Darurat Kesehatan Mental Generasi Z

0
14723

Ada istilah yang datang dari Barat sana. Bunyinya, “Live while we’re young!” atau dapat diartikan “nikmatilah hidup selagi kamu muda!” dalam Bahasa Indonesia. Merujuk pada istilah itu, berarti anak-anak muda diasumsikan sebagai kelompok manusia yang bisa banyak bersantai dan bersenang-senang  ketimbang para orang dewasa. Mungkin, bisa juga berangkat dari stigma kalau semakin tua, masalah manusia semakin banyak. Maka itu, ketika masih muda, atau dengan kata lain ketika masalah hidup masih sedikit, hidup harus dinikmati sebanyak-banyaknya.

Entah istilah itu yang salah atau zaman sudah berubah, rupanya kondisi psikologis dan kesehatan mental anak-anak muda tidak sebaik anggapan banyak orang.  Menurut penelitian American Psychological Association (APA) tahun 2018 berjudul “Stress in America: Generation Z”, anak muda usia 15 sampai 21 tahun adalah kelompok manusia dengan kondisi kesehatan mental terburuk dibandingkan dengan generasi-generasi lainnya.

Mereka adalah generasi Z, atau yang diartikan Taylor & Keeter (2010) sebagai orang-orang yang lahir pada tahun 1993 sampai tahun 2005. Adapun dari lima kelompok generasi lainnya yaitu silent generation, baby boomers, generation X, dan millennials, generasi Z merupakan golongan termuda.

Penelitian yang dilakukan APA tersebut melibatkan wawancara dengan 3500 terwawancara berumur 18 tahun ke atas, dan 300 wawancara dengan terwawancara usia 15 sampai 17 tahun.

Menurut penelitian APA tersebut, diperoleh hasil bahwa sebanyak 91 persen generasi Z mempunyai gejala-gejala emosional maupun fisik yang berkaitan dengan stres, seperti depresi dan gangguan kecemasan. Stres adalah faktor terbesar penyebab buruknya kesehatan mental generasi Z.

Peningkatan angka bunuh diri, peningkatan laporan kasus kekerasan dan pelecehan seksual, hingga pemanasan global dan perubahan iklim adalah beberapa faktor pemicu stres generasi Z

Stres yang dialami banyak orang dalam generasi Z disebabkan oleh beberapa hal. Peningkatan angka bunuh diri, peningkatan laporan terhadap kasus kekerasan dan pelecehan seksual, hingga pemanasan global dan perubahan iklim adalah beberapa faktor pemicu stres generasi Z. Isu-isu tersebut bisa menjadi persoalan tersendiri bagi individu-individu dalam generasi Z akibat tingginya aksesibilitas informasi bagi generasi Z.

Selain generasi Z, tidak ada satu generasi pun yang tinggal di era dimana mereka bisa dengan mudah bersentuhan akrab dengan teknologi pada usia yang sangat muda (Prensky, 2001). Hal itu menyebabkan berinteraksi di dunia yang terkoneksi sepanjang waktu adalah hal yang sangat biasa dan familiar untuk generasi Z.

Sebuah survey tentang penggunaan media dilakukan kepada 2000 orang generasi Z usia 8-18 tahun. The Rideout, Foehr, and Roberts untuk Kaiser Family Foundation (2010) melaporkan bahwa dalam sehari, generasi Z menghabiskan hampir 8 jam untuk beraktivitas dengan perangkat multimedia elektronik.

Tidak mengherankan, bukan? Coba ingat-ingat, dalam waktu satu jam, berapa kali kamu merogoh saku untuk mengecek ponsel pintarmu? Waktu makan siang tadi, apakah sepenuhnya kamu gunakan untuk menyuap nasi? Atau jangan-jangan, lebih banyak kamu habiskan untuk ber-medsos?

Setelah tekanan kehidupan, generasi Z juga merasakan stres akibat informasi-informasi tak terbendung yang beredar di sekitarnya. Banyaknya jumlah media massa yang berbasis internet atau media daring membuat generasi Z semakin dekat dengan informasi dari seluruh dunia.

Termasuk di dalamnya adalah informasi mengenai masalah-masalah di dunia dan sekitarnya. Karena banyak terpapar informasi, semakin pahamlah generasi Z terhadap permasalahan-permasalahan itu.

Pengetahuan dan kekhawatiran

Ditambah lagi, dengan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet. Lama-kelamaan, pengetahuan mereka menjelma menjadi sebuah bentuk kekhawatiran yang menjadi tekanan untuk diri mereka sendiri.

Keakraban generasi Z dengan teknologi bukan semata-mata implikasi dari kemajuan zaman, tetapi juga mempengaruhi aspek psikologis dan behavioralnya. Menurut Toronto (2009), terdapat kecenderungan generasi Z memanfaatkan tekonologi untuk menghindari perjuangan di kehidupan offline mereka dan untuk menemukan kenyamanan (berbaur) dengan melarikan diri dan berfantasi untuk mengisi waktu maupun kekosongan emosional.

Ternyata, generasi ini memanfaatkan dunia virtual sebagai tempat “pelarian” dari kehidupan nyata. Sayangnya, internet bisa membuat  kondisi kesehatan mental generasi Z menjadi lebih buruk.

Menurut Anthony (Turner, Anthony. 2015. Generation Z: Technology and Social Interest. University of Texas Press: Texas), banyak terdapat situs-situs yang menampilkan self-harm dan mengajarkan orang untuk membuat senjata yang dapat dengan mudah diakses. Hal itu bisa mendorong anak muda membentuk perilaku sesuai apa yang ia simak di internet.

Bukan hanya stres, hasil lain dari keakraban generasi Z dengan teknologi adalah terganggunya kondisi psikologis. Generasi Z akrab dengan video games, permainan berbasis gadget dan internet yang menjadi sumber hiburan bagi banyak orang.

Padahal, menurut Weinstein (2010), banyak bermain video games bisa menyebabkan ketidak mampuan untuk mengatur rasa frustasi, rasa takut, kegelisahan, dan menurunnya nilai di sekolah. Sementara itu, bermain video games secara berlebihan, disampaikan Van Rooij, Meerkerk, Schoenmakers, Griffiths, & Van De Mheen (2010) dapat berdampak pada keridakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam memenuhi cinta, pekerjaan, dan persahabatan.

Mungkin, dunia virtual memang mengasyikkan. Penuh dengan hiburan-hiburan yang bisa sejenak mengalihkan perhatian dari realita kehidupan di dunia nyata. Namun, tak semua keseruan dunia virtual membawa dampak positif untuk kehidupan nyata.

Kecenderungan-kecenderungan psikologis tersebut bisa berdampak buruk pada kehidupan sosial generasi Z. Kemampuan penyelesaian masalah dan hubungan dengan manusia-manusia lain adalah hal penting yang harus dihadapi manusia dalam sepanjang hidupnya. Bila generasi Z tak menguasai hal-hal itu, lantas bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup di dunia nyata ini?

Kawan akrab generasi Z lainnya adalah media sosial, pengembangan internet yang hadir untuk menghubungkan satu pengguna dengan pengguna lainnya berkomunikasi. Di satu sisi, media sosial telah mengubah sekaligus mempermudah jalannya komunikasi antar manusia.

Dampak medsos

Komunikasi yang semula terbatas jarak, kini bisa dilakukan dengan mudah melalui medsos dan beragam fiturnya. Tak ada lagi halangan jarak dan waktu dalam berkomunikasi berkat adanya medsos.

Tapi, ternyata medsos bukan hanya membawa kemudahan bagi generasi Z. Hasil riset APA menunjukkan bahwa media sosial memang memainkan peran yang amat besar dalam kehidupan generasi Z, tapi bukan hanya peran yang berdampak positif. Sebanyak 55 persen generasi Z merasakan medsos memberikan mereka dorongan yang positif bagi diri mereka.

Di sisi lain, 45 persen generasi Z mengaku medsos membuat mereka merasa dihakimi dan sebagian lain merasa buruk tentang dirinya sendiri akibat medsos.

Kebebasan berpendapat di media sosial adalah penyebabnya. Berbeda dengan media massa yang mempunyai sosok gatekeeper untuk menjaga arus keluar-masuk informasi, siapa saja bisa mengatakan dan menyebarkan apa saja melalui medsos. Perkataan atau komentar berbau kebencian juga termasuk hal yang secara bebas bisa tersebar di medsos.

Perilaku menekan, mempermalukan, mengancam dan melecehkan seseorang melalui pesan di internet dan medsos disebut dengan perundungan siber (cyberbullying). Generasi Z adalah generasi yang sering berhadapan dengan perundungan siber (cyberbullying), baik sebagai korban maupun sebagai pelaku (Steyer, 2012).

Selain karena kedekatannya dengan teknologi, kecenderungan generasi Z dalam memanfaatkan teknologi sebagai pelampiasan kekosongan emosional dan kondisi kehidupan nyata yang tak sesuai harapan menjadi penyebab hal itu terjadi. Bagi pelaku, perundungan siber merupakan wujud pelampiasan emosional mereka yang tak bisa disalurkan di kehidupan nyata.

Sementara bagi korban, hal itu juga berdampak pada tekanan emosional. Tak heran bila dikatakan generasi Z mempunyai tingkat stres yang lebih tinggi dari orang-orang yang lebih dewasa. Cakupan pergaulan yang luas hingga merambah dunia virtual justru bisa menambah kemungkinan generasi tersebut untuk mendapatkan lebih banyak masalah.

Kondisi psikologis yang berdampak pada buruknya kesehatan mental generasi Z bukan hanya disebabkan oleh aspek-aspek yang mereka lakukan sendiri. Pada tahun 2008, terjadi krisis ekonomi global yang menyebar ke seluruh dunia.

Tingkat stress di rumah-rumah tempat generasi Z tinggal juga turut terpengaruh oleh kesenjangan pendapatan dan ekonomi. Hal itu berpengaruh terhadap pandangan generasi Z terhadap keuangan.

Kondisi kesehatan mental generasi Z  perlu menjadi perhatian banyak pihak

Tak hanya harus menghadapi tantangan untuk melunasi utang-utang mereka sendiri, generasi Z dengan orang tua yang terpelajar harus menyaksikan orang tua mereka mengalami stres di perekonomian akibat krisis finansial tersebut. Hal ini dapat berdampak pada praktik pengasuhan orang tua yang lebih keras.

Mengalami kesulitan keuangan keluarga membuat generasi Z menyadari bahwa uang adalah hal yang sangat penting dan menjadikan mereka menyadari pentingnya menabung (TDAmeritrade, 2012).

Generasi Z  mempunyai kecenderungan memandang dunia sebagai tempat yang tidak aman. Hal itu disebabkan oleh  beberapa kalangan di generasi Z lahir di masa-masa peperangan. Salah satu contohnya adalah serangan teroris pada 11 September 2001. Mereka yang sudah lahir harus menyaksikan orang-orang, termasuk orang tua mereka, terbunuh maupun terluka akibat peperangan.

Hal itu mempengaruhi pandangan mereka mengenai dunia. Selain menilai dunia sebagai tempat yang tidak aman, secara bersamaan generasi Z mempunyai kesadaran global yang tinggi, seperti pendidikan, toleransi, dan ketenagakerjaan.

Pemaparan-pemaparan tersebut mematahkan anggapan yang selama ini beredar bahwa anak-anak muda mempunyai tingkat stres yang lebih rendah ketimbang orang-orang yang lebih tua. Banyak faktor yang ternyata membuat anak-anak muda generasi Z mempunyai tingkat stres yang tinggi. Bahkan pada beberapa aspek, melebihi tingkat stres orang-orang yang lebih tua.

Kondisi kesehatan mental generasi Z sangat perlu untuk menjadi perhatian banyak pihak. Selain kajian-kajian ilmiah mengenai penyebab kondisi psikologis ini, berbagai pihak juga perlu terus mengembangkan sosialisasi mengenai pentingnya kesadaran kesehatan mental.

Generasi Z yang dekat dengan teknologi hingga mempunyai akses informasi yang luas perlu bersikap pro-aktif dalam memahami kondisi kesehatan mentalnya sendiri. Selain memperbanyak bacaan, generasi Z juga perlu memanfaatkan akses informasi untuk mencari bantuan klinis bila memang dibutuhkan.

Mengikuti komunitas pendukung dan menemukan teman berbagi masalah-masalah yang tengah dihadapi juga langkah yang amat penting. Generasi muda yang kelak akan membangun bangsa ini perlu untuk menjaga dirinya sendiri, baik secara fisik maupun psikis.

Selma Kirana Haryadi, mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung