Gelora Relawan Muda : Dekonstruksi Rupa Pendidikan Indonesia

0
585

” indonesia butuh lebih banyak generasi dengan pemikiran terbuka. BUKAN LAGI MASANYA BERGANTUNG, KITA MESTI BERJUANG”

Halo Sobat Muda !

Familier dengan wajah-wajah yang ada dalam foto diatas? Ada yang tahu mereka itu siapa? Yapp betul! Mereka adalah relawan muda Saturday Academy yang bertempat di Jl. Karang Hijau 2 Kalibaru Timur, Cilincing, Jakarta Utara.

Pada  Minggu (28/4/2019) lalu aku berkesempatan mengunjungi Saturday Academy Cilincing yang tengah mengadakan acara perayaan hari Kartini. Perayaan hari Kartini yang berlangsung secara sederhana itu menampilkan tari-tarian, musikalisasi puisi, persembahan lagu dari relawan serta sesi bercerita tentang sosok R.A. Kartini.

Saturday Academy adalah bagian dari program HOPE Worldwide Indonesia dalam bidang pendidikan. Sementara program lainnya dalam bidang yang sama yaitu taman kanak- kanak, terampil digital, pelatihan bahasa Inggrisdan CBDRR (Community Based Disaster Risk Reduction). 

” Awalnya karena ambisi pribadi, melihat lingkungan di sini yang kurang sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Lama-kelamaan saya merasa ini panggilan dari hati saya yang paling dalam,” tutur Jana (23) Koordinator SA 1 Cilincing yang sudah menjadi  relawan selama empat tahun.

HOPE Worldwide Indonesia adalah organisasi non-profit (LSM) yang didirikan pada tahun 1994 dan terdaftar pada Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat pada tahun 1998. Organisasi ini menjadi bagian dari organisasi internasional Hope Worldwide yang berpusat di kota Philadelphia, Amerika Serikat.

HOPE memiliki beberapa program seperti panti asuhan, beasiswa gratis, klinik gratis, kursus komputer gratis, penanggulangan bencana dan sudah melayani sekitar satu juta orang yang tersebar di 70 negara di seluruh dunia.

Relawan HOPE yang ada di Saturday Academy itu rata-rata berusia 13 tahun hingga 19 tahun. Meskipun usia mereka masih muda tetapi mereka telah dibekali ETP ( Educator Training Programme ) sehingga dapat disetarakan dengan guru pada umumnya.

“Berawal dari ikut organisasi tentang anak, kemudian jadi Ketua Forum Anak Kota Tangerang 2017, saya jadi jatuh cinta sama anak-anak,” ujar Rizky Adi Pratama (19) Koordinator  SA Kota Tangerang.  Ia sudah menjadi relawan selama tiga tahun.

Bersama dengan koordinatornya masing-masing Saturday Academy juga memiliki kegiatan di luar program yang diberikan oleh HOPE Worldwide Indonesia sesuai dengan minat bakat dan kreatifitas siswa-siswi di masing-masing Saturday Academy.

Indra Kurniawan (24) Koordinator SA Tanah Merah, Jakarta Utara dan Rizky Adi Pratama (19) Koordinator SA Kota Tangerang. Foto : Nita Khoerunnisa

Indra Gunawan (24), Koordinator SA 2 Cilincing yang sudah setahun menjadi relawan menyatakan terjun menjadi relawan karena ingin beramal. ” Saya ingin beramal tapi enggak punya banyak uang, Agama saya mengajarkan berbagi ilmu itu sudah termasuk beramal. Maka keinginan beramal itu adalah alasan utama saya menjadi relawan HOPE,kata Indra Kurniawan.

Memilih menjadi relawan bukan pilihan mudah, bahkan rintangan juga muncul dari orang tua siswa-siswi yang kurang peduli kepada pendidikan anak-anaknya. Motivasi yang kuat, semangat, dan ambisi untuk menyadarkan lingkungan tentang betapa pentingnya pendidikan bagi generasi bangsa menguatkan hati dan langkah mereka.

Selain lingkungan tempat mereka mengajar yang masih belum sepenuhnya sadar akan pendidikan, orang tua para relawan pun kadang-kadang memberi pendapat kurang mengenakkan atas apa yang dikerjakan oleh anak-anak mereka. Lagi-lagi pangkal pertanyaan terletak pada, untuk apa mengajar jika tidak dibayar .

Muhammad Ayub (16) siswa SMAN 52 Jakarta, Monica Djumadi  (17) siswi SMAN 110 Jakarta dan Gading Arya (16) siswa SMAN 73 Jakarta. Foto : Nita Khoerunnisa

Diantara para relawan ada Monica Djumadi (17). Siswi SMAN 110 Jakarta ini sudah bergabung menjadi relawan di SA selama lima tahun loh. Berbicara tentang tantangan yang ia dan kawan-kawan rasakan, Monica berharap,”Semoga kedepan masyarakat dapat berpikiran lebih terbuka lagi agar anak-anak dapat merasakan pendidikan yang telah diupayakan oleh pemerintah,”.

Sedangkan untuk HOPE ia mengharapkan organisasi itu terus membawa harapan dan perubahan bagi anak-anak Indonesia. Harapan itu tepat karena di peringatan hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2019, pendidikan Indonesia hanya menempati peringkat ke 5 dibawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Untuk tingkat dunia, laporan PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2015 menempatkan Indonesia pada peringkat ke 62 dari 72 negara di dunia.

Harapan sama seperti disuarakan Monica datang dari Muhammad Ayub (16), siswa SMAN 52 Jakarta. Ayub sudah menjadi relawan selama tiga tahun.  “Semoga masyarakat lebih terbuka dengan adanya HOPE sehingga kami sebagai relawan dapat membantu masyarakat lebih maksimal lagi,” kata Ayub.

Model perbankan

Relawan muda dengan kegiatan-kegiatan di Saturday Academy sedikit mengingatkanku tentang tidak relevannya pendidikan dengan model perbankan hari-hari ini.

Model perbankanberasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah barang yang bisa ditransfer dari guru kepada muridnya. Model tersebut menempatkan murid sebagai ruang kosong yang mesti diisi oleh pemahaman dan pengetahuan tanpa diberi penjelasan komprehensif mengenai fungsi teori pendidikan secara implementatif dalam kehidupan.

Model itu jelas membatasi kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan minat dan potensi keilmuan yang dimiliki, karena segala pemahaman dan pengetahuan telah ditentukan oleh pendidik, sistem pendidikan serta kurikulumnya.

“Semoga akan ada lebih banyak lagi generasi bangsa dengan wawasan yang luas dan pemikiran yang kritis. Untuk HOPE ? Semoga akan ada lebih banyak relawan muda yang dengan sepenuh hati bergabung dan membantu anak-anak disini,” ujar Gading Arya (16) siswa SMAN 73 Jakarta yang menjadi relawan selama empat tahun.

Menurut aku, selain itu Indonesia juga butuh peningkatan kesadaran. Bukan hanya sekedar kesadaran naif sebatas mengerti namun tidak bisa menganalisa persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur yang mendukung suatu problem sosial. Tetapi juga kesadaran bepikir kritis.

Relawan muda semakin banyak bermunculan, esensi pendidikan kembali dikuatkan, dekonstruksi wajah pendidikan terus dilakukan. Maka optimisme dan semangat perubahan dari diri kita sebagai generasi bangsa adalah jawaban atas wajah pendidikan Indonesia di masa depan.

Nita Khoerunnisa, magangers Kompas Muda Harian Kompas Batch X/Ekamatra