Bijaksana Menyikapi Penderita Penyakit Kejiwaan

0
494

Belum lama ini, seorang laki-laki yang berstatus sebagai mahasiswa aktif di salah satu universitas di Jakarta dikabarkan tewas bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian. Informasi mengenai motif perbuatan bunuh diri masih simpang siur sehingga menyebabkan banyak orang berspekulasi bahwa depresi yang ia alami berkaitan dengan persoalan nilai akademis, yang sesungguhnya belum tentu benar.

Beberapa tahun lalu, seorang laki-laki yang juga berstatus sebagai mahasiswa aktif, melakukan tindakan bunuh diri dengan cara gantung diri. Rumor pun menyebar dengan cepat. Banyak yang mengatakan bahwa korban terlilit utang dan tidak mampu membayar, lantas putus asa.

Hal itu pun masih diragukan sebagai alasan korban melakukan tindakan bunuh diri. Demikian halnya dengan banyak kasus bunuh diri lainnya, yang motifnya cenderung “diduga-duga” oleh masyarakat.

Sangat disayangkan apabila penyebab seseorang melakukan tindakan bunuh diri digeneralisasi dengan satu alasan (yang bahkan belum tentu sesuai dengan fakta) sehingga seringkali berimbas pada pergunjingan masyarakat terhadap korban dan keluarganya. Pun berbagai komentar negatif yang dilontarkan terhadap korban seringkali menunjukkan ketidakterbukaan masyarakat terhadap isu mental illness.

Berikut beberapa ucapan negatif (dan seringkali bernada angkuh) yang pernah terdengar oleh penulis berkaitan dengan berita kasus bunuh diri:

“Ya ga mesti sampe bunuh diri juga, kali!”

“Masa cuma gara-gara nilai jelek terus bunuh diri?”

“Padahal orangtuanya kaya, punya pacar cantik… masih aja bisa bunuh diri.”

“Lebay banget pake bunuh diri segala!”

“Imannya kurang kuat, tuh.”

“Makanya perbanyak ibadah.”

Menimpa siapa saja

Penyakit kejiwaan atau mental illness dan depresi merupakan hal yang dapat terjadi pada siapa pun, terlepas dari apapun status sosial yang disandang, karier, pendidikan, usia dan sebagainya. Pada remaja khususnya di Indonesia, angka penderita mental illness terbilang cukup tinggi.

Sebuah survei yang dilakukan tahun 2015 terhadap 940 orang remaja di DKI Jakarta menyebutkan bahwa sebanyak 30% memiliki potensi menderita depresi, dan sebanyak 18% memiliki ide untuk bunuh diri (https://www.idntimes.com/opinion/social/nova-riyanti-yusuf/infografis-kecenderungan-bunuh-diri-pada-remaja-urban-jakarta/full). Penyebab dari mental illness pada masing-masing penderita amat beragam, kompleks, dan mengakar tidak hanya pada satu atau dua masalah.

Patut dipahami bahwa hanya si penderita yang mengetahui dan merasakan betul setiap detail permasalahan yang dialami. Maka dari itu, kecenderungan masyarakat untuk menghakimi secara sebelah mata harus dihindari dan disadari sebagai bentuk andil tak kasat mata dalam memperparah kasus penyakit kejiwaan dan bunuh diri. Lantas, sebagai masyarakat, bagaimana cara terbaik menyikapi kasus penyakit kejiwaan dan bunuh diri yang terjadi di sekitar kita ?

Bila menjadi orang yang berada di lingkungan sekitar penderita, tunjukkan dukungan dan tidak menghakimi

Bila menjadi orang yang berada di lingkungan sekitar penderita, contohnya teman atau keluarga, disarankan untuk menunjukkan dukungan dan tidak menghakimi. Berikan pernyataan-pernyataan positif tanpa meremehkan permasalahan. Penyakit kejiwaan tidak selalu terlihat di permukaan. Pada banyak kasus bunuh diri, banyak keluarga korban yang mengaku tidak melihat tanda-tanda negatif pada korban.

Korban seringkali terlihat beraktivitas dan berinteraksi seperti biasa beberapa jam sebelum melakukan tindakan bunuh diri. Oleh sebab itu, cara terbaik bagi awam untuk menangani penderita depresi sebagaimana dikutip dari Dr. Jiemi Ardian (Psikiater & Instruktur Hipnoterapi Nasional) adalah sebagai berikut:

  • Mendengarkan penderita, jangan menasihati
  • Tunjukkan kepedulian dengan cara turut merasakan apa yang penderita alami
  • Ajak untuk mencari solusi bersama
  • Beri perhatian lebih, luangkan waktu
  • Yakinkan dan temani penderita untuk pergi ke tenaga profesional (psikolog/psikiater)

Seperti penyakit fisik yang butuh ditangani dan disembuhkan dengan cara yang tepat, demikian halnya dengan penyakit kejiwaan. Seiring dengan kemajuan zaman dan pola pikir, sudah sepatutnya masyarakat membuang jauh-jauh stigma bahwa penyakit kejiwaan merupakan sesuatu yang memalukan, atau pandangan bahwa berkonsultasi ke psikolog merupakan sesuatu yang aneh.

Apabila mendengar berita kasus bunuh diri, alangkah baiknya bila kita tidak memperkeruh keadaan dengan menggunjingkan, berspekulasi, ataupun membesar-besarkan berita. Ketika kita tidak dapat lagi memberikan bantuan kepada korban, hal yang terbaik untuk dilakukan adalah mendoakan dan melakukan usaha preventif terhadap kasus lain di masa depan. Setiap kasus bunuh diri layaknya dipandang sebagai pengingat bahwa masih banyak di sekitar kita yang membutuhkan bantuan dan perhatian.

Bila kita sendiri tengah mengalami penyakit kejiwaan, kita bisa melakukan beberapa hal berikut :

  • Berkonsultasi dengan psikolog/psikiater
  • Menghubungi hotline atau layanan daring yang dikhususkan untuk membantu mengatasi penyakit kejiwaan
  • Menggunakan aplikasi daring yang bertujuan untuk memelihara kesehatan mental, seperti Moodpath dan Headspace yang juga menawarkan sarana meditasi via rekaman suara
  • Selalu sediakan waktu untuk bernapas dengan tenang. Menghirup dan mengembuskan napas dapat memperlancar sirkulasi oksigen ke otak dan tubuh sehingga kita dapat berpikir secara lebih jernih
  • Bersabar dengan diri sendiri. Lebih dari kesabaran orang lain terhadap kita, diri kita paling membutuhkan kesabaran dari diri sendiri. Sama halnya dengan penyakit fisik yang butuh waktu untuk pulih, demikian halnya dengan penyakit kejiwaan.

Sebagai manusia yang masih diberi kesempatan untuk hidup hingga detik ini, kita semua merupakan penyintas. Masa-masa sulit yang pernah kita hadapi selayaknya memampukan kita untuk berempati terhadap sesama yang tengah mengalaminya. Kepedulian kita terhadap isu kesehatan mental dapat menyelamatkan banyak jiwa di sekitar kita.

*Beberapa layanan daring untuk berkonsultasi:

  • @yayasanpulih atau surel: pulihcounseling@gmail.com
  • @saveyourselves.id atau surel: hi@saveyourselves.id
  • @ibunda.id atau LINE: @ibunda
  • @pijarpsikologi atau surel: pijarpsikologi.or/konsulgratis
  • @sehatmental.id atau LINE: @konseling.online

Regina Anggia | Magangers Kompas Muda Harian Kompas Batch 7, mahasiswa Desain Komunikasi Visual Universitas Bunda Mulia Jakarta