“Srimenanti” : Gaib, Kocak, dan Menginspirasi

0
2252

Srimenanti adalah novel pertama Joko Pinurbo. Demikian keterangan yang ada pada punggung buku. Jokpin, demikian sapaan akrab lelaki yang dikenal sebagai penyair. Ia belajar sastra sejak sekolah di bangku SMA. Kepenyairannya mulai dikenal setelah ia menerbitkan kumpulan puisi Celana (1999). Selain itu, ia juga handal memproduksi cerita pendek, hingga tak sedikit karyanya dimuat dalam banyak media massa.

Perjumpaan di pagi yang basah antara si penyair dengan seorang perempuan muda membuka kisah awal novel ini. Imaji visual itulah yang secara eksplisit merupakan penggambaran dari puisi Sapardi Djoko Damono “Pada Suatu Pagi Hari”.

Intuisi saya mengatakan, perempuan yang berpapasan dengan saya di lorong sepi pagi tadi berasal dari sejak itu (hal. 2). Perempuan itu adalah Srimenanti, dan diceritakan senang melakukan “ibadah melukis”. Sedangkan sang penyair adalah wujud dari penulis sendiri, yakni Joko Pinurbo.

Kisah mereka digambarkan secara berbeda dan bergantian, tetapi tetap dalam satu konteks cerita. Kedua-duanya punya persoalan yang berbeda tetapi kemudian dipertemukan dalam satu gagasan untuk bisa merawat asa dengan tetap mencintai hidup ini.

Secara umum novel ini banyak diramu oleh penggalan puisi Sapardi dan Joko Pinurbo sendiri sebagai penulis. Maka jangan terkejut jika pembaca akan menemukan rangkain cerita yang mengalir dari puisi ke puisi. Puisi di sini begitu diagungkan dan di tampilkan sangat hidup.

Seringkali justru penggalan puisi yang ditampilkan lebih banyak menghadirkan imaji visual dan auditif kepada pembaca ketimbang narasi di luar puisi. Puisi-puisi itulah yang secara tidak langsung menjadi ruh dalam cerita Srimenanti. Kendati demikian, tidak diragukan pula bahwa secara keseluruhan permainan kata yang ada cukup nakal dan sungguh gemilang melahirkan situasi yang optimal bagi pembaca.

Untuk selanjutnya, pembaca akan menyadari betapa penulis dengan masifnya mengajak pembaca untuk percaya kalau “puisi itu menghaluskan jiwa” (hal. 80). Beberapa ungkapan, semisal, “puisi lebih mujarab”, “sebagai sekutu puisi”, “menunaikan ibadah puisi”, adalah cara penulis meninggikan harkat dan derajat puisi.

Namun, tentang bagaimana kita bisa atau tidaknya memaknai suatu puisi tetaplah kembali pada situasi, pengalaman, dan wawasan masing-masing pembaca. Misalkan saja pada satu fragmen dalam buku ini, di bagian sang penyair dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh tokoh Marbangun bersama dengan serombongan pemuda karena ada baris puisinya yang berbunyi Rayakanlah setiap rejeki dengan ngopi agar bahagia hidupmu nanti (hal.79).

Padahal penggalan puisi itu lebih merupakan guyonan sederhana dalam keseharian hidup manusia, tetapi sekaligus kritik pedas betapa dunia kita sekarang ini sudah terindikasi darurat tertawa. Seperti halnya sibuk mempersoalkan ideologi dan kepercayaan.

Jokpin banget

Buku cerita ini bisa dikatakan sebagai wujud pengembangan beberapa karya Jokpin lainnya. Karya cerpennya seperti Ayat Kopi yang telah dimuat di Harian Kompas, pada faktanya ikut mengisi fragmen-fragmen dalam buku ini. Aneka puisinya yang tak asing dari kata-kata, semisal, celana, kamar mandi, kulkas, dan kopi.

Kata-kata itu juga tidak luput memberi kenangan pada buku puisinya: Selamat Menunaikan Ibah puisi (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016), Buku Latihan Tidur (2017). Semuanya itu seperti hidup kembali dan ikut memberi cita rasa pada novel ini.

Selain hal diatas, kita juga bisa menemukan sesuatu yang Jokpin banget, yaitu tentang sesosok laki-laki tanpa celana alias eltece dengan darah mengental di ujung kelaminnya dan seringkali merintih sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal!. Peran eletece dalam novel ini cukup kuat.

Dalam banyak kesempatan, eltece dimunculkan sebagai jalan mengurai masalah beberapa tokoh. Ia irit kata, tetapi dikisahkan memiliki daya ubah yang efektif dalam perspektif yang gaib, sederhana, dan lucu. “Pada suatu malam orang-orang di warung Bu Trinil geger melihat Marbangun berlari kencang sambil berteriak-teriak minta tolong seperti sedang dikejar seorang. Katanya dia mau ditangkap eltece. Orang-orang bingung karena tidak melihat sosok yang memburunya” (hal. 92). Ternyata eletece itu cuma mau memberikan dompet Marbangun yang dia temukan di depan ATM (hal.93).

Hampir seluruh tokoh yang ada dalam novel ini ternyata dapat dijumpai di dunia nyata,. Beberapa tokoh tersebut antara lain, seperti Beni Satryo, Nasirun, Seno Gumira Ajidarma, Djaduk Ferianto dan Faisal Odang. Ibarat film, mereka hadir sebagai cameo memerankan diri sendiri.

Demikian, penulis memberi ruang yang cukup luas untuk menghidupkan kembali gagasan-gagasan mereka sembari juga mempromosikan karya-karya mereka kepada pembaca lewat setiap adegan cerita. Nasirun mencoba menyemangati siswa-siswi yang masih gamang untuk menekuni hobi melukis dengan berpesan, “kalau mau melukis, melukis saja. Tidak usah mikir yang rumit-rumit. Semuanya bisa dipelajari sambil jalan. Melukis itu intinya mewarnakan gerak-gerik dan suasana jiwa.” (hal. 15).

Alih-alih nasehat Nasirun itu telah menjawab persoalan yang ditampilkan pada punggung buku ini, yakni soal kegemaran orang bermain label dan stigma. Hal serupa dapat kita jumpai lewat film Avengers: Endgame yang menampilakn beberapa cameo, seperti Stan Lee dan Jarvis.

Sajian novel ini tidak secara gamblang mengisahkan situasi dan konflik yang mengarah pada klimaks. Pembaca diharuskan ekstra teliti dalam menyambung sendiri kaitan antara fragmen yang satu dengan fragmen yang lain. Kendati demikian, penulis tetaplah piawai memainkan kata, sebagaimana yang tertulis dalam buku ini bahwa tokoh Sang Penyair yang merupakan Jokpin sendiri dikisahkan akan dan sudah menjadi pemain kata.

Model tulisan dan pusinya sangat reflektif dan kontemplatif. Acuannya lebih banyak dari hal-hal sederhana dalam keseharian hidup manusia, yang diolahnya menjadi gagasan yang lebih lucu, ironi dan kadang menyentil. Misalnya gagasan tentang senja, tatkala sang penyair mengatakan barangkali senja adalah sebuah firman visual bahwa tak ada sesuatu yang tak berakhir.

Ketika esok harinya fajar rekah, itu artinya tak ada sesuatu yang tak bisa dimuali kembali (hal 50). Buah pikiran tentang senja sebenarnya juga pernah diinspirasikan oleh Seno Gumira secara berbeda dalam buku Negeri Senja. Di situ senja statis dan berpuluh-puluh tahun ada terus senja itu.

Beda Holy Septianno, siswa SMA Seminari Mertoyudan Magelang