Di era sekarang, dunia seakan terasa sempit dan penuh dengan kemudahan. Hal itu tidak terlepas dari peranan teknologi yang semakin canggih sehingga tak bisa disangkal bahwa era sekarang disebut era revolusi industri 4.0.
Dunia perdagangan awalnya hanya bersifat tradisional dengan mempertemukan secara langsung antara penjual dan pembeli hingga tercapai sebuah transaksi. Berbeda dengan era sekarang perdagangan bisa dilakukan dengan cara digital atau elektronik melalui beberapa platform yang telah disediakan atau yang disebut dengan e-commerce.
Para pelaku ekonomi bisnis di Indonesia mayoritas bergerak di bidang bisnis perdagangan. Tak dipungkiri bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah e-commerce di Indonesia kian menggurita yaitu tumbuh sekitar 17 persen atau mencapai 26,2 juta.
Hal tersebut terendus dan berpotensi menjadi tambahan penerimaan dari sektor pajak. Sebagaimana kita tahu, di Indonesia, penerimaan negara hampir 80 persen bertumpu pada pajak. Pajak seakan menjadi sumber daya baru dalam memenuhi kebutuhan hidup bernegara.
Adapun sektor penerimaan pajak yang menjadi fokus pemerintah adalah penerimaan pajak Orang Pribadi (OP) utamanya para pelaku bisnis e-commerce. Hingga akhirnya Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.10/2018 tanggal 31 Desember 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) yang direncanakan mulai berlaku efektif per 1 April 2019.
Pro kontra
Pro kontra pun timbul antara pemerintah selaku pembuat regulasi dengan para pelaku ekonomi bisnis e-commerce. Para pelaku bisnis beranggapan bahwa e-commerce merupakan ajang bisnis coba-coba dan menghasilkan laba yang tidak terlalu besar, bahkan mereka menyarankan agar pemerintah berfokus pada perdagangan skala besar bukan pada skala teri seperti bisnis e-commerce.
Tanggapan lain terkait peraturan ini juga disampaikan oleh salah satu penyedia jasa ekspedisi. Sebagaimana kita tahu bahwa bisnis e-commerce erat kaitanya dengan jasa pengiriman (ekspedisi). Mereka menyampaikan bahwa langkah pemerintah dinilai memberatkan dan menambah beban karena mereka harus melakukan pemisahan data antara pengguna jasa ekspedisi pelaku bisnis e-commerce atau bukan. Bahkan mereka memberikan saran kepada pemerintah agar aturan tersebut ditangguhkan terlebih dahulu.
Secara mengejutkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah menarik PMK-210/PMK.010/2018 yang telah ditetapkan tahun lalu. Hal tersebut disampaikan ketika ia meninjau pelaksanaan pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Palayanan Pajak Pratama Tebet.
Penarikan peraturan tersebut bukan tanpa alasan, pemerintah akhirnya menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan atas keputusan tersebut.
masih perlu sosialisasi aturan e-commerce atau toko onlineĀ sehingga bisa meredam kesimpang-siuran atau mis-informasi terkait pajak tersebut
Pertama, hal yang paling mendasar menjadi alasan adalah sosialisasi. Sri Mulyani menyebutkan bahwa masih perlu dilaksanakan sosialisasi terkait aturan e-commerce atau toko online (daring) sehingga bisa meredam kesimpang-siuran atau mis-informasi terkait pajak tersebut. Sebelumnya muncul isu bahwa dengan adanya peraturan ini maka akan muncul pajak baru, padahal kenyataannya tidak demikian.
Kedua, perlunya koordinasi antara pemerintah dengan perusahaan digital dan marketplace selaku penyedia kegiatan ekonomi bidang e-commerce. Koordinasi juga dianggap perlu dilakukan secara menyeluruh tidak terkecuali stakeholders dan masyarakat.
Ketiga, pemerintah menyadari bahwa persiapan terkait pajak e-commerce masih belum matang, utamanya mekanisme pemotongan pajaknya dan masih berupaya koordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk membentuk payung hukum yang ideal bagi industri baru yang sedang berkembang di Indonesia tersebut.
Dari hasil pernyataan yang disertai alasan yang jelas tersebut, terjawab sudah keraguan dan kesimpang-siuran informasi terkait dengan pajak e-commerce. Seluruh masyarakat, terutama pelaku bisnis e-commerce pun menjadi tenang serta menghilangkan spekulasi isu adanya pajak baru di dunia digital.
Rizky Bayu Putranto, mahasiswa Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)