Berawal dari secangkir kopi yang tak sengaja tersenggol hingga tumpah membasahi kanvas, Arya Setra dengan sentuhan ajaibnya berhasil menciptakan sebuah lukisan abstrak dari air kopi yang ternyata banyak diminati karena keunikannya. Pria asal Bandung ini pun kemudian mencetuskan komunitas Indonesia Kopi Arts yang mengumpulkan sejumlah pelukis dari berbagai daerah untuk melukis dengan kopi sejak Agustus 2018.
Arya sendiri awalnya tergabung dalam komunitas kopi “KOKOPI” dan dipercaya menjadi ketua bidang industri kreatif kopi. Dalam salah satu acara, Arya memperkenalkan salah satu lukisan kopinya. Mendapat cukup banyak perhatian dan apresiasi, Arya berniat mengembangkannya dengan membentuk suatu komunitas pelukis dari kopi. Awalnya, komunitas ini diberi nama Jakarta Kopi Arts. Namun, karena banyak anggotanya yang berasal dari berbagai penjuru daerah, akhirnya ia memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Indonesia Kopi Arts.
“Dinamakan Indonesia KOPI Arts, bukan Coffee, karena kopi adalah nama asli Indonesia dan saya ingin memperkenalkan kepada orang-orang luar kalau tulisan KOPI itu identik dengan Indonesia,” tuturnya.
Kopi Nusantara
Pria yang telah melukis sejak SD ini mulai serius terjun ke dunia seni lukis sejak tahun 2000-an. Ditemani secangkir kopi, tangannya terus menari di atas kanvas dan menghasilkan berbagai lukisan yang umumnya bergaya surealistik. Berawal dari keisengannya yang melanjutkan melukis dari kanvas yang ditumpahi kopi tersebut, ia menyadari lukisan dari kopi merupakan suatu bentuk seni baru untuk memperkenalkan kopi Indonesia.
“Kami di sini ingin memperkenalkan kopi nusantara melalui medium yang berbeda, yaitu lukisan,” ujar Arya sambil tersenyum bangga menatap salah satu lukisan karyanya.
Melukis dari kopi tidak semudah melukis dengan cat biasa. Kopi jauh lebih rumit, warnanya tipis dan mudah pudar. Seperti yang dialami salah satu pelukis anggota Indonesia Kopi Arts, Gus Sofyan. Ia mengaku, pertama kali melukis menggunakan kopi, hasilnya tak seindah yang ia bayangkan.
Berbagai percobaan pun mulai ia lakukan untuk mendapat tekstur kopi yang seperti cat, pekat dan tidak mudah pudar. Mulai dari mencampurnya dengan lem kayu, merebus kopi dengan cara tertentu, hingga akhirnya menemukan perbandingan dan metode yang tepat. Dengan menggunakan kopi Robusta asal Lampung, ia menghabiskan sekitar dua kilogram kopi untuk melukis di atas kanvas berukuran 60×50 cm.
Harga lukisan sangat ditentukan oleh daya imajinasi dan daya apresiasi seni bagi penikmatnya. Bagi orang yang daya apresiasi seninya tinggi, harga lukisan dapat mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Namun, menurut pria asal Kebumen, Jawa Tengah ini, masih banyak orang yang kurang menghargai seni. Mereka tidak rela membayar mahal untuk lukisan yang dibuat dengan jerih payah para seniman.
“Modalnya lumayan. Kopi, kanvas, frame. Belum lagi waktu dan tenaga yang diluangkan untuk melukis karya itu sendiri,” jelas Gus.
Mencari inspirasi untuk menemukan ide-ide baru dalam melukis juga merupakan tantangan tersendiri. Gugun, yang diajak Arya bergabung dalam Indonesia Kopi Arts ini terkadang merasa pusing ketika sedang buntu dan tidak mendapat ide untuk melukis. Namun, dirinya selalu ditemani secangkir kopi yang membantunya mendapatkan inspirasi.
“Melukis sambil minum kopi, sudah pasti. Kopi menjadi kebutuhan, setiap melukis harus ada kopi,” tutur Gugun.
Tantangan lain dalam komunitas ini adalah sulitnya bertemu langsung antar anggota yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang profesi yang berbeda. Di antara lebih dari dua puluh anggota, Arya, Gus, dan Gugun adalah pelukis yang paling sering berkumpul karena domisili mereka yang berdekatan. Mereka pun kemudian dijuluki Trio Kopi Arts.
“Untuk kedepannya, semoga kita bisa lebih banyak mengenal kopi Indonesia dan siap memperkenalkannya melalui media lukis. Jadi, kopi tidak hanya bisa dinikmati oleh lidah, tetapi juga dengan mata melalui berbagai macam lukisan kopi yang indah,” tutup Arya.
PENULIS: Kompas Corner UMN / Verren Christy
FOTO: Kompas Corner UMN / Verren Christy
EDITOR: Kompas Corner UMN / Meiska Irena P.