Ajang Curhat Permasalahan

50
728

Hallo pembaca setia Kompas Muda. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya selama dua minggu (29 Mei–12 Juni) berkunjung ke Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang berada di bilangan Jabodetabek. Kunjungan kali ini merupakan salah satu program kegiatan LPM Institut UIN Jakarta 2107 yang berada di bawah koordinasi Divisi Penelitian dan Pengembangan.

Saya beserta tiga anggota LPM Institut lainnya (Dewi, Atik dan Alfarisi) pertama kali berkunjung ke LPM Viaduct Universitas Katholik (Unika) Atma Jaya. Untuk menuju ke Viaduct kami mengendarai sepeda motor. Sebenarnya ada transportasi umum Trans Jakarta, tetapi demi efektivitas waktu kami lebih memilih menaiki sepeda motor.

Lokasi kampus Unika Atma Jaya cukup strategis karena berada di kawasan protokol ibu kota. Dari Ciputat, kami melewati jalan Lebak Bulus, lalu ke jalan Pondok Indah, kemudian ke arah Radio Dalam, melewati Blok M untuk kemudian jalan ke arah Jl. Jenderal Sudirman. Kampus Atma Jaya berada persis di sebelah kanan halte Trans Jakarta Bendungan Hilir.

Kedatangan kami disambut oleh Pemimpin Umum LPM Viaduct Sara Silalahi. Sara (biasa Ia disapa) menceritakan bahwa Viaduct merupakan jembatan aspirasi mahasiswa terkait segala sesuatu tentang Unika Atma Jaya. Selain menjadi jembatan aspirasi, Viaduct juga sebagai wadah menyalurkan hobi mahaiswa di bidang jurnalistik. Setelah perbincangan panjang, pukul 16.00 kami pamit karena ada kegiatan diskusi.

Keluhan seperti birokrat kampus yang enggan diwawancarai hingga ancaman penyerangan sering diterima

Hari kedua kami mengunjungi LPM Aspirasi UPN Veteran Jakarta yang berada di kawasan Pondok Labu. Perjalanan kami diiringi dengan rintik air hujan dan suara klakson kendaraan yang bersahutan. Kami berangkat dari Ciputat pukul 17.30 WIB, walhasil kami pun harus berbuka puasa di perjalanan. Sampai di sekretariat LPM Aspirasi pukul 18.30 dan disambut oleh Redaktur Pelaksana Aspirasi Haris Prabowo.

Selama kunjungan, kami dan Bang haris membicarakan banyak hal termasuk berbagi info tentang pers mahasiswa (persma). Dalam kacamata Haris, persma saat ini tengah berada dalam kondisi sulit. Tidak adanya payung hukum yang menaungi, hingga permasalahan pembredelan dan intimidasi persma oleh pihak kampus tak luput dari pembahasan.
Obrolan kami berakhir pukul 22.00 saat hujan sudah reda. Seketika itu pula kami berpamitan untuk pulang. Salah satu dari kami khawatir jika pulang terlalu larut akan terjadi suatu yang tak diinginkan. Karena saat itu sedang ramai pemberitaan pembacokan oleh geng motor.

Hari ketiga kami mengunjungi LPM Aksi Reaksi Politeknik Swadharma Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Jarak Politeknik Swadharma yang cukup dekat, membuat kami datang lebih cepat hanya 30 menit. Sesampainya di sekretariat LPM Aksi Reaksi, kami disambut oleh beberapa orang anggota Aksi Reaksi. Saat itu suasana sekretariat tengah ramai, lantaran usai menggelar latihan layout.

Tak banyak berbeda dengan kunjungan sebelumnya, obrolan masih seputar persma. Sebagai organisasi kampus yang dijalankan oleh mahasiswa, persma seperti mati suri. Kegiatan akademis yang padat berdampak pada kurang maksimalnya kegiatan persma. Ditambah dana operasioanl yang minim membuat persma semakin sulit untuk berkembang.

Hari keempat kami mengunjungi LPM Didaktika Universitas Negeri Jakarta. Saat kami datang, suasana sekretariat nampak sepi. Hanya nampak seseorang yang sedang tidur tetapi seketika terbangun karena kedatangan kami. Kemudian kami dipersilahkan duduk dan istirahat.

Obrolan dimulai dengan mengenalkan diri masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan menanyakan seputar LPM Didaktika. Mulai dari redaksi, pengembangan SDM, mencari pemasukan seperti iklan dan proses pemberitaan tak luput kami tanyakan. Hingga permasalahan LPM didaktika pun turut diceritakan.

Keluhan seperti birokrat kampus yang enggan diwawancarai hingga ancaman penyerangan sering diterima. Tak hanya itu keterbukaan informasi yang notabene hak masyarakat dan dijamin konstitusi juga belum sepenuhnya terlaksana. Padahal keterbukaan informasi adalah amanat UU juga menunjukkan kondisi suatu instansi/lembaga telah maju dan berkembang.

Masih di hari yang sama, setelah LPM Didaktika, selanjutnya kami berkunjung ke LPM Industria Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI) di kawasan cempaka Putih. Kami sempat nyasar lantaran peta yang menuntun kami error. Tapi hal itu tak membuat kami panik dan patah arang.

Tepat adzan Isya berkumandang, kami sampai di kampus STMI. Suasana saat itu ramai karena pada malam hari STMI masih ada perkuliahan. Sesampainya di sekretariat LPM industria, kami disambut hangat oleh Pemimpin Umum LPM Industri yang akrab disapa Evan. Ruangan sekretriat LPM Industria tak lebih besar dari sekretariat kami. Namun hal tersebut tak mengahalangi LPM Industria untuk berkarya.

Dalam kunjungan ke LPM Industria, kami membicarakan jam malam kampus STMI. Tepat pukul 22.00 lampu STMI padam. Ini menandakan bahwa segala kegiatan di kampus harus dihentikan. Peraturan ini mengakibatkan kegiatan mahasiswa terbatas sehingga berakibat pada operasional organisasi.

Setelah kunjungan ke LPM Industria, berturut-turut kami mengunjungi LPM Diamma dan LPM Media Publika Universitas Prof. Dr. Mustopo Beragama. Lalu ke LPM Black Post Institut Sains dan Teknologi Nasional, LPM Kontak Politeknik Akademi Pimpinan Perusahaan dan terakhir LPM Orientasi Universitas Mercu Buana di kawasan Meruya.

Dapat saya simpulkan hasil kunjungan tersebut berupa permasalahan persma seperti tak adanya payung hukum yang jelas bagi persma dan intimidasi pihak kampus. Bahkan ada kampus yang mewajibkan mahasiswa barunya menandatangani surat perjanjian tak akan protes/demo(entah benar atau tidak). Apabila melanggar, ancaman DO pun tak akan terhindarkan. Hal ini menimbulkan ketakutan bagi mahasiswa baru dan berakibat pada matinya nalar kritis mahasiswa ketika melihat ketidakbenaran.

Muhammad Ubaidillah,  Anggota LPM Institut UIN Syarif Hidayatullah.