Telaga Langsat, adalah sebuah desa yang berada di kecamatan Telaga Langsat Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Desa tersebut terbagi oleh sungai yang mengalir di tengah – tengah desa dan memengaruhi penamaan daerah, yaitu daerah yang terdapat di sebelah utara sungai disebut sebagai “Banua Hanyar”.
Nama tersebut berasal dari bahasa banjar yaitu Banua yang berarti kampung dan Hanyar yang berarti baru. Penamaan didasarkan pada mulai dihuninya daerah tersebut yang tidak lebih lama dari bagian selatan.
Penduduk Desa Telaga Langsat terdiri dari 442 kepala keluarga (KK). Sebagian besar penduduk desa tersebut merupakan suku Banjar. Hal yang menarik dari daerah ini adalah masih kentalnya akan budaya. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa Banjar, rumah-rumah warga berbentuk rumah adat, bentuk tradisi pernikahan, dan pertunjukan seni.
Bahasa Banjar
Bahasa Banjar merupakan bahasa sehari-hari, baik tua maupun muda. Bahasa banjar sendiri memiliki unggah-ungguh seperti bahasa Jawa. Seperti contohnya penggunaan kata “ikam” dan “pian”, kedua kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu “kamu”. Namun, penggunaannya berbeda, “ikam” digunakan untuk orang yang lebih muda atau teman sebaya. Sedangkan, “pian” digunakan untuk orang yang lebih tua atau pangkatnya lebih tinggi. Kata tersebut menunjukan rasa hormat dan sopan santun.
Bentuk rumah yang terdapat di desa tersebut sebagian besar adalah rumah panggung yang keseluruhan bahannya tersusun oleh kayu. Jenis kayu ditentukan agar kuat selama bertahun-tahun. Kayu yang biasa digunakan yaitu kayu ulin, kayu yang terkenal keras dan dapat tahan lama walaupun terkena hujan dan panas.
Sedangkan atap rumah panggung tersusun atas seng, jika menggunakan genting akan memberi beban yang berat pada komposisi rumah yang berupa kayu. Pertimbangan penggunaan seng adalah karena ringan, mudah didapatkan, dan harganya terjangkau.
tradisi pernikahan di daerah tersebut masih sarat budaya gotong royong. Warga sekitar, terutama ibu-ibu berbondong-bondong ke rumah pemilik hajat untuk membantu menyiapkan masakan
Sementara tradisi pernikahan di daerah tersebut masih sarat budaya gotong royong warga sekitar, terutama ibu-ibu. Masyarakat berbondong-bondong ke rumah yang memiliki hajat untuk membantu menyiapkan menu masakan untuk ke-esokan harinya.
Oleh karena mayoritas warga petani, masakan harus sudah matang sebelum jam 6 pagi. Karena warga akan datang ke “seruan”/kondangan jam 6 pagi sebelum mereka berangkat ke sawah. Menu yang dihidangkan pun khas, mulai dari ketupat kandangan, soto banjar, ikan haruan/gabus asap dan sayur asam manis dengan ikan kering, untuk menu yang lain merupakan menu tambahan.
Hal yang menarik yaitu cara menyantap menu tersebut. Dalam menyantap ketupat kandangan warga langsung menggunakan tangan. Menurut warga hal tersebut menyebabkan rasa masakan menjadi lebih nikmat dan merupakan ciri khas dalam menyantap ketupat kandangan.
Pertunjukan seni
Pada acara pernikahan, ada beberapa pemilik hajat menampilkan pertunjukan seni, diantaranya wayang kulit, kuntau, dan musik pending. Wayang kulit yang dipertunjukkan memiliki kesamaan dengan wayang kulit yang ada di Jawa. Perbedaannya adalah jumlah wayang lebih sedikit dan dalam komponen pertunjukan tidak ada gamelan dan sinden.
Selain wayang kulit, pertunjukan yang diselenggarakan malam hari adalah musik pending yang merupakan alat musik. Cara membunyikannya dipetik seperti gitar. Dalam pertunjukkannya, diperlukan komponen gamelan lain seperti kendang dan gitar untuk memperindah alunan musik. Selain itu, terdapat sinden dan penari yang melengkapi pertunjukan musik pending.
Namun, pertunjukkan tersebut telah lama tidak diadakan lagi, karena alasan terjadi kericuhan di tiap pertunjukan. Penyebabnya, setiap warga boleh menyawer dan ikut menari bersama penari. Hal itulah yang menyebabkan kericuhan. Jika wayang kulit dan musik pending dilaksanakan malam hari, terdapat pertunjukan yang dilaksanakan siang hari yaitu kuntau.
Siapkan sesajen
Pertunjukan tersebut merupakan pertunjukan bela diri seperti pencak silat, yang bisa dimainkan secara solo (sendirian) untuk menunjukan keindahan gerakan atau berdua seperti bertarung. Pertunjukkan tersebut diiringi musik dan ditunggui oleh tetua atau sesepuh. Jika hal yang tidak diinginkan seperti kesurupan terjadi, maka sesepuh akan mengambil tindakan.
Biasanya kejadian kesurupan terjadi pada warga yang masih keturunan “datuk” atau buyut yang memiliki kemampuan kuntau. Dipercaya bahwa ruh “Datuk” akan datang saat pertunjukkan berlangsung, sehingga warga harus menyiapkan sesajen berupa kopi hitam. Kesurupan dapat terjadi ketika sesajen tidak disiapkan atau ada yang meminum sesajen tersebut.
Budaya yang masih kental tersebut merupakan bentuk apresiasi masyarakat terhadap budaya mereka sendiri. Jika tidak ada apresiasi, kebudayaan akan hilang diterkam zaman yang serba modern ini. Pondasi kuat harus ditanamkan sejak dini kepada warga setempat agar kekayaan budaya yang mereka punya tidak hilang atau diklaim oleh negara orang.
Rohmi Salamah
Comments are closed.