Minggu (4/3) pagi, Bandung sudah bising dengan aneka aktivitas penduduk. Ada yang bersiap liburan, ada yang senam dan olahraga di Alun-Alun, atau mencari uang mengenakan kostum lucu di Pasar Baru.
Tak ketinggalan, di sekitar Dago juga ramai dengan aktivitas yang bisa dibilang berbeda. Terlihat banyak warga yang mengenakan sepatu sembari menenteng papan maupun karton warna-warni. Mayoritas adalah perempuan, namun tak sedikit kaum Adam yang terlibat.
Mereka semua berkumpul di Eduplex Dago, Bandung yang dihiasi tenda-tenda merah. Sesuatu yang paling mencolok adalah baliho persegi panjang berwarna putih dengan tulisan besar ‘Women’s March Bandung’ yang dipegang sekelompok perempuan. Ya, mereka sedang mengungkapkan suara perempuan.
Pukul tujuh pagi mereka berkumpul di Dago untuk kemudian menuju Gedung Sate. Sepanjang jalan, mereka bernyanyi, beteriak, berorasi, memekik, sama-sama berseru “Hentikan Diskriminasi pada Perempuan!”
Para pengendara di jalan memisuh, “Apaan sih ini!” Polisi yang bertugas bahkan sampai kewalahan. Menurut anggota keamanan acara Women’s March, peserta yang datang sekitar 300-an. “Padahal kami hanya izin ke polisi akan ada parade sebanyak 80 orang,” ujar Bunga, kordinator acara sambil tertawa.
Kegiatan Woman’s March sejatinya sejalan dengan acara Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret. Di tahun ini, Bandung berkesempatan mengadakan Hari Perempuan Internasional bersamaan dengan sepuluh kota besar Indonesia lainnya.
Menurut rilis yang dibagikan panita Women’s March, tema yang diusung pada parade perempuan Bandung ini ialah Ketidakadilan berbasis gender. Ada lima isu besar yang disuarakan yakni; perkawinan anak, kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi terhadap perempuan, serta yang paling banyak dikritik yakni perluasan pasal zina dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Di luar isu utama itu, rupanya banyak perempuan Bandung yang bersuara soal penggusuran Taman Sari pada akhir tahun 2017. Hal itu antara lain diikuti sekelompok ibu-ibu.
“Saya sangat keberatan dengan adanya penggusuran Taman Sari. Sebagai wanita, saya ingin bersuara juga. Jangan ratakan tempat kami tinggal bersama dengan keluarga,” kata Iis salah esorang ibu yang menentang penggusuran. Kata-katanya disahuti rombongannya sembari menjunjung tinggi papan bertulisan “Hentikan penggusuran Taman Sari”.
Humas Women’s March, Amanda Ayodia, mengatakan, isu penggusuran disampaikan melalui kegiatan ini, karena dianggap relevan dengan perempuan. “Penggusuran Taman Sari tetap berkaitan dengan perempuan karena yang menolak dengan sangat keras dan berani melawan penggusuran adalah perempuan. Ketika itu menyakiti perasaan perempuan sangat dibolehkan bersuara dikegiatan ini,” kata Amanda.
Amanda yang juga bagian dari komunitas Angin Malam itu menambahkan, sebenarnya kegiatan Women’s March merupakan kumpulan suara-suara yang diinginkan berbagai komunitas.
Bunga Astiti, Koordinator Women’s March menimpali kalau sebenarnya kegiatan ini bukan gimmick semata. “Karena ini yang pertama di Bandung, tentu saja ada kontra. Ada yang bilang kegiatan ini hanya gimmick, tapi saya tegaskan ini bukan gimmick, ini suara hati kami. Perempuan itu harus mendapat sesuatu yang lebih baik,” katanya.
Perempuan berkepang dua dengan topi hijau itu juga memberitahu sudah ada dialog langsung dengan pemerintah tentang isu-isu yang diangkat dalam parade ini, tapi tetap saja belum membuahkan hasil.
Saat matahari mulai membumbung tinggi, peserta Women’s March mulai melemas. Mereka tak lagi ikut menjunjung papan namun berleha-leha sembari membeli buah atau cindera mata. Meski demikan, pekikan itu masih terdengar nyaring dari perempuan dewasa.
Mereka kemudian membuat lingkaran untuk menyaksikan atraksi wanita bergaun hitam mengguyur tubuhnya menggunakan air dari kendi hingga diakhiri flashmob yang dipimpin panitia. “Hidup perempuan Indonesia!” begitu pekik massa sebelum meninggalkan Gedung Sate.
Penulis: Kenraras Vadmaratri, Mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung