Sering kali terdengar bahwa mayoritas adalah pemenang dan minoritas adalah korban. Namun tidak pada kisahku kali ini.
Ya.. saya seorang Muslim. Mungkin kaum Muslim di Indonesia merupakan kaum mayoritas, namun bukan itu yang ingin saya ceritakan pada kesempatan kali ini. Saya seorang Muslim yang dituntut dan tak punya pilihan lain karena orang tua sudah memutuskan untuk saya masuk di sebuah kampus perguruan tinggi Kristen di kota kecil yang ada di Jawa Tengah yang berjulukkan kota toleran. Nah.. menurut kalian kampus apakah itu?
Ya.. kampus yang aku masuki ialah Universitas Kristen Satya Wacana yang ada di sebuah kota yang bernama kota Salatiga. Pertama yang terlintas dalam pikiranku pada saat mendengar nama kampus sudah pasti aku akan menjadi yang paling berbeda. Lantas aku harus bagaimana? Haruskah ku mengiyakan apa yang menjadi kehendak orangtuaku?
Aku merasa penuh dengan keraguan harus bagaimana..? Karena kita tak pernah sepemikiran. Mereka selalu beranggapan jika nanti aku sakit dan kami beda kota siapa yang akan mengurusku? Lalu siapa yang mengawasiku dalam bergaul?
Ya.. sebenarnya kalaupun aku di Salatiga, toh kami juga beda kota, namun ada nenekku yang menetap di Salatiga. Itu yang membuat orangtua selalu beranggapan paling tidak ada keluarga disana.
Sebenarnya aku selalu terobsesi ingin tinggal di sebuah kota yang tidak ada kerabat yang tinggal disana, karena aku selalu berpikir dengan begitu aku bisa benar-benar menjadi pribadi yang mandiri. Selain itu, aku sebenarnya sedikit bosan karena selama aku menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) aku sudah harus tinggal dengan nenekku di kota kecil tersebut.
Sebuah Keputusan
Hal ini berhubungan dengan keputusan apa yang harus aku ambil. Apakah aku harus pasrah mengikuti keinginan orang tua atau aku harus nekat dengan apa yang ku inginkan?
Ya.. akhirnya aku memutuskan untuk menuruti apa yang sudah menjadi keputusan orangtuaku. Karena aku selalu berfikir bahwa apa yang dilakukan tanpa adanya izin orangtua tidak akan berjalan dengan baik. Akhirnya aku pun mendaftarkan diri di kampus tersebut dengan bantuan pihak sekolah.
Takut menghadapi
Setelah apa yang selama ini aku takuti harus ku hadapi. Apakah aku nanti akan menjadi yang berbeda diantara yang sama? Apakah aku nanti akan dikucilkan? Apakah aku akan memiliki hak yang sama dengan kaum mayoritas yang ada disana?
Ya.. hal itu yang selalu ada didalam otakku. Namun seiring berjalannya waktu, apa yang selama ini ku takuti dan selalu ku pikirkan tidaklah benar. Karena disanalah aku menemukan indahnya perbedaan yang sesungguhnya. Aku bertemu teman-teman berbagai suku, budaya dan yang pasti beda agama yang selalu menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa memandang bahwa kami tidak sama.
Pihak kampus pun tak pernah membeda-bedakan, mengucilkan atau bahkan tak memberi hak yang sama kepada kami kaum Muslim minoritas di kampus Kristen. Meski kami minoritas, namun kampus juga memberi kami tempat ibadah untuk kami. Selain itu kami juga merasakan pelayanan yang sama baiknya dengan mahasiswa beragama lain.
Saya bersyukur. Dengan adanya kejadian seperti ini yang awalnya dari sebuah paksaan dari orang tua bisa membuat saya merasakan toleransi yang sesungguhnya dan memberikan pengalaman hidup yang mungkin tak terlupakan untuk saya. Karena perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup bersama dan tak perlu merasa saling terganggu.
Tya Ayu Pransiska Dewi, mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah