Ketika “Malin Kundang” Menjadi “Nilam Kandung”

0
821

Awal Maret lalu, Universitas Pelita Harapan Tangerang mengadakan konser musik tak biasa yang menampilkan cerita berjudul “Nilam Kandung”. Konser itu hasil kolaborasi antara dosen Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita Harapan Tangerang, Banten Dr Clara Evi Citraningtyas dengan program studi Music Therapy Conservatory of Music (CoM) UPH.

Clara yang juga penulis buku merekonstruksi cerita daerah “Malin Kundang” menjadi cerita “Nilam Kandung”. Ia menjelaskan, rekonstruksi cerita daerah tersebut dari judulnya memang sebuah permainan kata. Jika cerita aslinya Malin dikutuk oleh ibunya maka di cerita ini ia membuat Nilam Kandung dimaafkan.

“Dasar pemikirannya adalah kita tidak ingin memupuk budaya “mata ganti mata” karena berdasarkan riset S3 saya, kebanyakan cerita rakyat Indonesia menggunakan prinsip itu, dan saat dibacakan pada anak-anak, efeknya kurang baik,” jelasnya kemudian. Dengan cerita ini ia merekonstruksinya menjadi “mata ganti kasih”. Meskipun sang Ibu disakiti, ia tetap memaafkannya. “Namun, di cerita itu, Nilam tidak terlepas dari konsekuensi melupakan ibunya karena harta,” lanjut Clara.

Menariknya, cerita ini diangkat ke dalam sebuah konser drama musikal yang ditujukan bagi publik terutama bagi orang yang berkebutuhan khusus. Tentunya bukan sekedar untuk menyampaikan ide cerita, tetapi juga untuk memberi kesempatan kepada kepada anak-anak berkebutuhan khusus agar dapat menikmati konser musik dengan nyaman dan menyenangkan.

Dr. Clara Evi Citraningtyas menandatangani buku terbitan rekonstruksi ‘Nilam Kandung’ yang dibagikan kepada penonton.

Clara memang sudah membuat banyak cerita rekonstruksi dan telah menerbitkan bukunya. Ia mengaku bersyukur atas kesuksesan cerita rekonstruksi yang dibawakan dengan baik dalam konser tersebut.

“Saya terharu dan senang karena keinginan saya, cerita itu dapat dipahami dan dinikmati banyak orang, melihat sekarang banyak yang kurang suka membaca,” kata Clara. Menurut Clara, pementasan musik terapi itu berawal saat dirinya mempresentasikan proyek rekonstruksi cerita rakyat itu. “Monica, ketua peminatan music therapy tertarik menampilkannya di acara musik terapi ini karena menurutnya cerita ini punya nilai yang bagus,” tuturnya.

Konser drama musikal yang diselenggarakan di @america, Pasific Place Mall, Jakarta Selatan, dibagi menjadi dua sesi dengan melibatkan mahasiswa peminatan musik terapi dan peminatan lain di bawah CoM UPH sebagai pemain musik dan juga pelaku drama.

Dari sisi conservatory of music, Tia Iskandar, dosen CoM UPH menjelaskan, konser musik itu diadakan agar semua orang tanpa terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus dapat menikmati konser. Tidak hanya itu, acara ini diharapkan dapat menjadi media untuk memperkenalkan budaya Indonesia.

Kenalkan budaya

“Latar belakang musik yang dipakai dalam konser ini juga berasal dari lagu daerah sehingga publik yang hadir semakin kenal musik daerah. Namun tetap kita menggabungkan genre musik lainnya. Ini sengaja kita lakukan untuk mencari keseimbangan supaya tidak ada tembok di dalam musik karena musik tidak ada batasnya, baik dari jenisnya, cara bermainnya, maupun penikmatnya,” tambah Tia.

Secara khusus konser drama musikal dengan pendekatan musik terapi ini diharapkan dapat menjadi media yang efektif bagi orang-orang yang berkebutuhan khusus untuk mendapat pengalaman menikmati konser musik dengan nilai-nilai positif, seperti orang lain pada umumnya. Ke depan semua orang tanpa terkecuali dapat semakin dekat, cinta, dan tertarik dengan musik, bahkan bisa semakin memahami manfaat dari musik terapi itu sendiri.

Wilhelmine Maria Loe, Mahasiswa Jurusan Seni Musik, Fakultas Ilmu Seni Universitas Pelita Harapan Tangerang-Banten