Hasil Riset Kesehatan Dasar oleh Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi merokok pada anak yang berusia 10 hingga 18 tahun mencapai 9,1 persen. Jumlah itu mengalami tren kenaikan dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Pada kelompok usia yang sama, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 sebesar 7,9 persen (Riskesdas, 2013), dan berdasarkan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 meningkat menjadi 8,8 persen. Dengan demikian, target pemerintah menurunkan prevalensi perokok di tahun 2019 menjadi 5,4 persen, besar kemungkinan tidak akan bisa dicapai tanpa suatu perubahan kebijakan dari pemerintah.
Peningkatan jumlah perokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok yang berbanding lurus dengan tingginya angka kematian akibat rokok. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa risiko terkena kanker paru 7,8 kali pada orang yang perokok dibanding orang yang tidak merokok. Saat ini kematian akibat rokok sekitar 50 persen berada pada negara berkembang atau 650 juta kematian akibat rokok yang pada umumnya berada pada usia produktif yaitu usia 20-25 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Selain menimbulkan beban kesehatan, rokok juga menimbulkan beban ekonomi baik perseorangan maupun negara. Kerugian ekonomi biasanya tidak terlalu disadari, padahal biaya untuk beli rokok jika ditotal setiap tahun pada seorang perokok aktif bisa sangat besar, yaitu sekitar Rp 6.339.320 per tahun. Menurut WHO, Setiap tahun rokok mengakibatkan lebih dari 7 juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar USD 1,4 triliun, dihitung dari biaya perawatan dan hilangnya produktivitas karena kehilangan hari kerja
Ada banyak pilihan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka perokok di Indonesia. Salah satunya adalah dengan menaikkan cukai rokok. Seperti yang kita ketahui bahwa cukai rokok adalah pungutan yang dipungut negara terhadap rokok dan produk tembakau lainnya termasuk sigaret, cerutu, dan rokok daun.
Rendahnya tarif cukai tembakau dan harga rokok dilansir sebagai penyebab tingginya angka prevalensi perokok pada usia anak dan dewasa
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang akan diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 2018 sebesar 10,04 persen. Peraturan ini kembali dijadikan dasar untuk penentuan cukai rokok pada tahun 2019.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kenaikan cukai rokok untuk tahun 2019. Harga rokok dengan cukai sebesar itu hanya berkisar antara Rp 1000- Rp 1200/batang. Rendahnya tarif cukai tembakau dan harga rokok di Indonesia, dilansir sebagai penyebab tingginya angka prevalensi perokok pada usia anak dan perokok dewasa yang berpendapatan menengah kebawah.
Beberapa negara yang telah berhasil menurunkan angka perokok dengan menaikkan cukai rokok di negara tersebut. Negara itu, Australia. Data dari Survei Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa sejak tahun 2001, proporsi orang dewasa yang merokok telah menurun dari 22,3 persen menjadi 13,8 persen pada 2017-2018.
Negara itu akan terus menaikan harga rokok mulai dari AUD 17,40 pada tahun 2016 hingga mencapai harga AUD 40 pada tahun 2020. Cukai rokok yang diberlakukan telah mencapai 51,17 persen dari target WHO 70 persen.
Prevalensi perokok di Singapura sudah turun dari 18,3 persen pada tahun 1992 ke 13 persen pada tahun 2018. Harga rokok di negara ini sebesar USD 9,62 pada tahun 2016. Target cukai yang telah tercapai dari 70 persen adalah sebesar 59.69 persen.
Prevalensi perokok pada usia 18-24 tahun telah menurun dari 25 persen ke 19,7 persen pada tahun 2011-2017. Harga rokok di negara ini pada tahun 2015 sebesar USD 11,00. Target cukai yang telah tercapai dari 70 persen adalah sebesar 63,83 persen.
Oleh karena itu, Indonesia bisa belajar dari Negara lain yang telah berhasil menaikkan tarif cukai rokok untuk menurunkan angka perokok.
A Pramesti Ningsih, Mahasiswa Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin