Penampilan Thiranandi berbeda dengan perempuan kebanyakan. Rambutnya dicukur nyaris gundul. Bukan karena Thiranandi baru saja melakukan kemoterapi, melainkan karena pilihan hidupnya sejak 2008 silam. Waktu itu, ketika lulus SMA, Thiranandi memilih menjadi seorang atthasilani.
Sosok atthasilani mungkin tidak familier bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yang penduduk mayoritasnya bukan beragama Buddha. Di negara seperti Thailand, yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, sosok atthasilani bukan pemandangan istimewa lagi.
Atthasilani adalah sebutan dalam agama Buddha bagi wanita yang ingin menjalankan hidup menjadi petapa. Tidak seperti bhikkhu (biksu) yang menaati 227 peraturan monastik, atau bhikkhuni (biksu wanita) yang menaati 311 peraturan, seorang atthasilani hanya menjalankan atthasila atau delapan latihan moral.
Atthasila adalah pengembangan dari pancasila atau lima latihan moral yang dilakukan oleh orang awam dalam agama Buddha. Dalam pancasila, orang awam berlatih diri untuk tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berdusta, dan tidak mabuk- mabukan. Dalam atthasila, ada tiga latihan tambahan, yakni tidak makan selepas tengah hari, tidak memperindah diri dengan bersolek, serta tidak tidur di tempat yang mewah.
Itu sebabnya selain berambut nyaris gundul, Sila Thira, begitu ia akrab disapa, tidak bersolek dan tidak mengenakan perhiasan. Ia hanya berbalut jubah serbaputih ke mana- mana. Tiap hari, selepas tengah hari, ia harus berpuasa.
Semuanya bermula sejak Sila Thira duduk di bangku SMA. Saat itu, ia mendapat informasi tentang program kuliah yang berbasis asrama di Malang. Ia sangat antusias karena tinggal di asrama sudah menjadi impiannya sejak dulu.
“Tapi syaratnya satu,” ujar Sila Thira. “Harus menjadi atthasilani dan digundul. Ya enggak apa-apa,” sambungnya.
Akhirnya setelah lulus SMA, perempuan kelahiran Banyuwangi, 19 Mei 1990 ini langsung berangkat ke Malang untuk mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Kertajasa. Ia menambahkan bahwa untuk menempuh pendidikan di STAB Kertarajasa dan menjadi atthasilani, ia harus mendapat persetujuan dari orang tua. Saat itu, orang tuanya sangat terbuka dan merespons baik keinginan Sila Thira. Tujuan Sila Thira saat itu hanya satu, yakni ingin belajar.
Tapi setelah empat tahun masa pendidikannya berakhir, tibalah saat yang membuat Sila Thira gundah. Ia disuruh memilih lanjut menjadi atthasilani atau kembali menjadi orang awam.
Sila Thira saat itu bertanya kepada orang tuanya. Tetapi, tidak dinyana, orang tua Sila Thira justru sepenuhnya menyerahkan keputusan untuk lanjut atau tidak pada Sila Thira, meski dirinya merupakan anak tunggal di keluarganya.
“Saya masih nyaman menjadi seorang atthasilani,” ungkap Sila Thira ketika memilih lanjut.
Sila Thira dan satu temannya lagi menjadi dua dari sepuluh atthasilani di angkatannya yang memilih lanjut menjadi atthasilani. Mereka yang memilih lanjut menjadi atthasilani artinya sudah berkomitmen untuk hidup selibat alias tidak menikah.
Sebagai sosok yang tidak banyak dijumpai di Indonesia, perbedaan yang dimiliki Sila Thira memang mencolok. Akan tetapi, perbedaan yang ia miliki tidak membuatnya enggan berinteraksi dengan masyarakat. Sila Thira mengaku, interaksinya dengan masyarakat adalah proses yang gampang-gampang sulit.
“Ada yang menerima, ada yang mungkin asing. Mungkin dicuekin, ada yang welcome, itu sudah saya rasakan,” ujarnya.
Semua itu membuat Sila Thira sadar bahwa perbedaan adalah bagian dari realitas.
“Kembar pun, tidak sama. Yang ada hanyalah mirip,” jelas Sila Thira.
Yang paling penting menurut Sila Thira adalah sikap saling memahami dan menerima perbedaan sebagai bagian dari kenyataan hidup.
Lain Sila Thira, lain pula Lusia Auliana Purnama. Mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Tangerang ini mengaku tidak suka tampil sebagaimana citra perempuan pada umumnya.
Ia lebih suka memotong pendek rambutnya, memakai celana, kaos, dan sepatu kets. Bahkan, perempuan yang sehari-hari dipanggil Aulia ini, mengaku bisa dihitung dengan jari berapa kali ia mengenakan dress.
Aulia mengatakan bahwa cara berpenampilan adalah hak masing-masing orang.
“Kalau misalnya emang dia sukanya pakai rok, ya go on. Kalau misalnya emang dia sukanya pakai celana, ya enggak masalah,” jelas Aulia. Ia menambahkan bahwa cara berpakaian tidak boleh diatur-atur, dengan catatan harus tahu konteks tempatnya.
Di kampus, Aulia kerap diledek “lancai” (acak-acakan) oleh teman-temannya, meski dalam konteks bercanda. Mengapa tidak? Aulia lebih sering mengenakan kaos rumah dan celana panjang santai saat ke kampus.
Tidak hanya keluar dari sekat-sekat berpakaian wanita pada umumnya, Aulia juga mengaku ia tidak dikungkung oleh gender maskulin atau feminin. Ia merasa punya dua identitas gender itu sekaligus. Dalam kajian gender, Aulia bisa digolongkan sebagai bigender.
Secara biologis, Aulia harus mengakui bahwa jenis kelaminnya adalah wanita. Tapi secara gender, ia merasa feminin sekaligus maskulin. Ini tentu sedikit berlawanan dengan persepsi awam, bahwa wanita seharusnya feminin dan pria seharusnya maskulin.
Dalam kajian ilmu komunikasi, fenomena ini dibahas dalam teori queer yang dielaborasi oleh Judith Butler. Butler (dalam Morissan, 2013: 131) mengemukakan argumen bahwa selain jenis kelamin (pria atau wanita), gender (maskulin atau feminin) juga merupakan konstruksi sosial. Oleh karena itu, sebagaimana yang dialami Aulia, gender tidak melulu harus mutlak maskulin atau mutlak feminin. Menurut Butler, gender tidak harus dipahami sebagai identitas yang stabil.
Untungnya, lingkungan pertemanan Aulia terbuka dengan identitas gender yang ia miliki. Teman-teman Aulia menerima Aulia apa adanya. Kendati sudah terbuka pada teman-
temannya, ia mengaku belum siap mengungkapkan identitas gendernya pada kedua orang tua.
“Karena keluarga gua cukup kolot dan religius. Jadi gua enggak suka ngomongin soal ginian juga ke mereka,” jelasnya.
Pada 2017 lalu, perempuan yang juga aktif dalam seni teater ini sempat ikut dalam Women’s March, sebuah parade untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia. Dengan mengenakan baju ungu-putih, ia turut menyuarakan kesetaraan gender dan kesamaan hak bagi perempuan, khususnya dalam mengenakan pakaian.
Aulia tak henti-hentinya menekankan cara berpakaian adalah hak masing-masing orang. Namun kenyataannya, perempuan selalu dikomentari jika mengenakan pakaian yang sedikit “terbuka” di ruang publik. Perempuan-perempuan yang merasa nyaman jika mengenakan pakaian sedikit “terbuka” ini selalu dituduh bisa mengundang nafsu lelaki.
“Menurut gua, birahi elu ya elu yang jaga. Karena kita cuma pakai baju biasa, terus kalau birahi elu naik, masa elu mau salahin kita? Kenapa elu mau salahin cara kita pakai baju?” ujar Aulia dengan intonasi sedikit kesal. “Kenapa elu enggak kontrol birahi elu aja?” imbuhnya.
Aulia dan Sila Thira serupa tapi tak sama. Mereka berdua sama-sama menggunakan hak penuh atas diri mereka sendiri untuk menentukan penampilan. Jika Sila Thira memilih menjadi atthasilani dengan rambut nyaris gundul dan delapan latihan moral, Aulia memilih tidak terkungkung pada citra masyarakat mengenai cara perempuan berpakaian. Yang satu merasa nyaman menjadi petapa, yang satu lagi merasa nyaman dengan identitas gendernya.
Keduanya menjadi contoh, menjadi beda tidak berarti menakutkan. Mereka justru merasa nyaman dengan perbedaan yang dimiliki.
Penulis: Wirawan
Penyunting:
Dokumentasi: Wirawan
Comments are closed.