Tari Ma’zani dan Para Oma Yang Menarikannya

0
1150

Rintik hujan masih membasahi Desa Lahendong, Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Minggu (22/07/2018) sore itu. Sesekali melihat langit, Opa Welly agak gelisah karena belum ada seorang pun yang datang. Selepas itu, Opa Welly sibuk menelepon satu per satu temannya untuk sekadar mengingatkan bahwa latihan tari Ma’zani akan segera dimulai.

Sekitar 15 menit kemudian, oma-oma datang silih berganti. Ada yang berjalan bersama-sama, ada yang datang ditemani cucunya. Dan ada yang diantar suami dengan motor. Para oma ini berasal dari lingkungan yang berbeda dari seluruh Lahendong, Minahasa Selatan Kota Tomohon.

Sayang, karena hujan, tidak semua anggota datang latihan di sore itu. Langit semakin gelap. Hanya beberapa oma yang bersemangat dan tidak sedang mengalami kendala untuk berkumpul dan berlatih tari Ma’zani.

Setelah mencapai jumlah lebih dari 10 orang, Opa Welly segera menabuh tamburnya. Tabuhan tambur yang dinamis dan sederhana mulai memecah kesunyian suasana sore itu. Para oma mulai mengambil posisinya masing-masing. Mereka mulai menggerakkan kaki kanan dan kiri secara bergantian, kemudian disusul dengan nyanyian yang lantang dan gerak tubuh sederhana lainnya. Hal ini menandakan babak pertama tari Ma’zani telah dimulai.

Tari Ma’zani terdiri dari empat babak, yaitu: babak pertama atau pengucapan dan permohonan. Babak kedua atau zazanin, babak ketiga atau mahkamberu dan babak keempat atau maleo’-losan. Babak pertama bercerita tentang pengucapan rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan agar hidup senantiasa diberkati-Nya.

Babak kedua menceritakan semangat kerja di kebun, asal-usul Lahendong, dan legenda Danau Linow. Babak ketiga menggambarkan suasana keceriaan memanen dan berpesta karena telah memiliki rumah baru atau kesejahteraan yang didapat dari hasil panen. Babak terakhir memiliki makna yang mendalam, yaitu mengajak seluruh masyarakat agar saling mengasihi dan menyayangi.

“Sebenarnya tari ini tidak hanya diperuntukkan bagi para lansia, tapi sepertinya anak muda sekarang kurang tertarik, sehingga tidak ada regenerasi”, ujar Opa Welly.

Dahulu, orang yang bekerja seharian di kebun selalu menyanyi bersama untuk melepas penat dan lelah. Kegiatan tersebut diadaptasi menjadi gerak tari Ma’zani. Oleh sebab itu, dapat diamati secara gamblang bahwa hampir sebagian besar gerak tari Ma’zani merepresentasikan kegiatan menanam, mencangkul, memetik hasil panen, dan memikul cangkul sembari berjalan pulang ke rumah masing-masing.

Pada masa kini, latihan tari Ma’zani bukan sekadar kegiatan untuk mematangkan kesiapan para oma dan opa menyuguhkan pertunjukan yang memukau pada sebuah acara.  Latihan tari Ma’zani juga menjadi ajang berkumpul para oma dan opa untuk melepas rasa kesepian walau sesaat.

Selain menari dan bernyanyi bersama, di sela latihan itu mereka dapat berkarlota (berbincang) ria tentang apapun, seperti hal-hal yang telah dilakukan hari itu, keadaan anak atau cucu di luar kota, bahkan suka dan duka hidup di masa tua. Perbincangan menjadi paripurna dengan ditemani kudapan pisang goreng hangat dan minuman.

Di akhir pertemuan, Opa Welly mengutarakan kekhawatirannya tentang eksistensi tari Ma’zani ke depan. “Sebenarnya tari ini tidak hanya diperuntukkan bagi para lansia, tapi sepertinya anak muda sekarang kurang tertarik sehingga tidak ada regenerasi”, ujar Opa Welly. Selain itu, ia mengatakan bahwa pemerintah yang menjabat sekarang kurang memerhatikan berbagai upaya pelestarian kesenian lokal khas Minahasa.

Kautsaro Annisa