Batu Bernafas Dalam Keheningan

0
699

Batu adalah benda mati bersifat padat yang berasal dari bumi dan terbuat secara alami. Tetapi, bagaimana jika benda hidup dijuluki benda mati? Atau bagaimana jika batu bisa dianggap hidup di ibu kota? Manusia Batu Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta bisa menjawab pertanyaannya.

Layaknya kebanyakan para pendatang, seorang pria paruh baya berbekal nekat menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di salah satu aset kebanggaan ibu kota, Taman Fatahillah. Pria yang akrab disapa Pak Idris ini terdiam tegak dan meliarkan cakrawalanya untuk mencari cara bertahan hidup di tengah kerasnya dinamika ibu kota.

Maksud awal kedatangan Pak Idris adalah untuk survei jenis dagangan apa yang sekiranya cocok untuk dijajakan di sana. Tetapi, takdir mengajaknya untuk berpindah sudut pandang. Setelah merenung, dia sampai pada keputusan bulat yang menjadikan dirinya sebagai objek foto bertarif sukarela. Begitulah paparan dari pria berumur 40 tahun itu ketika ditanya awal mula tercetusnya manusia batu.

Kisah awal perjuangan membatunya tidak sebatas itu saja. Karena desakan ekonomi dan secercah kreatifitas, memaksa dirinya untuk keluar dari belenggu keterbatasan. Topi, sepatu lars, hingga pakaian bekasnya disulap menjadi seperangkat baju pejuang dengan hanya bermodalkan sisa cat tembok di rumahnya.

“Modal awal saya hanya Rp 0 ditambah Rp 32.000. Jadi, saya hanya mengeluarkan uang untuk biaya transportasi dari Bogor ke Jakarta.”

Bahkan, cat tembok menjadi pilihannya untuk menutup kulit tangan dan wajahnya. Ia belum memedulikan keselamatan tubuhnya. Lagi-lagi, didasari oleh terbatasnya ekonomi keluarga. Setelah berlangsung empat bulan, dia harus menahan sakitnya membersihkan cat di tubuhnya. Pengorbanan itu pun harus dibayar mahal akibat seringnya terpapar sinar matahari, penggunaan cat tembok, dan keringat yang masuk ke mata. Hal itu  menyebabkan adanya selaput putih di kedua bola mata nya. Dia harus menjalani pengobatan selama tiga bulan.

Di tengah perjalanan menjadi manusia batu, muncul beberapa orang yang tertarik untuk mengikuti jejak Pak Idris. Salah satunya adalah Pak Rizal, manusia batu kedua di Taman Fatahillah. Sejak November 2012, semangat mereka berdua tidak pernah terpatahkan walau banyak kritik yang menghujani dirinya.

Akhirnya, Pak Idris memutuskan untuk membentuk Komunitas Manusia Batu dengan beranggotakan 10 manusia batu yang sampai sekarang terus konsisten dalam menjaga eksistensi komunitasnya.

Foto: Josephine

Beri Makna

Ketika digali lebih dalam lagi, ternyata manusia batu tidak hanya sebatas ajang komersil saja. Pak Idris bercerita, setahun setelah hari pertamanya di Taman Fatahillah, ada kejadian yang menjadi titik balik perspektifnya terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Meriam dan pohon tua menjadi saksi bisu pada hari itu, tepatnya 8 November 2013.

Saat itu, 10 November. Bak sebuah obyek foto, sekelompok anak muda sibuk bergaya jenaka dengan bapak tua itu. Di akhir sesi fotonya, mereka mengembangkan senyum dan berterimakasih melalui wujud gemericik logam. Entah tidak sengaja atau hanya iseng, Pak Idris melontarkan sebuah pertanyaan krusial kepada anak muda itu yang akan mengawali pemberian makna dalam pekerjaannya.

Pak Idris melontarkan sebuah pertanyaan simple, “Dik, lusa itu hari apa ya?”.

Akan tetapi, dengan wajah polos, semua menjawab, “Hari Minggu, Pak”.

Dia berekspektasi mendengar kata ‘Hari Pahlawan’. Hati seorang manusia batu itu langsung tertegun. Ia tersadar bahwa sosoknya sebagai gambaran para pejuang harusnya bisa membawa pesan ke-Indonesiaan kepada para wisatawan, terutama anak mudanya. Sejak itulah, bersama manusia batu lainnya, dia mulai membatu dengan bernafaskan semangat sejarah, perjuangan, dan budaya Indonesia.

Hingga hari ini, pencetus Komunitas Manusia Batu itu masih melakukan aktivitas membatunya. Ketika matahari tepat berada di atas kepala, pak Idris duduk bersimpuh di sebelah Gedoeng Jasindo.

Menutup wajahnya dengan warna hitam dan emas, mengokohkan tumpuan ontel tuanya, merapihkan kemeja kaku lamanya, dan berdiri tegak membatu di tengah hiruk pikuk Taman Fatahillah.

Sembari menunggu matahari condong ke ufuk barat untuk mengisyaratkan waktunya beristirahat, nafas semangat mereka tetap berhembus diantara nafas – nafas lainnya. Dalam riuhnya Taman Fatahillah, ada seorang batu yang bernafas dalam keheningan.

Kelompok EXPOSE

FUAD FUZI (SMKN 66 Jakarta)

VIRA KRISTIANINGRUM (SMAN 88 Jakarta)

IGNACIA CLARESTA (SMA PSKD 3 Jakarta)

JOSEPHINE (SMA Kristen Ketapang 3 Cibubur, Jakarta)

MUHAMMAD RAFI KAMIL (SMAN 1 Depok)