Pagi ini tak begitu cerah. Beberapa kali kilat menyambar langit. Lovina yang baru saja bangun terkesiap. Wajahnya sedikit keruh karena mendung. Perbukitan di timur masih lelap. Hampir-hampir tak ada cahaya matahari. Tetapi debur laut memanggil-manggil….
Puluhan perahu sudah siap di bibir pantai. Gede Darma (35) berdiri jauh di ujung tanjung. Perahu motornya yang didaratkan di bibir pantai menguarkan bau cat. ”Iya, ini baru saja dicat,” katanya. Sejak pukul 04.30 Wita, puluhan orang berkumpul di sepanjang pantai. Kami akan berangkat bersama-sama menuju tengah laut menjelang pukul 05.30 Wita. Tujuannya sama: berlomba mengejar lumba-lumba di perairan Pantai Lovina. Kalau beruntung, kawanan lumba-lumba biasanya muncul ke permukaan laut antara pukul 07.00-09.00 Wita. Pada titik tertentu bahkan bisa sampai pukul 11.00 Wita.
Saya berada dalam satu perahu dengan Iman, seorang dokter ahli gizi dan penekun reiki dari Bandung. Ia datang ke Lovina, Buleleng, bersama istrinya, ”Khusus untuk melihat aksi lumba-lumba,” katanya.
”Semuanya tergantung nasib,” kata Gede Darma. Ia seperti melempar permakluman kepada kami. Jika tidak berhasil mengejar lumba-lumba di tengah laut, itu berarti belum beruntung. Bahkan, ia bercerita pada suatu hari pernah mengantar serombongan turis dari Eropa ke tengah laut. ”Tetapi tak berhasil melihat dolphin. Mungkin karena cuacanya hujan,” katanya.
Begitulah, meski sudah membayar ongkos sewa perahu motor antara Rp 60.000 dan Rp 125.000 per orang, tak ada jaminan bisa melihat atraksi lumba-lumba di laut. ”Paling tidak bisa melihat Lovina dari laut,” kata Darma lagi. Mungkin itu kata-kata penenang dari seorang tukang perahu kepada para wisatawannya. Saya mengerti, Darma yang sudah lebih dari 10 tahun membawa wisatawan mengejar lumba-lumba hidupnya sudah sangat bergantung pada kemurahan laut.
Pukul 05.30 Wita, puluhan perahu serempak bergerak menuju tengah laut. Mereka seperti berlomba menemukan titik paling ajaib di tengah laut, tempat lumba-lumba akan beraksi.
Langit Lovina di bulan November sebagian tersaput mendung. Kami akan berlayar setidaknya antara 1-2 kilometer menuju tengah laut. Suara gemuruh puluhan mesin perahu mengubah laut yang tenang jadi riuh, seperti sebuah kota pada jam-jam sibuk. Bedanya, tentu tak ada kemacetan di tengah laut. Sayangnya, keriuhan itu tak berhasil mengusir sekawanan awan mendung di bagian utara langit. Saya bahkan sayup-sayup seperti mencium bau bibit hujan.
Bergerombol
Setelah sekitar sejam berlayar, tak ada tanda-tanda kawanan lumba-lumba. Wajah Gede Darma di buritan tampak kecut. Ia khawatir empat orang dalam perahunya kecewa. Kami sepenuhnya menyadari, wisata melihat lumba-lumba adalah jualan pertama-tama di Lovina. Memang dulu, ketika sastrawan Anak Agung Panji Tisna membangun pondok wisata bernama Lovina tahun 1953, ia tidak menyadari bahwa di lepas pantai daerah Kalibukbuk itu terdapat ratusan lumba-lumba yang bisa melompat-lompat jikalau sedang mencari makan. Panji Tisna cuma tersihir oleh sebuah pantai di India yang dikelola dengan baik untuk kepentingan pariwisata. Kemudian ia coba-coba menerapkannya di kampung halamannya.
Lovina hanya pantai berpasir hitam dengan begitu banyak muara sungai yang mengalir dari arah perbukitan di bagian timur dan selatan. Letaknya yang jauh dari Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar, sangat tidak menguntungkan untuk pengembangan pariwisata. Itu sebabnya, pada 1980-an, Pemerintah Provinsi Bali lebih tertarik mengembangkan wisata Air Sanih dan Pulaki. Nama ”Lovina”, karena dianggap asing, disarankan untuk tidak digunakan. Bahkan, penginapan yang dibangun Panji Tisna diubah namanya menjadi Permata Cottages. Setidaknya, kalau berangkat dari Denpasar, dibutuhkan waktu sekitar 3,5 jam sampai di Lovina. Namun, dunia wisata memang punya hukum bisnisnya sendiri. Pantai yang tak ”menarik” seperti Lovina memiliki kelebihan pada lumba-lumba yang beratraksi secara alamiah di laut lepas saban hari.
Bahkan, menurut penelitian dosen Universitas Pattimura, Stany Rachel Siahainenia, ada tiga jenis lumba-lumba di Lovina, antara lain spinner dolphin (Stenella longirostris), spotted dolphin (Stenella attenuata), dan bottlenose dolphin (Tursiop truncatus). Spinner biasanya melakukan gerakan salto di udara, spotted bergerak ke perairan lebih dalam, bahkan lebih dari 1.000 meter. Adapun bottlenose sangat atraktif mengikuti ombak yang dibentuk oleh perahu. Tentu ketiga jenis lumba-lumba ini memiliki ciri-ciri fisik masing-masing.
Tiba-tiba, secara serentak semua perahu bergerak kembali ke arah pantai. ”Ada apa?” tanya saya kepada Gede Darma. ”Ini semacam komando menuju titik yang sama,” katanya singkat. Ia terlihat sangat serius mengemudikan perahu. Mesin yang digas demikian dalam menghasilkan gerakan perahu yang kencang, tetapi menyebabkan air laut menempias sampai ke atas perahu. Kira-kira 15 menit kemudian gerombolan perahu memecah ke dua arah. Sekelompok kecil menuju ke selatan mendekati Gunung Prapat Agung, sementara rombongan besar mendekat arah kota Singaraja. Kami termasuk dalam rombongan besar itu.
Tak lebih dari 10 menit setelah puluhan perahu bergerombol, atraksi di tengah laut itu dimulai. Puluhan kawanan lumba-lumba seperti berlomba menyuguhkan atraksi terbaik di pagi itu. Jika posisi perahu tidak pas, cukup sulit mengabadikan atraksi-atraksi liar di tengah lautan. Beberapa kali Gede Darma menggeser letak perahu agar kami bisa mengabadikan peristiwa pagi di lepas Pantai Lovina itu. Dokter Iman juga tampak kalap membidikkan kameranya.
Perlahan mendung menghilang. Ada cahaya memerah dari arah perbukitan. Setelah kira-kira bermain-main selama 10 menit, Gede Darma dan serombongan tukang perahu mengarahkan kembali perahu-perahu kami menuju pantai. Semuanya pasti berterima kasih atas atraksi mamalia laut di habitat aslinya.
PUTU FAJAR ARCANA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2016, di halaman 30 dengan judul “PERJALANAN Mengejar Lumba-lumba”