Menuang Kembali Bir Kebanggaan Betawi

0
660

Menemukan bir pletok di tengah menjamurnya produk minuman khas kekinian memang tidak semudah dulu. Tapi, bukan berarti sudah hilang tergerus zaman. Karena nyatanya masih ada anak-anak Betawi yang berani maju ke pasaran demi memperkenalkan kembali bir pletok.

Mereka adalah Chuzaivah Ichsan dan Taufik. Keduanya berasal dari Condet, salah satu daerah di Jakarta yang dikatakan pusat kebudayaan Betawi yang masih bertahan hingga sekarang.

Festival Condet 2017 merupakan batu loncatan untuk merintis usaha bir pletok bermerek “Bir Pletok Peci Merah”. Niat awal dari merintis Bir Pletok Peci Merah adalah sekadar untuk meramaikan Festival Condet dua tahun silam di dekat rumah mereka.

Bir pletok di Festival Condet dua tahun silam tidak hanya dimiliki stand Ichsan dan teman-temannya. Untuk itu, ketiganya memodifikasi bir pletok buatan mereka agar lebih menonjol dibanding yang lain.

Bir pletok produk Bir Pletok Peci Merah dikemas layaknya soft drink. Foto: Kompas Corner UMN / Meiska Irena

Jika biasanya bir pletok dilihat sebagai minuman ‘kolot’ yang hanya bisa dinikmati di waktu-waktu tertentu saja, Ichsan dan teman-temannya mematahkan anggapan demikian melalui produk mereka. Mereka mengemas bir pletok Peci Merah layaknya soft drink.

“Kita pengen sesuatu yang baru. Jadi kita mau bikin bir pletok itu kayak semacam di kepala orang tuh dia kayak soft drink. Jadi dia bisa minum, dibawa kemana-mana. Olahraga segala macam,” tutur Ichsan, saat ditemui awal bulan Juni 2019, di Condet, Jakarta.

Ichsan melihat rasa rempah-rempah yang kuat di bir pletok kerap menyebabkan orang-orang enggan mencoba kembali bir pletok setelah sekali mencobanya. Untuk mengakali itu, dilakukan sedikit modifikasi terhadap bir pletok buatannya.

“Nah, kan selama ini orang minum bir pletok itu karena terlalu kuat rempahnya. Jadi nyobain, begini rasanya bir pletok, udah tinggal. Enggak mau nyoba buat yang kedua kali, ketiga kali gitu dalam satu waktu. Jadi kita modifikasi resepnya. Lebih soft, ringan lah rasanya,” jelas Ichsan.

Dalam jangka waktu tiga tahun, bir pletok Peci Merah sudah bisa membuka tiga cabang warung di sekitar Condet. Bahkan, Peci Merah kini tidak hanya beredar di wilayah Condet tetapi juga secara rutin membuka lapak di Car Free Day, Jalan Thamrin, Jakarta.

Bir pletok Peci Merah memiliki trik pemasaran yang berbeda. Alih-alih sekadar mengenakan pakaian sehari-hari biasa, keduanya memilih untuk tampil ‘All out Betawi’ dengan menambahkan atribut khas Betawi, seperti celana pangsi, gesper kopel, dan peci warna merah khas pemain silat Betawi.

Ichsan turut merevolusi cara menjual bir pletok ala mereka. “Cara menjualnya, kita bawa botol bir pletok. Biasanya di depan, teriak-teriak kita. Biasanya kita bawa tulisan. Dan lumayan hasilnya, dibandingkan dengan jualan bir pletok yang konvensional,” ungkap Ichsan.

Di Car Free Day, “Bir Pletok Peci Merah” mampu menjual hingga 300 botol dalam kurun waktu empat jam jika sedang ramai. “Kalau di sini kita sampai jam 10.00 kita bisa menjual 300 botol. Itu kalau lagi bagus, bagus itu maksudnya cuaca terik, enggak ujan, terus bukan akhir bulan,” katanya.

Nama peci merah tentunya diambil tidak dengan sembarang alasan. Percaya bahwa bir pletok memiliki beragam manfaat, Ichsan berharap siapa pun yang meminum bir pletok bisa sekuat jawara silat yang salah satu atribut seragamnya adalah peci berwarna merah.

“Peci merah itu identik dengan orang yang bisa silat. Nah kita pengin mengasumsikan kalo orang yang minum bir pletok itu orang yang bugar. Yang menjaga badannya gitu loh. Peci merah kan identik dengan pesilat yang rajin olahraga gitu ya. Jadi, pengin deketin temanya itu ke peci merah itu ya bagus untuk kesehatan, tapi di-branding dengan peci merah gitu. Dengan peci yang emang khusus buat pesilat,” kata Ichsan.

Tangkringan Bir Pletok Peci Merah di Jalan Condet Raya No. 75. Foto: Kompas Corner UMN / Meiska Irena

Bir pletok sudah berhasil mereka perkenalkan kembali ke masyarakat. Namun, mereka tidak cepat puas dengan hasil tersebut. Karena kini tidak hanya bir pletok yang ingin kembali dinaikkan namanya di masyarakat, tapi juga sajian-sajian kuliner khas Betawi lainnya, seperti sagon dan wajik.

“Kita bikin diversifikasi makanan. Jadi kita jual, kita coba perkenalkan produk lain, kayak makanan-makanan khas Betawi yang di-packaging, kayak geplak, wajik itu dulunya tuh kalo misalnya kita beli, itu besar-besar, senampan gitu yang harganya bisa Rp 150.000. Nah kita jual di sini seharga sepuluh ribu, kita bikin dikecilin, kita bungkus kayak permen gitu. Lumayan juga sih, banyak yang suka,” kata Ichsan. 

Ichsan tidak mengingkari adanya persaingan bisnis di tengah menjamurnya produk minuman khas masa kini. Namun, semangat mengangkat kembali kebudayaan tanah kelahiran mereka meyakinkan langkah mereka dalam berusaha.

“Kita enggak sekadar jualan, kita mengangkat budaya. Minuman kita bisa dibilang minuman kesehatan. Rempahnya banyak mengandung khasiat yang bagus buat tubuh. Kalo diminum setiap hari pun aman-aman aja, gak pake pengawet segala macem,” pungkas Ichsan.

 

PENULIS: Kompas Corner UMN / Meiska Irena Pramudhita

FOTO: Kompas Corner UMN / Meiska Irena Pramudhita