Kurang dari sebulan lagi umat Muslim akan menyambut bulan penuh berkah, bulan Ramadhan yang puncaknya adalah hari raya Idul Fitri. Tak sedikit orang menantikan bulan penuh berkah ini. Keimanan umat Muslim biasanya akan meningkat di bulan Ramadhan, namun bukan hanya keimanan saja yang meningkat, tetapi kebutuhan hidup juga ikut meningkat, terutama kebutuhan makanan dan minuman.
Pedagang makanan menjelang berbuka puasa bertaburan di mana-mana, pedagang minuman menghiasi trotoar jalanan. Jalanan yang biasanya sepi akan pedagang seketika berubah seperti menjadi bazar makanan dan minuman. Sehingga kenaikan harga barang saat menjelang bulan Ramadhan sampai dengan saat menjelang Hari Raya Idul Fitri, bak fenomena tahunan yang kerap terjadi di Indonesia. Lalu, kenapa harga-harga bisa ikut naik?
Kenaikan harga barang ketika bulan Ramadhan ini terjadi karena meningkatnya kebutuhan akan makanan dan minuman yang tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah pasokan yang disediakan untuk diperdagangkan ke masyarakat. Secara hukum ekonomi, ketika permintaan yang dibutuhkan rumah tangga (masyarakat) melebihi penawaran maka harga keseimbangan di pasar akan naik di atas harga biasanya.
Nafsu dan “budaya tahunan” adalah yang menyebabkan kebutuhan makanan dan minuman meningkat
Bagaimana bisa kebutuhan akan makanan dan minuman meningkat sementara saat bulan Ramadhan umat Muslim hanya makan sehari dua kali dibandingkan biasanya, sehari tiga kali atau bahkan lebih?
Nafsu dan “budaya tahunan” adalah yang menyebabkan kebutuhan makanan dan minuman meningkat. Ketika kebutuhan akan makanan dan minuman naik, maka bahan-bahan makanan dan minuman (sembako) harganya akan beriring naik juga. Hal ini berefek tidak hanya kepada umat Muslim yang melaksanakan ibadah puasa saja, namun semua masyarakat di Indonesia baik yang Muslim ataupun tidak akan merasakan fenomena tahunan ini.
Nafsu, salah satu penyebab kenaikan harga bahan-bahan pokok ketika bulan Ramadhan. Karena ketika berpuasa biasanya orang akan cenderung memiliki keinginan untuk menyantap makanan lezat dan minuman yang menyegarkan ketika berbuka puasa. Akibatnya saat makan malam yang biasanya cukup dengan satu menu sayuran dan satu atau dua lauk, namun ketika puasa, berbuka puasa tidak cukup hanya dengan satu menu sayuran dan satu atau dua lauk.
Harus ada kue atau gorengan sebagai hidangan pembuka atau makanan ringan seperti mie dan yang lain sejenisnya. Lauknya yang biasanya cukup dengan tahu atau tempe, namun saat bulan Ramadhan kedua lauk itu menjadi tidak cukup, harus ada daging ayam, telur atau daging sapi.
Biasanya saat makan cukup hanya dengan minuman berupa air putih atau teh manis, namun saat puasa harus ada es buah, es campur atau jenis-jenis minuman manis lainnya yang menyegarkan. Bisa ditebak pada akhirnya harga bahan pokok untuk membuat makanan dan minuman tersebut seperti telur ayam, gula, daging ayam, daging sapi, dan bahan pokok lainnya melonjak naik dari harga biasanya.
“Budaya tahunan”, penyebab kedua naiknya harga-harga barang terutama bahan pokok saat bulan Ramadhan. Karena terbiasa menuruti nafsu setiap bulan Ramadhan untuk membeli atau membuat lebih banyak makanan dan minuman dari biasanya, maka setiap tahun ketika bulan Ramadhan datang kebutuhan juga meningkat.
Seakan-akan ada sesuatu yang kurang jika saat bulan Ramadhan makanan dan minuman tidak lebih “mewah” dari biasanya sehingga terciptalah “budaya tahunan“ ini. Setiap tahun fenomena ini selalu terjadi, seolah-olah kita tidak pernah belajar dari masa lalu. Keledai saja tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Maka bagaimana cara menghentikan fenomena ini?
Harus cerdas
Jika kita kembali ke hukum ekonomi yang menyatakan harga akan naik ketika permintaan (kebutuhan masyarakat) lebih tinggi daripada penawaran. Maka ada dua peran penting di sini, yaitu peran masyarakat dari sisi permintaan dan peran pemerintah dari sisi penawaran.
Tidak semata-mata ketika terjadi kenaikan harga bahan pokok yang menjadi kambing hitam adalah pemerintah. Tentu masyarakat juga memiliki peran penting di sini. Masyarakat harus lebih cerdas dan bijaksana dalam mengontrol kebutuhannya saat bulan Ramadhan, ingat yang dibutuhkan ketika bulan Ramadhan adalah meningkatkan iman bukan meningkatkan jumlah makanan.
Memasak atau membeli makanan dan minuman secukupnya saja. Jangan jadikan “bermewah-mewah” makan dan minum saat bulan Ramadhan sebagai “budaya tahunan” jika ingin fenomena tahunan ini tidak terus meneurus terjadi. Pemerintah harus mampu memastikan kecukupan kebutuhan ketika bulan Ramadhan melalui regulasi yang diperlukan untuk meningkatkan angka penawaran sehingga angka permintaan tidak melebihi angka penawaran. “Pedagang nakal” yang mampu mengontrol harga pasar harus bisa ditangani oleh pemerintah agar harga barang di pasar tetap stabil.
Jumlah permintaan akan kebutuhan pokok pasti akan mengalami peningkatan ketika bulan Ramadhan, mengingat jumlah umat Muslim mayoritas di Indonesia. Namun dengan mengontrol kebutuhan akan sangat membantu menekan peningkatan angka permintaan di pasar. Memang permintaan bahan pokok meningkat, namun peningkatannya tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Harus bekerjasama
Tentu hal itu juga harus diimbangi dengan peningkatan jumlah pasokan bahan pokok makanan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan pemasok bahan pokok, sehingga angka penawaran di pasar dapat mengimbangi angka permintaan dan peningkatan angka permintaan tersebut tidak dibutuhkan peningkatan penawaran yang terlalu besar karena permintaan yang telah terkontrol oleh masyarakat.
Pada dasarnya jika masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama untuk menanggulangi fenomena tahunan ini, maka kenaikan harga pokok yang sering tak terkendali bisa saja tidak terulang setiap tahun.
Hanya ada dua pilihan yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat yang cerdas, belanja secara bijakasana selama bulan Ramadhan atau mempersiapkan ekonomi yang lebih selama bulan Ramadhan.
Junaidi Hamid, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
Comments are closed.