Singkong sudah sejak lama sering dimanfaatkan untuk membuat olahan makanan. Banyak manfaat bagi kesehatan dan kemudahan diolah membuat makanan yang berasal dari umbi-umbian ini populer di kalangan kuliner Nusantara.
Di Indonesia, banyak makanan tradisional yang menggunakan bahan dasar singkong. Salah satu yang masih eksis hingga kini adalah gembrung. Jajanan tradisional ini merupakan makanan khas dari Desa Slawe, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Daya tarik yang dimiliki Gembrung terletak pada rasanya yang manis legit hasil campuran singkong, gula pasir, dan gula merah, serta dikombinasikan dengan rasa gurih dari taburan parutan kelapa. Gembrung bisa dibeli di Pasar Sebo Slawe dengan harga Rp7.000,00-Rp10.000,00 untuk 1 gulung Gembrung.
Minggu, 14 Juli 2019, saya dan beberapa rekan berkesempatan mengunjungi Kampung Gembrung yang berada di RT 3 Desa Slawe. Di kampung inilah pusat produksi Gembrung berada. Biasanya, warga di sini mulai membuat gembrung ketika hendak memasuki hari pasaran Jawa, yaitu legi, pahing, dan wage. Gembrung baru diproduksi pada satu hari sebelum hari pasaran. Beruntung, saya dan rekan saya bertemu dengan Sumiati yang tengah membuat gembrung di rumahnya.
Sumiati (56) atau yang akrab disapa Mbah Legi sudah membuat gembrung sejak 30 tahun yang lalu. Mbah Legi mengatakan, resep gembrung sudah menjadi warisan di Desa Slawe dan diteruskan secara turun temurun. Resep tersebut sengaja diturunkan tanpa ada inovasi supaya tetap menjaga cita rasa gembrung.
Manual
Selain menggunakan bahan-bahan alami, proses pembuatan gembrung juga hampir tidak menggunakan teknologi apapun, selain alat penggiling singkong. Sisanya dilakukan secara manual dengan menggunakan tenaga manusia.
Resep gembrung cukup sederhana. Singkong yang telah direndam air kemudian dimasukkan ke mesin giling untuk diolah menjadi tepung. Kemudian, singkong yang telah menjadi tepung ditiriskan selama 1 jam untuk mengurangi kadar air. Setelah itu, diberi ragi, tepung kanji, gula merah, gula pasir, dan garam. Lalu, diaduk mengunakan tangan hingga merata. Setelah tercampur, adonan didiamkan selama tujuh jam hingga mengembang. Terakhir, adonan tadi dikukus selama sepuluh menit.
Yang menarik dari proses pembuatan gembrung adalah adanya ajaran moral di dalamnya. Saat hendak membantu mencampur adonan, Mbah Legi melarang kami untuk menggunakan tangan kiri. Kami hanya diperbolehkan menggunakan satu tangan untuk mencampur adonan. “Nanti tidak laku, Mbak,” ujar beliau ketika ditanyai alasan tidak boleh menggunakan dua tangan. Mbah Legi meyakini, membuat makanan seharusnya menggunakan tangan kanan karena tangan kanan diasosiasikan dengan tangan yang baik.
Meski dikenal sebagai satu-satunya penghasil gembrung, namun saat ini di Kampung Gembrung hanya tersisa sekitar tujuh pembuat gembrung dan sebagian besar sudah lanjut usia. Hal ini akibat dari kurangnya ketertarikan generasi muda untuk mempelajari proses pembuatan gembrung.
Mereka menganggap usaha yang dibutuhkan untuk membuat gembrung tidak sebanding dengan keuntungan yang akan didapat dari penjualannya. Dalam sekali produksi untuk satu hari pasaran, keuntungan yang didapat berkisar dari Rp 120.000- Rp150.000. Padahal, proses pembuatannya membutuhkan waktu yang tidak singkat, yaitu 9-12 jam.
Dapat dikatakan gembrung merupakan salah satu aset dari Desa Slawe ini. Namun, sedikitnya regenerasi produsen dan usaha pemasaran yang hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut membuat gembrung sulit untuk maju. Maka, dibutuhkan bantuan baik dari masyarakat sekitar maupun pemerintah untuk bersama-sama menjaga keberlangsungan produksi gembrung hingga masa mendatang.
Agresti Retno Sumantiyasmi, mahasiswa peserta KKN-PPM UGM 2019 Unit Watulimo, Trenggalek.
Wahhh .. hebat anak muda jaman sekarang
Comments are closed.