Merawat Tradisi Pewarna Alam Suku Dayak

1
1151

Pagi beranjak siang. Di angkasa Kapuas Hulu, persis di atas sumbu bumi khatulistiwa itu, matahari bersinar dengan buasnya. Namun, hal tersebut tak menyurutkan, Andre Baskoro (18) bersama lima temannya di SMA Negeri 1 Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, merawat bibit-bibit tanaman bahan pewarna alam yang mereka semaikan sejak dua pekan lalu di halaman belakang sekolah mereka.

“Aduk terus pupuknya sampai campurannya pas,” ucap E Krisna Kurniawan (26), guru yang mendampingi para siswa tersebut, Senin (9/10), siang itu.

Setelah tercampur betul, dibantu teman-temannya, Andre menuangkan pupuk organik ke jajaran bibit tanaman yang masih dibungkus plastik polybag. “Seminggu lagi, batang bibit ini akan berdaun, lalu setelah itu kita tanam di kebun sekolah,” ujar Andre kepada Tim Biodiversity Warriors (BW) dan Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Kalimantan-Yayasan KEHATI, yang datang berkunjung ke SMA Negeri 1 Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Siang itu, Tim BW didampingi Tim KEHATI mengadakan studi banding ke SMA tersebut untuk belajar bagaimana mengembangkan tanaman pewarna alam dan mengolahnya sebagai bahan pewarna yang ramah lingkungan.

SMA Negeri 1 Putussibau merupakan satu dari sedikit sekolah di Provinsi Kalimantan Barat dan Indonesia, yang menjadikan  pengolahan tanaman pewarna alam sebagai program unggulan sekolah. Bahkan, pengolahan dan penggunaan pewarna alam kini telah menjadi mata pelajaran muatan lokal di sekolah tersebut.

Penggunaan bahan pewarna alam bagi warga di Kapuas Hulu, sesungguhnya telah menjadi tradisi turun temurun, khususnya bagi warga Suku Dayak Iban, yang merupakan sub-suku Dayak yang mendiami wilayah kabupaten tersebut. Bahan pewarna ini umum digunakan untuk berbagai kebutuhan, terutama untuk pewarna tenun tradisional.

Namun, seiring dengan serbuan bahan-bahan pewarna sintentis atau kimia, yang harganya lebih murah, penggunaan bahan pewarna alam ini pun sedikit demi sedikit mulai surut. Hal tersebut mengancam tradisi warisan leluhur, sekaligus menghilangkan aspek kearifan lokal warga Dayak yang secara alamiah dekat dengan alam. Penggunaan bahan pewarna kimia, selain merusak lingkungan, juga menurunkan kesakrakalan tenun Dayak Iban, yang semestinya berpewarna alam.

“Pewarna alam adalah kearifan lokal kami yang harus dijaga dan dipertahankan. Hal ini salah satu yang mendorong kami untuk menjadikan pembuatan pewarna alam sebagai program unggulan di sekolah kami. Kalau tidak kami, siapa lagi?,” kata M Djusanuddin S Pd, MSi, Kepala SMA Negeri 1 Putussibau.

Untuk mewujudkannya, pada tahun 2016, SMA Negeri 1 Putussibau menjalin kerja sama dengan TFCA Kalimantan-KEHATI melalui mitranya, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). Kebetulan, sejak tahun 2015, melalui ASPPUK, TFCA Kalimantan-KEHATI melaksanakan program pengembangan pewarna alam dalam pembuatan tenun Dayak Iban di Kecamatan Batang Lumpar, Kabupaten Kapuas Hulu.

Jalinan kerja sama antara SMAN 1 Putussibau dengan ASPPUK tersebut dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU) untuk membantu dan mendampingi program pengembangan pewarna alam di SMA tersebut.

Antusiasme siswa

Sebagai tindak lanjut dari MoU tersebut, kata Djusanuddin, langkah pertama yang dilakukan adalah menyosialisasikan pentingnya pewarna alam ke para siswa di SMA Negeri 1 Putussibau, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga.

Dalam sosialisasi itu, para siswa diedukasi mengenai jenis-jenis tanaman pewarna alam yang merupakan tanaman endemik Kapuas Hulu. Lalu siswa juga dikenalkan secara teoretis mengenai cara memanfaatkan beragam flora alam yang dapat dijadikan sebagai bahan pewarna alam.

Sosialisasi tersebut ternyata mendapat sambutan antusias dari para siswa. Banyak siswa yang tertarik untuk ikut serta. Tingginya antusiasme tersebut mendorong pihak sekolah untuk menjadikan program ini sebagai program unggulan sekaligus mata pelajaran muatan lokal.

Para siswa SMA Negeri 1 Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mempraktikan teknik sablon kaos dengan bahan pewarna alam, Senin (9/10). Pewarna alam merupakan tradisi warisan leluhur suku Dayak Iban di Kalimantan Barat (Foto: Dokumentasi KEHATI)

“Kami sangat tertarik karena kami tahu ini sudah menjadi budaya nenek moyang kami. Selain itu, kami juga berharap nantinya akan dapat menggunakan keterampilan membuat bahan pewarna ini untuk membuat sesuatu yang kreatif dan produktif, seperti menyablon kaos atau untuk yang lainnya,” tutur Andre, yang juga keturunan Dayak Iban.

Untuk menunjang program unggulan itu, pihak sekolah menyediakan lahan di belakang sekolah sebagai kebun untuk menanam bibit tanaman pewarna, serta menyediakan ruangan hijau (green house) sebagai lokasi pembibitan. Satu ruang kelas juga disediakan sebagai lokasi praktik sekaligus laboratorium pembuatan pewarna alam.

Krisna menjelaskan, untuk tanaman yang dikembangkan sebagai pewarna alam adalah tanaman-tanaman yang secara alami ada di Kapuas Hulu. Yang utama adalah rengat padi dan rengat akar, dua tanaman tersebut menghasilkan warna biru. Lalu ada tanaman gerbai dan mengkudu, yang menghasilkan warna cokelat dan merah. Tanaman gerbai laut yang menghasilkan warna merah muda tak lupa juga ditanam. Sedangkan, daun gerbai laut menghasilkan warna merah kecokelatan yang lebih muda.

“Selain itu, para siswa juga kami arahkan untuk menanam tanaman beting. Beting ini menghasilkan warna merah terang. Lalu tanaman jangau, yang bisa menjadi pengunci warna selain sebagai pewarna itu sendiri, khususnya merah dan ungu,” papar Krisna, yang merupakan salah seorang staf ASPPUK-TFCA Kalimantan.

Selain pembibitan, para siswa diberikan edukasi mengenai teknik menanam dan pemupukan organik. Setelah itu, apabila tanamannya sudah layak untuk digunakan, siswa dilatih untuk membuat pewarna alam.

Dengan membekali siswa mulai dari cara membibit, menanam, hingga membuat pewarna, nantinya bekal keterampilan yang mereka miliki akan lengkap.

“Karena, yang sangat krusial dari keberlanjutan penggunaan bahan pewarna alam adalah penyediaan dan pembuatan bahannya. Selama orang tahu cara membuatnya dan ketersediaannya selalu terjaga, pewarna alam akan selalu lestari,” ungkap Krisna.

Dalam pembuatan pewarna, siswa diarahkan agar bisa memroduksi dalam tiga bentuk, yakni cair, padat atau pasta, dan serbuk. Setelah itu, apabila warnanya sudah tersedia para siswa diedukasi mengenai cara melukis dengan pewarna warna alam, menyablon, dan terakhir menenun serta membuat kerajinan dengan bahan pewarna alam.

Untuk saat ini, produk yang sudah diolah oleh para siswa dengan pewarna alam adalah melukis atau mewarnai kaos, topi, totebag, dan sepatu.

Didampingi guru-gurunya, siswa SMA Negeri 1 Putussibau, Kapuas Hulu, Kalbar,  berfoto bersama Tim Biodiversity Warriors dan Tim KEHATI menunjukkan kaos dan tas yang telah mereka lukis dengan pewarna alam buatan sendiri, Senin (9/10) (Foto: Dokumentasi KEHATI)

Maka, Anda tak perlu heran jika mendapati kaos ataupun atribut-atribut lain yang dipakai oleh para siswa di SMA Negeri1 Putussibau ini banyak dihiasi dengan lukisan-lukisan. Bahan pewarna lukisan itu dibuat oleh mereka sendiri.

“Meskipun hasilnya cenderung buram atau kurang tajam dibanding pewarna kimia, tapi kami tetap bangga. Pewarna alam ini adalah identitas budaya kami yang harus dilestarikan,” ucap Leidy Runtunuwu (17), salah seorang siswi di sekolah tersebut.

(Oleh Dimas Ramdhani, anggota Biodiversity Warriors, sekaligus mahasiswa Fakultas Kehutanan pada Institut Pertanian Bogor. Biodiversity Warriors merupakan komunitas peduli keanekaragaman hayati beranggotakan anak-anak muda dari seluruh Indonesia, yang diinisiasi oleh Yayasan KEHATI)