Desis suara dari wajan besar itu disusul aroma harum adonan bumbu giling cabai merah, kacang tanah, udang ebi, bawang putih dan merah, kayu manis, buah lawang, kapulaga, kacha lache (mirip ketumbar), dan beberapa lainnya. Terbitlah liur.
Bumbu lain yang juga digerus adalah serai, buah ketapang, buah pala, ketumbar, kunir, jinten, dan jahe. Adonan bumbu itu dimasukkan setelah potongan cumi-cumi, udang rebus, kol, taoge, irisan daging sapi, daun bawang, tomat, dan seledri.
Di penggorengan yang berminyak panas, campuran ini dilengkapi kecap asin dan manis. Setelah tercampur sempurna, air panas ditambahkan.
Tangan sang koki, Faisal (28), yang terbebat kantong plastik, meraih mi kuning, melepasnya di wajan. Sendok penggorengan pun bekerja, mengaduk seluruh adonan. Harum cita rasa India Gujarat itu kian merebak. Faisal lalu menambahkan saus sambal ke dalam penggorengan.
Tak berapa lama, mi rebus, mi goreng, dan nasi goreng aceh dengan minuman pendamping, teh tarik hangat, tersaji di meja.
Meskipun baru delapan bulan buka, Warung Mi Aceh Sabeena di Jalan Susilo 3/3, Grogol, Jakarta Barat, sajian di warung itu stabil. Saat kuah mi menyentuh lidah, rasa pedasnya ”nano-nano”, menyengat, menggoda. Pedas cabai, lada, jahe, kapulaga, dan buah pala memenuhi rongga mulut. Huuu… pedasnya.
Tangan pun cepat-cepat menyendok mi rebus, hendak mengubur rasa pedas itu. Potongan bawang merah mentah yang tersaji menyusul masuk mulut.
Pengunjung yang kepedasan tidak menyesal karena dimanja rasa adonan rempah yang mengalir menghangatkan perut mereka. ”Tidak menyesal menikmati makanan di sini,” kata Akmal (26), seorang pengunjung.
Ade (22), adik pemilik warung yang terletak di belakang bekas Terminal Grogol, Tomang, itu mengatakan, bumbu itu diracik sendiri.
Setelah membeli mi dan semua bumbu di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ia membawa bumbu itu ke Pasar Grogol. Sebelum digiling, ia menyortir bahan yang busuk atau rusak. ”Hanya bahan terbaik yang kami pilih. Setelah itu, kami campur dengan kelapa gongseng dan kami giling dalam kondisi segar,” kata Ade saat ditemui pertengahan November.
Pasar Minggu dikenal sebagai sentra penjual bumbu, mi, dan bahan sajian kuliner Aceh lainnya. Maklum, kawasan ini sejak tahun 1970-an sudah menjadi kantong permukiman pertama kaum urban Aceh di Jakarta.
Berani atau tidak
Ada lagi ”rumah Bang Jaly” di Jalan Prof Dr Supomo Nomor 48, Tebet, Jakarta Selatan.
Bagi yang tidak suka bumbu berlimpah dan kurang suka
asin, tempat ini bisa menjadi pilihan. Penggunaan bumbunya selektif.
Meski demikian, pengunjung bisa memesan sesuai selera. Seperti siang itu, misalnya, adik pengelola, Apacut (bahasa Aceh yang berarti paman mungil), datang. Ia mengajak ke dapur untuk melihat proses pembuatan mi rebus.
Ia lebih berani memasukkan beragam bumbu mi rebus aceh. Hasilnya memang berbeda, lebih dahsyat. Sangat pas bagi mereka yang suka mi aceh berlimpah bumbu.
”Banyak koki yang tidak berani memasukkan bumbu berlimpah karena khawatir pengunjung kepedasan,” kata Apacut. Pilihan ini tidak bisa disalahkan karena juru masak ingin memberikan yang terbaik kepada pelanggan.
Sebaliknya, selera pelanggan juga sangat beragam. ”De gustibus non est dispuntandum”, soal selera tidak bisa diperdebatkan, kata orang bijak.
Karena itu, bagi mereka yang menginginkan mi aceh, tetapi kurang suka bumbu dan rempah yang berlimpah, Warung Mi Aceh Bang Iwan di Jalan Setiabudi Barat, Jakarta Selatan, bisa menjadi pilihan. Nasi goreng, martabak, dan mi goreng aceh-nya selektif dalam penggunaan bumbu dan rasa asinnya tak terlalu menyengat.
Demikian pula Warung Mi Aceh Kurnia di Jalan Kebayoran Lama, di persimpangan Rawa Belong, Jakarta Barat, juru masaknya tidak jorjoran mengumbar bumbu demi memenuhi selera pelanggan.
Rasa tipis
Meski sama-sama mengusung nama mi aceh, cita rasa Mi Aceh Pondok Bangladesh yang berlokasi di Jalan Rawa Bambu Nomor 8, Pasar Minggu, Jakarta Selatan agak berbeda. Bumbu pada mi dan nasi gorengnya terasa lebih lembut dan tipis di lidah. Namun, hal itu tidak mengurangi kelezatan hidangannya.
”Untuk menyesuaikan selera pelanggan yang bertambah, sejak 2004 saya tidak lagi menggunakan buah ketapang, lada, dan serai. Dosis kayu manis, bunga lawang, dan kapulaga juga saya kurangi,” ungkap Hasnah, pemilik warung mi aceh ini.
Langkah itu dilakukan agar aroma bumbu tidak terlalu menyengat. Pencernaan pun tak terlalu panas menyerap adonan bumbu yang beragam tersebut.
Sekarang tergantung pilihan Anda, mau yang bumbu tipis-tipis atau bumbu menyengat ala Aceh. Tak bisa dipaksa, karena itu tadi. Soal selera tak bisa diperdebatkan.
WINDORO ADI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Desember 2016, di halaman 29 dengan judul “MI ACEH Pedasnya ”Nano-nano”, Sreeeeeng…”