Tahukah kamu bahwa lima tahun yang lalu pemerintah menetapkan 27 Juli sebagai Hari Sungai Nasional ? Perayaan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah no. 38 tahun 2011 tentang Sungai ini merupakan cara pemerintah untuk mendorong dan memotivasi masyarakat untuk peduli terhadap sungai. Pasalnya, kondisi sungai di Indonesia sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.
Penelitian Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan terhadap 100 sungai di 33 provinsi dari tahun 2013 – 2015 menunjukkan, 52 sungai Indonesia memiliki kadar pencemaran berat. Selain itu sebanyak 20 sungai memiliki kadar pencemaran sedang-berat, dan 7 sungai punya pencemaran ringan. Hanya 21 sungai yang memenuhi baku mutu, itupun masih memiliki kadar pencemaran ringan.
Lebih menyedihkan lagi, salah satu daerah dengan kondisi sungai tercemar berat adalah sungai Progo, sungai Krasak, sungai Sudu, sungai Opak, sungai Serang, dan sungai Tinalah yang merupakan bagian dari sungai Winongo. Semua sungai itu berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berangkat dari keprihatinan akan buruknya kondisi sungai di DI Yogyakarta, tim KKN UGM Unit Donotirto Bantul dan tim KKN UPN bekerjasama dengan Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) menggelar acara untuk merayakan Hari Sungai Nasional. Acara diadakan Sabtu (28/7/2018) di Balai Desa Donotirto, Bantul. Memang lebih telat sehari dari hari Sungai Nasional pada 27 Juli. Namun atas pertimbangan kesediaan partisipan, acara tahun ini diundur menjadi tanggal 28 Juli.
gaung Hari Sungai Nasional terkubur oleh hari-hari lingkungan lain yang lebih dulu hits
Sebagai panitia, kami para mahasiswa KKN UGM sudah bersiap di lokasi acara sejak pukul 06.30. Tim yang terdiri dari 26 mahasiswa saling bahu-membahu mempersiapkan lokasi acara. Dari melipat flyer dan poster yang akan dibagikan ke peserta, menata kursi, membersihkan area, memasang baliho, dan masih banyak lagi. Untungnya, tempat acara sudah siap sebelum para peserta mulai berdatangan pada pukul 08.00.
Untuk acara ini, kami mengundang instansi pemerintahan Bantul dan DIY, warga desa sekitar sungai Winongo, anggota karang taruna, serta komunitas-komunitas peduli sungai dan lingkungan. Setiap peserta yang datang mendapatkan merchandise dari FKWA, berupa kaos untuk peserta sarasehan, topi, dan tas untuk peserta susur sungai.
Acara dimulai sejam kemudian, dan dibuka oleh Endang, Ketua FKWA. Dalam sambutannya, Endang mempersoalkan tentang jarang terdengarnya gaung Hari Sungai Nasional karena terkubur oleh hari-hari lingkungan lain yang lebih dulu hits. Padahal, sungai memainkan peran yang sangat krusial dalam kehidupan manusia karena perannya sebagai satu-satunya penyedia air tawar. Sayangnya, manusia lebih sering ‘menghina’ sungai dengan membuang sampah dan limbah ke sungai alih-alih memuliakannya.
Pada kesempatan itu, hadir pula Wakil Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih dan Bambang Sugiarta, Kepala Balai PSDA Dinas PUP ESDM DIY. Dalam sambutannya, Abdul Halim mengungkapkan tentang nasib ‘apes’ Bantul sebagai pemilik hilir dari sungai Winongo. Sebagai bagian terakhir dari aliran sungai sebelum ke laut, Bantul mendapat banyak limbah dan polusi dari kawasan Sleman dan Kota Yogyakarta. Kondisi tersebut membuat Abdul mendorong masyarakat Bantul agar mau membersihkan dan menjaga kualitas sungai.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan sarasehan dan susur sungai. Sarasehan ditujukan untuk warga, kepala dukuh, dan instansi pemerintahan. Sedangkan susur sungai untuk para anggota karang taruna dan komunitas peduli alam.
Menyiksa sungai
Acara sarasehan terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dimulai oleh Wakil Bupati Bantul. Ia menyatakan, Bantul menghasilkan 600 ton sampah. Sayangnya, hanya 200 ton yang bisa terolah dengan baik sehingga sisanya masuk ke sungai.
Pada sesi berbagi Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Tri Bayu Aji mengingatkan tentang pentingnya sungai bagi kehidupan manusia. Namun manusia malah ‘menyiksa’ sungai dengan menggunakan badan sungai untuk kepentingannya sendiri. ‘Penyiksaan’ yang paling sering dilakukan oleh masyarakat adalah penggunaan badan sungai dan pembuangan sampah.
Menurut Tri Bayu, untuk penanggulangan kerusakan dan pencemaran sungai, dibutuhkan edukasi kepada masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan menghimbau warga yang tinggal dipinggir sungai untuk memundurkan tempat tinggalnya agar tampungan air sungai bisa lebih banyak.
Masalah berkait sampah diutarakan Bambang Sugiarta yang mengatakan enam sungai besar di Yogyakarta sudah tercemar bakteri ecoli yang berasal dari limbah padat dan limbah cair rumah tangga serta industri.
program stop BAB sembarangan yang sudah dicanangkan pemerintah belum terlaksana karena aliran septic tank warga masih mengalir ke sungai
Dalam sesi tanya jawab, Pugiyanto, ketua UKKT mengatakan bahwa warga selalu membersihkan sungai, tapi sayangnya tidak ada akses untuk membuang sampah. Permasalahan yang sama juga diungkapkan oleh Oak Fajri, Kepala Dusun Metuk, Kretek. Selain itu, program stop BAB sembarangan yang sudah dicanangkan oleh pemerintah juga belum terlaksana karena aliran septic tank warga masih mengalir ke sungai.
Untuk persoalan BAB, Ilham menyatakan pemerintah Bantul masih melaksananan program jambanisasi. Sementara untuk program sampah, Bambang mengatakan ada dua sistem pengelolaan sampah. Alih-alih permasalahan kotoran dan sampah rumah tangga, yang paling mengkhawatirkan justru limbah medis dan pabrik yang jauh lebih berbahaya bagi biota sungai.
Sementara tentang bangunan, Tri Bayu menjawab bahwa tanah pinggiran sungai sebenarnya boleh digunakan sebagai bangunan, tapi bukan bangunan permanen. Penanaman pohon tahunan yang bersifat besar pun dilarang.
Sesi sarasehan ditutup dengan gagasan pembentukan tim satgas sungai yang bertugas untuk menjaga kebersihan sungai. Namun untuk betul-betul bisa menjaga kondisi sungai, diperlukan usaha dan sinergi antara masyarakat dengan pemerintah.
Susur sungai
Sementara warga ikut diskusi, para anggota karang taruna dan komunitas peduli alam mengikuti program susur sungai. Di program ini, para peserta mengelilingi sungai Winongo dipandu oleh mahasiswa KKN UGM-UPN. Program ini bertujuan untuk mengenalkan sekaligus membuka mata peserta tentang kondisi sungai mereka.
Sambil menyusuri sungai, peserta diberikan edukasi tentang kondisi sungai lewat tiga pos. Pos 1 dan 4 merupakan pos biolitik yang diampu oleh kawan-kawan relawan Wild Water Indonesia. Di pos ini, peserta diajak mencari biota-biota sungai lalu dicocokkan dengan leaflet biota lokal untuk mengidentifikasi tingkat pencemaran sungai. Dari pencarian peserta menunjukkan bahwa biota lokal jauh lebih sedikit karena sudah tergeser oleh biota pendatang.
Penyusuran dilanjutkan ke pos 2 dan 3 yaitu pos ekologi. Disitu peserta mendapat penjelasan tentang hubungan tiap komponen dalam rantai makanan membentuk ekosistem sungai. Lalu yang terakhir, pos 5 dan 6 diisi oleh dua anggota KKN UGM, Bondan dan Metta. Di pos ini peserta mendapat penjelasan tentang daya rusak air, karakteristik air, sifat air, komponen-komponen polutan air, dan masih banyak lagi.
Setelah selesai menyusuri sungai, para peserta kembali lagi ke Balai Desa Donotirto untuk diskusi tentang hasil susur sungai. Dari hasil susur sungai dan diskusi ini diharapkan masyarakat terutama di anak muda mau menjaga kondisi sungai agar kondisinya lebih baik.
Mari menjaga kondisi dan kesehatan sungai kita!
Anisa Dewinta Putri
Comments are closed.