami supaya hasil para peserta tersebut juga bisa terpantau setelah lulus nanti. Kami ingin program ini benar-benar berguna menaikkan angka regenerasi petani muda,” ujar Nando.

Program ini akan dimulai pada Oktober mendatang dan menghadirkan kelas-kelas yang diharapkan menjadi bekal para calon petani muda ini menjalankan bisnis pertaniannya. Kelas tersebut di antaranya kelas tanah, budidaya tanaman-perikanan dan ternak, pemupukan dan pengendalian hama, serta analisa usaha tanam. Tak hanya soal pertanian, program ini juga mendorong tumbuh kembang soft skills para peserta seperti manajemen waktu dan keuangan, entrepreneurshiphealthy life style, Bahasa Inggris, komputer, dan komunikasi.

Indonesia yang kerap mempromosikan diri sebagai negara agraris patut khawatir dengan angka regenerasi petani yang semakin turun. Citra profesi petani harus cepat dibenahi untuk menarik minat anak-anak muda menggeluti profesi tersebut. Terlebih daripada itu, petani harus jadi profesi menjanjikan secara finansial dan tumbuh-kembang kepribadian seseorang.

Diana Valencia, mahasiswi Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Tangerang-Banten, sedang magang di Kompas Muda Harian Kompas.