Sebagai salah satu guyonan segar di kalangan mahasiswa, Istilah “kupu-kupu” dan “kura-kura” sudah tidak asing lagi di telinga mereka. Menurut beberapa orang, pada umunya mahasiswa itu terbagi ke dalam tipe “kupu-kupu” dan “kura-kura” ini. Sebenarnya apa sih arti kedua istilah tersebut?
Kepanjangan istilah “Kupu-kupu” yaitu “kuliah-pulang kuliah-pulang”. Maksudnya, mahasiswa “kupu-kupu” adalah mahasiswa yang terbiasa untuk langsung pulang ke indekos atau rumahnya setelah kegiatan perkuliahan selesai, alias lebih fokus kepada kegiatan akademik dan tidak disibukkan oleh kegiatan nonakademik seperti kepanitian sebuah acara, organisasi, dan lain sebagainya.
Kebalikannya, “kura-kura” memiliki kepanjangan “kuliah-rapat kuliah-rapat” yang mana mahasiswa “kura-kura” sering disibukkan oleh kegiatan nonakademik yang biasanya banyak menyelenggarakan rapat dan alhasil fokus mahasiswa tersebut terbagi dari kewajiban akademiknya.
Walaupun merupakan guyonan, hal ini sebenarnya ada benarnya lho! Ada beberapa pihak yang berdebat untuk memilih mana yang lebih baik antara mahasiswa “kupu-kupu” atau “kura-kura”. Sebagian menanggapinya dengan serius hingga menimbulkan pertengkaran untuk mempertahankan argumennya. Hm, bagaimana kita menyikapi dengan bijak perdebatan ini ya?
Ahmad Wali Radhi, Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) sekaligus Presiden Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB), berpendapat tentang realitas mahasiswa “kupu-kupu” dan “kura-kura” ini. Sebagai mahasiswa yang sibuk mengurusi dua organisasi besar disamping kegiatan akademiknya, Wali—panggilan sehari-harinya—mempunyai persepsi tersendiri tentang kedua hal yang selalu menjadi perdebatan ini.
Seorang mahasiswa pasti memiliki prioritasnya masing-masing. Mahasiswa “kupu-kupu” berarti ia ingin fokus kepada kewajiban akademiknya. Bisa jadi dirinya memiliki impian untuk menjadi seorang akademisi di masa depan, karenanya ia belajar dengan giat dalam perkuliahannya.
Lalu untuk mahasiswa “kura-kura”, dirinya cenderung memiliki keinginan untuk mengembangkan minat dan bakatnya di luar kegiatan akademik, misalnya ia mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa di kampusnya seperti unit fotografi atau olahraga. Bisa jadi, ia juga mencari hal yang bisa menghilangkan rasa jenuh setelah belajar di dalam kelas.
ketika mahasiswa memilih menjadi seorang akademisi ya itu bagus. cuma jadilah akademisi yang memang berpihak kepada masyarakat
Wali berkata, yang terpenting adalah mahasiswa harus sadar akan kewajiban mengabdi kepada masyarakat. “Harus insaf sebagai seorang mahasiswa yang menjadi bagian dari masyarakat. Maksud saya ketika mahasiswa memilih menjadi seorang akademisi ya itu bagus. Cuma jadilah akademisi yang memang berpihak kepada masyarakat, yang punya inovasi bisa mengembangkan kesejahteraan masyarakat juga. Jangan menjadikan hal itu sebagai capaian pribadi saja,” ujar Wali.
Ia juga berharap agar mahasiswa bisa menyikapi berbagai hal namun tidak boleh melupakan hak dan kewajibannya. “Pada akhirnya setiap mahasiswa harus moderat. Setiap kita menyikapi hidup itu, tidak hanya mahasiswa tapi semua orang juga, harus seperti itu. Harus melakukan setiap kewajibannya dan harus menerima hak-haknya juga,” pungkasnya.
Jadi, bagaimana ? Masih mau berdebat mana yang lebih baik, mahasiswa “kupu-kupu” atau “kura-kura? Daripada saling mencela, ada baiknya jika kita saling menghormati keputusan atau pilihan hidup masing-masing, lalu mengerahkan usaha kita sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik di dunia perkuliahan.
Fariza Rizky Ananda, Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung
Comments are closed.