Pernahkah kita pada suatu hari menjadi bete karena hal-hal berikut, bangun kesiangan saat akan berangkat sekolah atau kuliah, tidak sempat sarapan, kemudian keluar dari rumah langsung terjebak kemacetan, sampai di sekolah dihukum guru hormat kepada bendera merah putih sampai pulang sekolah karena telat (kejam banget gurunya ya?), trus abis pulang sekolah masih ada kesialan-kesialan yang menimpa kita pada hari itu. Mungkin contoh diatas terlalu ekstrim, tetapi tidak menutup kemungkinan hal tersebut menimpa diri kita.
2000 tahun yang lalu, para filsuf (pemikir) dari Yunani bertanya-tanya “sebenarnya apa yang membuat manusia itu bahagia?” Akhirnya, para filsuf menemukan jawabannya dan merumuskannya dalam bentuk Filsafat Stoa.
“Lho, sebentar, emang masih update pemikiran 2000 tahun yang lalu? udah jadul kali….” Sebentar, kita jangan memandang buruk dulu mengenai filsafat. Mungkin dalam pemikiran kita, filsafat itu ilmu yang mengawang-ngawang dan sulit ditelaah. Ya itu ada benarnya juga untuk beberapa aliran filsafat, tetapi yang ini beda. Filsafat Stoa merupakan sebuah jalan hidup, way of life yang sangat relevan untuk zaman sekarang.
Filsafat Stoa mengusung kebahagiaan yang bagi sebagian orang tidak lazim. Kebahagiaan mungkin identik dengan duit yang banyak, jadi orang sukses, punya keluarga yang bahagia, tiap bulan liburan, dan semacamnya yang pasti berkaitan dengan material.
Ketika kita bisa mengendalikan apa yang dinamakan emosi negatif tersebut, kita bisa mencapai kebahagiaan
Para Stoic (penganut Filsafat Stoa) mengatakan dalam bahasa Yunani bahwa kebahagiaan adalah ataraxia (A=tidak, tarassein=bermasalah). Dari kata tersebut kita dapat melihat bahwa kebahagiaan itu tidak memiliki masalah (untroubled). Dalam bahasa yang lain, dapat disebut juga dengan apatheia (a=tidak, pathos=menderita). berarti, apatheia dapat berarti bebas dari penderitaan.
“Lalu, kebahagiaan itu apa?” Bagi filsuf Stoic, kebahagiaan adalah bebas dari emosi-emosi negatif, seperti amarah, rasa iri, bete, dan masih banyak lagi. Menurut mereka, emosi-emosi negatif itu asalnya dari manusia sendiri dan hanya manusia itulah yang bisa mengendalikannya sendiri. Ketika kita bisa mengendalikan apa yang dinamakan emosi negatif tersebut, kita bisa mencapai kebahagiaan.
Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring menjadi solusi bagi Anda untuk belajar mengendalikan emosi negatif tersebut. Dengan bahasa gaul yang mudah dimengerti dan ilustrasi yang sangat epik, Henry Manampiring menjelaskan Filsafat Stoa (biasa disebut dengan filosofi teras) dalam bukunya ini.
Dalam buku ini Henry menjelaskan beberapa hal yang menjadi dasar Filsafat Stoa seperti dikotomi kendali, yakni membedakan dan mengelompokan hal-hal apa saja yang ada dalam kendali saya dan hal-hal apa saja yang ada di luar kendali saya. Bagi Anda yang mungkin sudah memiliki anak, buku ini juga mengajarkan bagaimana mendidik anak ala aliran filsafat yang sudah berusia lebih dari 2000 tahun ini
Jadi bagaimana, tertarik untuk membacanya?
Feliks Erasmus Arga, Magangers Kompas Muda Harian Kompas Batch X, Siswa SMA Seminari Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah
Comments are closed.