Pencari Suaka di Trotoar Rumah Detensi Imigrasi Jakarta

0
360

Puluhan pengungsi asal Afghanistan, Myanmar, Somalia, dan Sudah tinggal di tenda buatan di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta (03/04). Keberadaan mereka dinaungi oleh kartu pengungsi resmi dari UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) yakni lembaga PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) yang menangani masalah pengungsi.

Kartu tersebut melabeli mereka sebagai pengungsi legal dan bukannya imigran gelap. Meskipun begitu, dari pihak imigrasi masih belum memberikan bantuan yang berarti kepada para pengungsi. Sampai sekarang pun terhitung pada hari Selasa tanggal 3 April 2018, bantuan dari UNHCR masih belum datang kepada mereka. Mereka terpaksa mengungsi untuk waktu yang tidak bisa ditentukan hingga berapa lama.

Mereka sudah berada di tenda buatan selama kurang lebih 2 bulan, pengungsi datang silih berganti mencari tempat untuk berlindung. Tempat perlindungan pun dinilai kurang layak karena mereka hanya menopangi diri menggunakan helaian kain. Kain-kain tersebut mudah saja diterpa angin dan ditembus hujan. Mereka pun hanya memiliki kardus sebagai alas untuk beristirahat dan tidur. Asap dari kendaraan bermotor pun sudah menjadi hirupan sehari-hari bagi mereka. Belum lagi berisiknya suara klakson yang berasal dari berbagai kendaraan.

Urusan makan dan minum pun mereka hanya bergantung dari belas kasihan para pengandara yang melintas di Jalan Peta Selatan. Ada juga donasi yang datang dari berbagai lembaga, salah satunya adalah UKM Rencang yang mengumpulkan donasi berupa uang dan pakaian yang disalurkan kepada para pengungsi di trotoar tersebut.

Muhammad Nassir (33) merupakan salah satu pengungsi asal Afghanistan yang sudah menempati tenda buatan selama 2 bulan. Nassir sudah tinggal di Indonesia selama 4 tahun tepatnya di Bogor bersama pengungsi lainnya sebelum akhirnya pindah di trotoar Kalideres.

“I can’t go back to the place I was. There’s a war. It’s not safe. It’s dangerous.” Ucap Nassir ketika ditanyakan mengapa ia tidak bisa balik ke Negara asalnya.

Ia tiba di Indonesia pun bukan karena keinginannya, melainkan karena tidak ada lagi tempat yang mau menerimanya berikut pengungsi lainnya.

“There’s no one in this world who doesn’t want to go back to the place they was born.” Tambahnya lagi untuk melengkapi rasa rindunya terhadap Negara asalnya.

Sehari-hari Nassir tidak bisa berbuat banyak. Hanya beristirahat di dalam tenda dan berlindung dari teriknya matahari. Ia tidak memiliki banyak aktivitas selain beristirahat dan menunggu bala bantuan.

Bantuan berupa materi pun tak bisa ia dapatkan karena 3 hal. Pertama, ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan karena kurangnya informasi mengenai lowongan pekerjaan. Ia tidak memahami bahasa Indonesia dan hanya bisa berbahasa Inggris sedikit. Ia tidak mendapatkan informasi secuil pun dari media apapun untuk melakukan pekerjaan. Kedua, ia sadar betul bahwa Indonesia kelebihan tenaga kerja manusia. Ia bisa melihat dari banyaknya pengangguran Indonesia yang lalu-lalang.

“If Indonesian can’t even got a job for themselves, how do we get for ours in here?” ucapnya pilu. Ketiga, seandainya pun ia dapat pekerjaan, hal itu merupakan tindakan

illegal bagi pengungsi sepertinya.
Untungnya, banyak donasi yang datang baik dari pengendara maupun lembaga-lembaga yang ia tidak ingat namanya. Dia merasa orang Indonesia sangat baik dan empati.

Nassir sendiri tidak meminta bantuan finansial maupun makanan, tapi ia lebih mengharapkan donasi pakaian-pakaian untuk anak kecil yang mengungsi di tenda. Bahkan, ada bayi yang baru berumur 2 bulan dan tinggal di sana. Bantuan berupa pakaian-pakaian balita akan sangat membantu mereka.

Keberadaan para pengungsi yang terpampang jelas di trotoar seberang RS Mitra Keluarga Kalideres ini seakan tidak cukup untuk mengeksploitasi dampak ketiadaan rasa kemanusiaan. Motif utama atas eksistensi mereka sebagai pengungsi adalah akibat adanya peperangan di Negara asal mereka.

Tenda-tenda yang berjajar rapi ini menjadi bukti kurangnya rasa empati yang dimiliki manusia. Para pengungsi terpaksa menjadi manusia yang hanya bisa hidup berdasarkan rasa simpati dan empati masyarakat Indonesia yang disalurkan melalui donasi.

Meskipun sering mendapatkan donasi, pihak imigrasi dan pemerintah kedua Negara yang bersangkutan seakan masih menutup matanya atas perkara polemik yang ada. Masih belum ada tanda-tanda untuk menyelesaikan perang, dan perbaikan terhadap masalah ini juga belum ada penyelesaiannya. Warga sipil menjadi korban kolateral terhadap masalah yang ada.

Perkara yang terlihat dan sangat dirasakan oleh masyarakat seakan tidak tampak bagi pihak berwenang.

Para pengungsi akan terus mendirikan tenda buatannya di depan Rumah Detensi Imigrasi Jakarta hingga akhirnya suaka yang mereka layak dapatkan diberikan.

Semoga, donasi yang mereka butuhkan seperti pakaian, makanan, dan minuman, terus mereka dapatkan sampai saatnya mereka mendapatkan akses lagi untuk berpulang ke Negara asalnya.

 

Penulis: Esther Shakadina Abiel Husodo

Penyunting:

Dokumentasi: Esther Shakadina Abiel Husodo