Perjuangan Kedubes Bekasi Menyetarakan Status

0
427

Ketika menyebut nama kota Bekasi, ingatan saya lekat dengan berbagai meme di media sosial yang sukses mengocok perut. Isu tentang kemacetan, panasnya suhu udara, minimnya infrastruktur termasuk rusaknya jalan dan sulitnya transportasi kerap jadi bahan para warganet meramu ejekan untuk Bekasi. Bila diingat-ingat, lelucon tentang kota dengan luas 210,49 km persegi ini santer terdengar pada 2014 silam dan terus berlanjut hingga hari ini.

Begitu banyak langgam tanggapan masyarakat Bekasi terkait fenomena ini. Ada yang beranggapan bahwa ini justru membantu pemerintah sadar atas permasalahan konkrit di Bekasi sehingga mereka turut menciptakan meme yang berdasarkan pengalaman mereka sebagai warga Bekasi. Tak sedikit pula yang tersinggung karena daerah tempat tinggalnya seolah jadi anak tiri di antara kota-kota di Indonesia lainnya. Namun, ada juga sekelompok anak muda yang hendak menjawab ejekan tersebut dengan membentuk sebuah komunitas bernama Kedubes Bekasi.

Pada 2015 silam, Muhammad Khalid, Fithor Faris, dan beberapa kawan lainnya berinisiatif untuk memudarkan gambaran buruk tentang kota tempat tinggal mereka. Mereka bercita-cita menjadikan Bekasi sebagai kota yang setara dengan kota-kota lainnya di Indonesia, termasuk sebagai wadah berkreasi anak-anak mudanya. Kegiatan komunitas yang bermarkas di Jatikramat, Bekasi, ini berporos pada kegiatan seni yang mendukung terciptanya Bekasi sebagai kota kreatif.

“Kami merasa kok Bekasi sering sekali dilewatkan dalam sebuah rangkaian tur band gitu? Padahal antusiasme masyarakatnya soal musik juga sama. Makanya kami sering adakan panggung kecil untuk band-band yang sekiranya sedang tur gitu. Selain itu, kami juga bekerja sama dengan komunitas film untuk secara rutin mengadakan screening film pendek,” ucap Muhammad Khalid kala diwawancarai di Soundsfest 2019, Minggu (25/8/2019).

Seni menjadi fokus utama kegiatan di Kedubes Bekasi karena latar belakang pengurus serta orang-orang yang sering nongkrong di kedai berasal dari kalangan seniman. Selain itu, Khalid juga merasa seni merupakan bahasa universal yang dapat dengan mudah menyatukan dan menyita perhatian.

Problematika nama

Nama Kedubes Bekasi memang terdengar sangat unik, nyentrik, dan mengundang rasa penasaran. Nama ini terpilih sebagai jawaban atas ucapan masyarakat yang sering menyebut Bekasi sangat jauh bahkan hingga membutuhkan paspor untuk pergi ke kota tersebut. Kedubes Bekasi diibaratkan jadi sebuah akses masyarakat non-Bekasi untuk melirik Bekasi dengan beragam karya dan acaranya.

Namun di awal pembentukannya, nama ini cukup mengundang pro dan kontra dari pemerintah karena membawa nama kedutaan besar.

“Selang dua bulan peresmian nama, ada permintaan pergantian nama oleh walikota Bekasi sendiri terus sampai ada surat teguran dari Kementerian Luar Negeri karena kita pakai titel kedubes itu ha-ha-ha,” ujar Khalid.

Hingga saat ini, Kedubes Bekasi menjalankan kegiatan bekerja sama dengan berbagai komunitas seperti @komikin_ajah, @kom.bek, @patriotfilmbekasi, dan komunitas-komunitas lainnya. Komunitas ini juga turut menjual merchandise seperti baju, buku catatan, dan sebagainya dengan gambar yang berkaitan dengan kota Bekasi.

Diana Valencia, Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara