Berwisata Sembari Belajar di Pulau Penyengat

0
854

“Kamu belum ke Tanjung Pinang kalau belum mampir ke Pulau Penyengat,” kata Nurul Anggraini Siregar, Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Kepualuan Riau ini.

“Emang ada apa di sana?,” ujar Putri Ramadhani, Mahasiswa Universitas Airlangga, Surabaya, dengan penasaran. Ya, Pulau Penyengat bukan sekadar destinasi wisata biasa. Sejarah Kerajaan Melayu melekat di setiap sudut pulau ini.

Kami yang tergabung dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan 2016 pun penasaran ingin datang ke sana. KKN Kebangsaan merupakan gabungan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia, untuk melakukan berbagai kegiatan kerja sosial. Selama satu bulan, kami berada di Desa Pengudang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Jauh antara Bandara Hang Nadim, Batam, dan Pulau Penyengat sekitar 65 kilometer. Untuk sampai ke Pulau Penyengat, pengunjung dapat menggunakan taksi ke Pelabuhan Punggur dengan tarif Rp 100.000. Selama 60 menit perjalanan menuju Pelabuhan Punggur, wisatawan akan melewati jalanan dengan pemandangan pinggir laut. Wisatawan akan melewati beberapa jembatan yang menghubungkan satu daratan ke daratan lainnya hingga sampai ke Pelabuhan Punggur.

Dari Pelabuhan Punggur, wisatawan perlu menyeberang menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang menggunakan speedboat seperti Marina Jaya, Baruna Jaya, Oceana, dengan tarif Rp 60.000. Waktu tempuh dari Pelabuhan Punggur ke Pelabuhan Sri Bintan Pura perlu waktu sekitar 45 menit. Sesampainya di Pelabuhan Sri Bintan Pura, wisatawan dapat menggunakan perahu motor atau sering disebut pompong menuju Pulau Penyengat dengan merogoh kocek Rp8 ribu.

Beberapa mahasiswa mengabadikan foto di depan Masjid Raya Sultan Riau (Foto: Luigi)

Bangunan bercat kuning di tengah sebuah pulau terlihat jelas di seberang Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pulau dengan luas 2500×750 meter itu berjarak 2 kilometer dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Kota Tanjung Pinang. Tepat di depan dermaga, berdiri kokoh Masjid Raya Sultan Riau, masjid ini menjadi salah satu destinasi para pengunjung Pulau Penyengat.

Masjid Raya Sultan Riau memiliki empat menara, berbalut cat kuning, dan konon katanya pembangunan masjid ini tak menggunakan semen sebagai perekatnya, tapi menggunakan telur. Masjid ini menyimpan dua mushaf Alquran dengan tulisan tangan di dalam peti kaca persis berada di depan pintu masuk. Salah satu mushaf ditulis oleh Abdurrahman Stambul, ia merupakan Putera Riau Pulau Penyengat yang pernah belajar ke Turki pada 1867.  Selain mushaf, terdapat juga kitab-kitab kuno yang merupakan koleksi dari perpustakaan yang didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi-Yang Dipertuan Muda(YDM)  Riau X.

Dari masjid, perjalanan dilanjutkan dengan mengikuti jalan paving block menuju pemakaman keluarga kesultanan Johor-Riau. Ada makam Engku Puti Raja Hamidah, permaisuri dari Sultan Mahmud Marhum Besar, makam Raja Ahmad yang merupakan penasihat kerajaan, Raja Ali Haji pujangga kerajaan, dan makam Raja Abdullah IX beserta permaisurinya, Aisyah. Ketika masuk di bangunan makam, pengunjung akan melihat puisi-puisi yang terukir di dinding, puisi tersebut merupakan karya Raja Ali Haji yang terkenal dengan sebutan Gurindam 12.

Foto bersama di dalam Balai Adat. (Foto: Ika Puspitasari)

Terdapat pula komplek pemakaman YDM Riau VI Raja Ja’afar dan YDM Riau VIII Raja Ali Marhum. Di depan gerbang untuk pengunjung menuju makam tersebut, terdapat sebuah bangunan berwarna kuning lengkap dengan kubah berbalut cat kuning yang merupakan makam para sultan melayu.

Tak jauh dari komplek pemakaman, persis meghadap ke pantai, berdiri Balai Adat Melayu Indera Perkasa yang dibuat dengan bahan dasar kayu. Bangunan ini digunakan apabila ada pernikahan serta kegiatan adat melayu. Di halaman Balai Adat, ada balai utama dengan ukuran besar  serta lima balai kecil di kedua sisi. Di dinding balai itu juga terdapat gurindam 12 dan lukisan beberapa sultan di kerajaan melayu tersebut.

Dalam balai utama, terdapat tiga pelaminan dengan hiasan kain merah, kuning, biru sebagai hiasannya. Puas berkeliling di Balai Adat, pengunjung akan dibuat penasaran dengan Bukit Kursi. Pengunjung harus mengikuti jalan setapak untuk naik ke atas bukit. Konon, bukit ini adalah benteng pertahanan Kerajaan Johor. Di atas Bukit Kursi, pengunjung dapat melihat laut luas, serta delapan meriam.

Ada jalur lain untuk turun dari bukit, bukan jalan setapak, tapi anak tangga, setelah turun dari bukit, pengunjung akan kembali ke Masjid Raya Sultan Riau. Salah satu mahasiswa dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Luigi Sepraliani bercerita bahwa Pulau Penyengat ini merupakan mahar dari Sultan Mahmud untuk menikahi Engku Putri Raja Hamidah, putri dari Raja Haji Fisabilillah YDM Riau IV.

Sedangkan salah satu pengunjung, Nurul menyatakan, berwisata ke Pulau Penyengat mendapatkan banyak pengertahuan. “Selain jalan-jalan, kita dapat mengetahui sejarah sultan-sultan dan sejarah tentang kerajaan Johor-Riau-Lingga pada abad 18-an,” pungkas Nurul.

Beberapa mahasiswa mengabadikan foto di atas Bukit Kursi. (Arsip KKN Kebangsaan)

Penulis:

Ika Puspitasari Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Peserta Magang Harian Kompas